Minggu, 14 Agustus 2011

3 GP episode 2

Bab 2

Love is the master key that opens the gates of happiness- OliverWendell Holmes


            Setelah berhasil mendapat durian runtuh, Isela langsung mencari jejak si pencuri yang kabur. Ia keluar lewat pintu belakang dan disana sudah ada beberapa security dan polisi yang sedang membawa pencuri itu masuk ke mobil.

            ”Dimana kau kakak berjari indah?” gumamnya sambil terus membidik setiap sudut tempat kejadian.
            Tak lama kemudian, suara langkah sepatu mengusik telinganya. Saat Isela berbalik, senyumnya pun langsung mengembang.

            ”Hei kakak berjari lentik!” serunya. Dengan cepat ia menghampiri gadis yang berjalan pelan hanya dengan satu sepatu itu.
            ”Hai gadis bermata lentik! Bagaimana dompet itu? Apa berhasil kau dapatkan?” tanya Gaby kembali saat berhasil berjalan sejajar dengan Isela.
            ”Tentu saja! Kalau tidak bisa mengambil dompet itu, jangan sebut aku Grisela,” jawab Isela sambil membusungkan dada.
            Secara spontan Gaby menghentikan langkahnya. Dengan cepat ia kembali menatap Isela dengan kedua bola mata yang hampir mencuat keluar. ”Apa? Siapa namamu tadi?”
            ”Oh..itu...” Ketika hendak menjawab, sebuah teriakan membuat keduanya terkejut.

            ”Hei kau!” Seorang pria yang berdiri di seberang berteriak keras. Sesaat Isela dan Gaby kebingungan mencari arah datangnya suara itu. Setelah menemukan sosok pria yang berdiri dengan angkuhnya tak jauh di depan mereka, Gaby pun langsung berteriak, ”Apa? Apa?” dagunya sedikit terangkat seolah tak takut dengan gertakan pria itu.
            ”Kalau sampai aku bertemu kau lagi, akan kubalas kau!” teriak Eriol.
            ”Hoh? Coba saja kalau berani!” tantang Gaby seraya menjulurkan lidahnya.
            Ketika hendak membalas, ibu manajer buru-buru menggandeng lengan Eriol dengan susah payah. Dengan wajah sebal, Eriol pun menurut, lalu masuk ke dalam mobil dan membanting pintu mobilnya dengan keras.
            Gaby mendesah kesal. Dengan wajah heran dan senyum pahit ia terus melihat mobil alpart berwarna hitam itu sampai lenyap dari pandangannya.
           
            ”Hei Kak, dia benar-benar Eriol? Seorang aktor dan penyanyi itu? Benarkah kau baru saja berdebat dengannya? Apa hubungan kalian?” tanya Isela begitu agresif.
            ”Hei cukup! Apanya yang aktor? Dia bahkan tidak bisa berakting manis di depan gadis yang tak sengaja melukainya. Lalu..kau bilang dia penyanyi? Apanya yang penyanyi? Aku sama sekali tidak menangkap letak kemerduan suaranya,” gerutu Gaby seraya melanjutkan langkahnya.
            Menyadari Isela terus berjalan mengikutinya, Gaby langsung menghentikan langkahnya dan berbalik menatap gadis berambut keriting ini.
           
            ”Kau, mau ikut aku pulang?” tanya Gaby.
            Isela tertegun. Bola matanya yang bulat kembali menatap Gaby dengan wajah terkejut. Setelah sadar akan sesuatu, dipukulnya kepalanya beberapa kali. ”Ohya, kenapa aku ikut kakak ya? Aneh sekali, harusnya aku kembali ke toko ya, hahaha” jawab Isela seraya berbalik lalu berjalan berlawanan arah dengan Gaby.
            ”Hei, tunggu!” teriak Gaby.
            Isela langsung berbalik. Ditatapnya wajah gadis cantik itu sambil menunggunya mengucapkan kalimat lagi.
            ”Bisa kau bantu aku?” tanya Gaby dengan nada penuh keraguan.
            Isela masih menatap Gaby dengan penuh tanda tanya.
            ”Mencari sepatuku di tumpukan sampah itu,” lanjutnya seraya menunjuk ke arah truk sampah yang terparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. ”Pria itu benar-benar sial. Tidak punya perasaan sama sekali. Bagaimana mungkin dia bisa tega membuatku berjalan dengan satu sepatu, hwaaaaaaa...hwaaa..sepatukuuu” Gaby merengek dan menangis seperti bayi.
            Isela kebingungan. Rambutnya yang keriting semakin keriting. Ia pun berlari kecil menghampiri Gaby. Dengan kedua tangan gemetar ia berusaha menyentuh pundak kakaknya itu. ”Tenang Kak! Tenaaang! Aku akan mencarikannya untuk kakak! Cup..cup..jangan menangis lagi!” katanya.

            ***
           
            Lini terbaring lemas di atas ranjangnya. Ia terus menutup matanya kuat-kuat. Bayang-banyang wajah ketiga adiknya terus melekat di ingatan. Ray yang baru saja sampai, perlahan-lahan mendekati istrinya itu. Ia mengelus punggung Lini lalu sesekali menepuk-nepuknya. Tak lama kemudian Lini duduk di hadapan suaminya.
           
            ”Aku...aku..” katanya dengan suara gemetar.
            Ray langsung memeluk tubuh Lini yang masih lemas.
            ”Aku tahu apa yang mau kau katakan,” jawab Ray sambil mempererat pelukannya.
            Perlahan Lini melepas pelukan itu. Sambil menghapus air matanya ia berkata, ”Gaby berlari melewatiku. Dia tak melihatku sedetik pun. Dia terus berlari mengejar pencuri itu. Sedangkan Isela, nyawanya hampir melayang demi menyelamatkan sebuah dompet. Dan si kecil Bina, dia begitu gesit mematikan langkah pencuri itu. Wajahnya sangat cantik, bercahaya, dan tampak sehat. Mereka bertiga tanpak sehat. Aku sangat senang.
            Ray terus menatap sendu kedua mata Lini yang merah sembab. Dipeluknya kembali tubuh Lini sampai istrinya itu meredakan tangisnya. Setelah suasana hatinya mulai tenang, Lini melepas pelukan itu secara perlahan.
            ”Ray, aku harus segera bertindak. Aku ingin mengadakan pesta besar-besaran untuk menyambut ketiganya. Aku ingin mereka tampak seperti putri. Aku ingin
            ”Lini, cobalah untuk lebih tenang. Kau harus mendekati mereka secara perlahan. Kita masih belum tahu seperti apa keluarga yang mengasuh mereka sekarang. Apa mereka benar-benar masih ingat bencana yang menimpa kalian. Terlebih lagi Bina, saat itu dia masih sangat kecil. Kalau kau menceritakan kejadian gempa itu padanya, mungkin dia akan syok,” ujar Ray dengan suara pelan. Tangan kanannya mengelus rambut Lini. Ia berharap istrinya itu bisa kembali berpikir jernih.
            Beberapa saat kemudian Lini mengangguk. Bibir merahnya melengkung sempurna bak irisan bulan. Sambil menyentuh wajah Ray, Lini berkata, ”Kalau tidak ada kau di sini, apa mungkin aku bisa setenang ini?”
            Ray tersenyum lebar. Ditepuknya pundak Lini dengan sedikit bertenaga. ”Ayo, kita makan siang! Mulai sekarang kau harus lebih menjaga kesehatanmu!” pinta Ray.
            Lini mengangguk disertai senyum manis saat menatap suaminya.

            ***
           
            Suasana di dalam mobil hening dalam beberapa menit. Sebagai pembuka percakapan, ibu manajer terus menatap Eriol dengan serius.
            ”Eriol, berapa umurmu sekarang?” tanya ibu manajer sambil mendesah kesal.
            ”24,” jawabnya singkat.
            ”Hoh, rupanya kau masih ingat umurmu. Aku sangat khawatir. Tadinya aku mengira telah menggeret paksa seorang anak kecil berumur 8 tahun untuk masuk ke mobil. Apa yang sedang kau lakukan disana? Siapa gadis itu? Kenapa kau berteriak dan mengucapkan kalimat kasar padanya? Bagaimana kalau sampai para wartawan menangkap kelakuan burukmu itu?”
            ”Apa dulu yang harus aku jawab?” balas Eriol dengan suara pelan.
            ”Ceritakan semuanya setelah kita sampai di kantor. Kau hampir saja membuatku tak berjantung,” ujar ibu manajer sambil memalingkan wajahnya.

            ***
            Dengan sekuat tenaga Isela menaiki truk sampah itu. Setelah sampai di atas tumpukan, ia mulai mencari sepatu Gaby.
            “Iselaaa, fighting!” teriak Gaby dari bawah.
            “What? Bahasa apa itu? Aneh sekali!” jawab Isela seraya menyingkirkan botol-botol plastik di hadapannya.
            ”Hm, kau tidak pernah melihat drama korea ya? Fighting itu artinya semangat. Semangat!” ujar Gaby seraya mengepalkan kedua tangannya.
            ”Huh, kakak ini ada-ada saja!” jawab Isela. Tak lama kemudian ia berteriak penuh semangat, ”Kakak, ketemuuu!” Isela mengambil sepatu high hells berwarna pink itu lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.
            ”Huwaaaah..kau memang hebat!” teriak Gaby seraya bertepuk tangan dan terus tersenyum lebar.
    ***
        ***
           
            Semenjak kejadian itu, Gaby jadi sering mengunjungi toko pernak-pernik tempat Isela bekerja. Tak jarang keduanya pergi bersama setelah pekerjaan Isela rampung. Karena merasa cukup dekat, keduanya pun tak canggung untuk menceritakan kehidupan pribadi mereka.
            Hari ini dengan matahari yang cukup terik, Gaby mengundang Isela ke rumahnya. Kebetulan gadis ini ingin membantu Isela mencari tempat tinggal baru setelah tempat kos nya yang lama sedang direnovasi.

            “Ini rumah kakak?” tanyanya.
            “Bukan. Ini rumah almarhum orang tua angkatku. Kalau rumahku sendiri, kelihatannya masih harus menunggu beberapa tahun lagi, hahaha” jawab Gaby diiringi tawa.
            Tanpa Gaby ketahui, bi Iyam ibu asuhnya sudah berjaga di depan pintu. Mulanya wanita paruh baya itu berniat menyerang Gaby selagi gadis berambut coklat ini lengah. Tapi niatnya itu harus terkubur dalam-dalam setelah melihat anak asuhnya itu membawa seorang gadis asing.
           
            Gaby mempersilahkan Isela memasuki kamarnya yang cukup luas. Gadis yang sangat mencintai uang ini terus mempertahankan posisi bibirnya yang terbuka. Melihat hal itu, Gaby sesekali tertawa.
            ”Wow, kamar kakak bagus, bersih, dan rapi!” ujar Isela setelah beberapa saat tak dapat mengucapkan sepatah kata.
            ”Ohohoho..tentu saja! Aku kan rajin!jhahahaha,” kembali ia tertawa lebar sambil melihat bi Iyam yang terus meliriknya dengan wajah kesal.
            ”Kalau aku menyewa salah satu kamar di sini boleh kan kak?Aku bisa tidur dimana saja, asalkan ada atap, dinding, dan lantai, hahaha,”  ujar Isela.
            ”Hei, kata-katamu membuatku ingin menangis. Yah, kau boleh tinggal disini! Kau bisa memakai kamar kosong di lantai bawah!” jawab Gaby seraya memakan keripik kentang dengan lahapnya. Dibiarkannya rontokan keripik itu memenuhi rok mininya.
            ”Ohohoho, beruntungnya aku. Terima kasih kakak berjari lentik!” ucap Isela dengan sedikit memperagakan tingkah konyolnya.
            ”Sama-sama adik bermata lentik!” balas Gaby sambil tertawa.

            ***
            Sebuah mobil mewah tampak berhenti tepat di pintu utama hotel. Sambil mengancingkan jasnya, Len keluar dari mobil. Ia disambut hangat oleh sekretaris dan beberapa pegawainya.
            ”Hari ini nyonya Guilinia mengantar sendiri sebuah surat undangan untuk tuan muda Len,” ujar sekretaris Hong.
            ”Apa? Kak Lini datang kesini?” tanya Len sedikit terkejut.
            Seketaris Hong mengangguk pelan. Ia berkata,  ”Lusa nanti nyonya Guilinia akan mengadakan pesta kecil-kecilan bertepatan dengan dibukanya hotel baru tuan Raymundo di daerah pegunungan. Tapi acara itu bertepatan dengan acara pembukaan hotel baru kita. Apa yang harus saya lakukan tuan?” tanya sekretaris Hong.
            ”Tentu saja kita undur pembukaan hotel baru kita. Tolong sampaikan pada Kak Lini, aku pasti akan datang ke pestanya!” jawab Len sambil melanjutkan langkahnya masuk ke dalam lif.
            Sekretaris Hong sedikit membungkuk. Ia meninggalkan Len memasuki lif dan menjalankan tugasnya kembali.
            Ketika hendak masuk ke ruang kerjanya, secara kebetulan Len bertemu dengan Raymundo-suami Lini sekaligus sahabat baiknya.
            ”Kak Ray,” sapa Len dengan senyum lebar.
Ray sedikit terkejut. ”Oh, pak manajer datang tepat waktu rupanya, apa kabar?” tanya pria berkaca mata itu seraya menjabat tangan juniornya.
”Tentu saja baik-baik saja! Ohya kak, baru saja sekretaris Hong mengatakan soal undangan pesta kak Lini. Kalau boleh tahu, dalam rangka apa?”tanya Len.
Mereka berdua berjalan mengelilingi kawasan green house hotel. Di tempat itulah Ray menceritakan semuanya.

            ”Jadi 3 GP itu sudah ditemukan. Wah, aku tak sabar melihat mereka. Ketiganya pasti sangat cantik seperti kak Lini. Apa kakak sudah melihat mereka?”
Len tampak cukup penasaran. Ia menunggu jawaban Ray sambil menyeduh secangkir teh hijau.
            ”Belum. Tapi aku sudah melihat foto mereka. Benar katamu, mereka sangat cantik. Aku sempat berharap salah satu dari mereka akan menikah denganmu,” ujar Ray sambil tertawa.
            Mendengar pujian secara tak langsung itu, Len tak sanggup menahan tawa. Wajahnya yang putih bersinar tampak merah dalam sekejap. sambil menggelengkan kepala ia menjawab, ”Sebenarnya aku sangat ingin, tapi bagaimana dengan Yesa? Aku bisa dibunuhnya kalau tidak menikahinya,” jawab Len sambil tertawa.
            ”Yah benar, kau sudah memiliki Yesa. Aku sangat kagum dengannya. Di usianya yang masih muda, ia berjuang sebagai single parent. Dia juga adalah sahabat sejati bagi Lini. Aku bersyukur Lini memiliki sahabat seperti Yesa, tunanganmu,” lanjut Ray.
Setelah mengucapkan kalimat itu, ia merubah posisi duduknya. Sambil membenarkan kembali dasinya, ia berpamitan pada Len.
            ”Kelihatannya sudah sangat lama kita berbincang. Aku ada rapat satu jam lagi. Setelah berbincang lama denganmu, aku merasa tak ingin pergi ke kantor,” ucap Ray.
            ”Hei, tentu saja kakak harus kembali ke kantor! Aku juga akan melanjutkan pekerjaanku,” jawab Len seraya menjabat tangan Ray.
            ”Kutunggu kedatanganmu lusa nanti, oke!” ujar Ray.
            ”Pasti!” jawab Len sambil mengagguk.

            ***
            Keesokan harinya.
            Gaby masih betah tidur di ranjangnya yang empuk. Ia tak menghiraukan apakah matahari sudah tinggi sepenggala ataupun kembali tenggelam. Sudah bertahun-tahun kelakuannya itu tidak berubah.
            Sambil menggigit apel dengan lahap, Isela menghampiri bi Iyam yang sedang memasak.
            ”Bi’, apa kak Gaby selalu bangun siang?” tanyanya.
            ”Yah, begitulah nona Gaby. Hari ini dia pasti ”kedatangan tamu”, kalau hari biasa dia pasti bangun, sholat subuh, setelah itu ya tidur lagi. Bahkan dia bisa bangun keesokan harinya,” cerita bi Iyam panjang lebar.
            Tak lama kemudian...
            *Dug dug dug dug
             Suara kaki Gaby menuruni anak tangga kayu menggema begitu nyaring.

            ”Hei, kenapa kalian berdua melihatku seperti itu?” tanya Gaby setelah sampai di dapur dan melihat dua mahkluk di hadapannya itu menatapnya dengan ekspresi yang begitu datar.
            Dibukanya kulkas besar itu, lalu mengambil botol air dan meminumnya dengan cepat.
            ”Hei Kak, kau seperti seseorang dari padang gurun yang sedang menemukan mata air,” ledek Isela seraya melewati Gaby dengan santai.
            Gadis berambut coklat ini melihat Isela dari ujung kaki sampai ubun-ubun. ”Kau mau kemana? ” tanyanya.
            ”Tentu saja kerja. Kakak tidak kuliah?” tanya Isela kembali.
            ”Karena sudah pintar aku tak perlu kuliah lagi. Hm, kau pekerja tetap di toko pernak-pernik itu ya?”
            Isela mengangguk sekali. ”Ya, memangnya kenapa?”
            Dengan cepat Gaby meraup tempe dan tahu yang baru saja digoreng bi Iyam. Alhasil mulutnya pun penuh dengan kedua makanan itu. ”Tunggu!” pintanya. Gaby kembali masuk ke kamar, berganti pakaian, lalu kembali turun.
            ”Ayo kita berangkat!” serunya seraya menggandeng tangan Isela.
            ”Nona Gaby, mandi dulu!” teriak bi Iyam setelah hidungnya itu berhasil menangkap aroma unik itu lagi.
            ”Hei, aku bisa menunggu sebentar. Kakak mandi saja dulu!” ujar Isela yang tak tega mendengar bi Iyam berteriak-teriak.
            ”Tidak, tanpa mandi pun tubuhku sudah harum! Coba cium! Wangi kan?” Gaby mendekatkan pundaknya ke wajah Isela.
            ”Sudah berapa hari kakak tidak mandi?” tanya Isela pelan.
            ”Mmm...mungkin sudah seminggu ini, hahahaha. Tenang saja, aku tak lupa pakai parfum kok,” jawab Gaby dengan wajah innocent.
            Dalam beberapa detik Isela tak menampakkan ekspresi berarti. Tubuhnya begitu pasrah dibawa oleh Gaby.

            Sesampainya di mall, Gaby menegur Isela berulang kali. Karena masih syok, Isela masih terdiam. Kelakuannya itu membuat bos nya menjadi heran.
            ”Maaf, apa anda kakak Isela?” bos Isela mendekati Gaby.
            ”Oh, anggap saja begitu, hahahaha, ” jawab Gaby dengan senyum konyol.
            ”Apa pagi ini dia salah makan?” tanya bos itu lagi.
            “Apa separah itu?” Gaby kembali bertanya.
            “Tentu saja. Dia adalah tambang emasku. Dalam sehari, dia bisa membuat sedikitnya 50 pengunjung di toko ini membeli barang kami. Kalau sampai dia diam seperti itu, mati lah aku,” ucap si bos dengan wajah lesu.
            Setelah mendengar hal itu, Gaby merasa bersalah. Ia tidak menyangka karena seminggu ia tak mandi membuat Isela syok berat. Tanpa gadis berambut coklat ini ketahui, percakapan mereka diam-diam didengar oleh Lini. Wanita anggun ini sejak tadi berada di depan toko itu demi bertemu kembali dengan kedua adiknya.
            Setelah Gaby pergi, Lini masuk ke toko pernak-pernik itu. Sambil melihat barang-barang unik yang terpajang di sana, matanya tanpa henti membidik setiap sudut untuk mencari dimana adik keduanya itu berada. Setelah menemukan sosok yang dicarinya, dengan langkah berat Lini mendekati gadis yang masih terdiam itu.
            ”Nona,” sapanya dengan suara lembut.
            Isela tersentak. Jantungnya hampir mencuat keluar. Dengan senyum lebar ia pun menyapa tamu pertamanya itu.
            ”Selamat pagi! Anda ingin mencari apa? Di sini banyak sekali bros lucu dengan bentuk yang unik, di sini juga ada hiasan rambut dengan permata berwarna –warni,” ujar Isela seraya menunjukkan barang-barang itu pada Lini.
            “Aku mencari permata,” Lini terpaku. Di matanya saat itu, Isela terlihat begitu bersinar. Tak pernah terlintas dalam pikirannya kalau adik keduanya itu akan menyambutnya dengan wajah yang begitu ramah.
            “Oh, permata?”
            Setelah beradu tatap dengan adik keduanya itu, dadanya terasa begitu sesak. Lini hampir tak sanggup menahan air matanya.

***
            ”Apa separah itu?” gumam Isela sepanjang perjalanan.
            Kedua kakinya yang mungil mulai memasuki toko buku. Sambil menghela nafas, ia berusaha melupakan rasa bersalahnya.
            Rak lemari pertama yang Gaby tuju pertama kali selalu adalah novel. Ia melihat satu-persatu kategori best seller yang berjajar rapi di meja.
            ”Uwaaa!” ujarnya setiap kali ia terperangah melihat salah satu novel itu.     
            Untuk membaca dengan teliti buku mana yang akan dibawanya pulang, Gaby bisa bertahan di sana selama berjam-jam. Saking khusuknya, tanpa ia sadari seorang wanita muda, anggun, dan cantik terus mengawasinya sejak tadi.
            Karena rasa penasaran yang tinggi, wanita itu menepuk lembut pundak Gaby.
            ”Anda penulis novel ya?” tanya wanita itu sambil tersenyum manis.
            Gaby cukup terkejut mendengar sapaan yang tiba-tiba itu.
            ”Bagaimana anda bisa tahu saya suka menulis?” Gaby kembali bertanya.
            ”Tentu saja. Sudah tiga jam kau berdiri di sini dan tak bosan membaca synopsis buku-buku itu,” jawab wanita itu.
            Isela mengangguk kagum. Ia pun menjabat tangan wanita itu. ”Namaku Yesa. Aku seorang editor naskah.”
            Mendengar hal itu, Isela terkejut. Ia merasa sangat senang bisa mengenal tanpa sengaja seorang editor naskah yang terlihat sangat terpelajar itu. Apalagi wanita itu yang pertama kali menyapanya.

            Keduanya berbincang di sebuah cafe tak jauh dari toko buku. Memang tak sulit untuk bisa akrab dengan orang asing yang memiliki kesenangan yang sama. Hal itulah yang terlihat pada Gaby dan Yesa. Setelah membicarakan banyak hal, wanita itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Sebuah kartu undangan yang terlihat sangat mewah berada tepat di depan Gaby.
            ”Apa ini?” tanyanya.
            ”Temanku yang sedang membuka usaha penerbitan akan mengadakan pesta besok malam. Di sana akan banyak penerbit yang hadir, begitu juga dengan para penulis terkenal. Mungkin ini adalah kesempatan emas untukmu, terimalah!” pinta Yesa.
            Gaby terperangah. Ia tak mampu berkata-kata. Begitu susahnya ia membuka mulutnya padahal dalam hati ia ingin sekali mengucapkan banyak terima kasih pada wanita itu.

            Setelah mengakhiri perbincangannya dengan Yesa, Gaby buru-buru pergi menemui Isela. Namun setelah sampai di sana, bos nya mengatakan bahwa pegawainya itu dibawa pergi oleh seorang wanita anggun.
            ”Bos mengenalnya? Apa dia pelanggan tetap?” tanya Isela kembali.
            ”Hmm, sampai sekarang aku tidak percaya dengan apa yang aku alami tadi. Kau tahu Guilinia kan? Wanita hebat yang sangat terkenal dan tak pernah absen dalam berita?”
            Gaby menggeleng sekali dengan wajah santai. ”Tempat tinggalku di Kanada. Aku baru beberapa minggu tinggal di sini.”
            ”Oh. Wanita itu membeli semua barang di toko ini. Jadi aku menutupnya lebih awal. Dia juga mengajak Isela pergi dengannya. Entah apa yang mereka berdua lakukan,” jawab bos itu. Ia mengakhiri ceritanya dengan duduk lemas di kursi sambil mengipas-ngipas lehernya. Dibiarkannya Gaby yang masih mematung. Beberapa menit keduanya terdiam tanpa kata.
            ***
           
            ”Jadi selama ini...kau hidup sebatang kara?” tanya Lini dengan nada terbata-bata.
            Isela mengangguk. Sambil memakan ice creamnya, gadis berusia 20 tahun ini menceritakan perjalanan hidupnya. Ia sudah tak ingat lagi masa kecilnya, entah sejak kapan. Ia tak ingat wajah kedua orang tuanya bahkan ia tak tahu apa dia punya adik atau kakak. Saat kedua matanya dapat terbuka, ia sudah berada di sebuah rumah kecil, kotor, dan usang.
            ”Ayahku adalah seorang pemulung. Ia selalu pulang larut malam. Tanpa membawa uang sepeser pun, ia langsung menyakiti ibuku. Ia menarik rambut ibuku sampai beliau menangis minta ampun. Saat itu aku hanya bisa bersembunyi di bawah meja. Tubuhku gemetaran, takut luar biasa. Jantungku berdegup kencang bahkan hampir mencuat keluar saat aku melihat sepatu ayah mulai mendekati tempat persembunyianku. Ia mengangkat meja, lalu menemukanku. Tawanya yang menggelegar itu membuat sekujur tubuhku merinding. Rasanya aku ingin buang air kecil dan besar secara bersamaan. Aku berteriak keras, tapi semakin aku berteriak, ayah memukulku semakin keras,” sesaat Isela menghapus setetes air matanya. ”Sejak saat itu, aku tidak takut jatuh, aku tidak takut hantu, aku tidak takut kelaparan, tapi satu yang aku takutkan. Aku takut ayah memukulku. Aku berharap seumur hidupku aku tidak bertemu dengannya,” lanjut Isela.
            Setelah menampakkan wajah sedih, gadis berkuncir dua itu melebarkan senyumnya. Ditepuknya pundak Lini cukup keras, lalu tertawa terbahak-bahak.
            ”Kakak menangis? O my God. Kakak benar-benar percaya dengan ceritaku?” tanya Isela kembali. Kini ia tak segan berlagak konyol di depan Lini.
            Lini pun tersentak. Buru-buru ia menghapus air matanya lalu menatap Isela dengan serius.
            ”Kakak tidak apa-apa?” tanya Isela lagi. Matanya yang bulat terus menatap Lini dengan paras keheranan. ”Kakak begitu polos. Seharusnya kakak tidak mudah percaya dengan orang yang baru saja kakak kenal. Eh, ngomong-ngomong, apa kakak akan benar-benar menulis kisah yang aku ceritakan tadi?” tanya Isela kembali.
            Lini mengangguk pasti. Setelah menenangkan kembali pikirannya, ia mematikan alat perekam yang digenggamnya sejak tadi.
            ”Terlepas dari benar tidaknya kisah yang kau ceritakan tadi, aku sangat berterima kasih untuk itu. Hatiku merasa tersentuh. Kisah ini akan jadi salah satu topik perbincangan yang menarik,” jawab Lini seraya menghabiskan ice ceramnya.
            ”Oh, begitu. Semoga acara kakak sukses. Ohya, apa nama acara kakak tadi?”
            ”Mencari belahan jiwa,” jawab Lini sambil tersenyum manis.
            Isela mengangguk beberapa kali. Ia berjanji akan menonton acara Lini tersebut.
            ”Aku baru saja pindah ke rumah seorang kakak yang baru pertama kali kutemui. Saat itu dia membantuku meringkus pencuri yang beraksi di mall. Sejak pertemuan itu, aku merasa aneh. Beberapa hari ini aku merasa mendapat banyak sekali kejutan. Dulu aku sangat berhati-hati dengan orang asing, tapi setelah bertemu dia dan juga kakak, persepsiku berubah. Kenapa seorang asing...terasa seperti saudara sendiri ya?” ujar Isela.
           
            ”Kenapa saudara sendiri...malah menjadi sesosok orang asing?” gumam Lini dalam hati.
            Setelah ice cream mereka habis, Lini mengeluarkan sebuah amplop dari  dalam tasnya. Ia memberikan amplop itu tepat di depan Isela.
            ”Terima kasih sudah meluangkan waktumu. Kisahmu...benar-benar sangat menarik. Aku jadi bersemangat mengembangkan progam acaraku ini. Semoga acara ini bisa bermanfaat.”
            Ekspresi wajah Isela begitu meledak-ledak layaknya kembang api raksasa yang meletus di langit malam saat menerima hadiah dari Lini.
            ”Aku juga senang bisa membantu kakak,” ucapnya dengan senyum lebar.

            Selama perjalanan pulang, Lini tak melepas pandangannya sedetik pun dari wajah Isela. Ia terus menatap sendu wajah adiknya itu. Sesekali ia sembunyi-sembunyi menghapus air matanya yang menetes. Ia terus menikmati berjalan bersama adiknya.
            ”Boleh aku tahu, apa kau sudah punya pria idaman?” Lini iseng bertanya.
            ”Oh, pria idaman? Aku tak pernah memikirkannya. Selama ini yang ada di hatiku hanyalah uang,” jawab Isela dengan wajah berseri-seri.
            ”Tidak butuh pria? Benar-benar tidak butuh?” Lini mempertegas pertanyaannya.
            Dengan tegas Isela menjawab, ”Aku terbiasa hiup mandiri...” perkataannya terhenti seiring dengan langkahnya. Kedua matanya yang lentik itu terperangah pada sesuatu . Lini yang cukup terkejut langsung mengikuti arah tatapan Isela.
”Sampai aku bertemu mahkluk...yang memancarkan sinar...100 juta dollar..dia..” Isela menatap lekat sesuatu di depannya.
Wajah Lini langsung memucat. Ditatapnya sosok pria berjas yang sedang membantu seorang nenek menyebrang jalan. Tangan kanannya spontan menutup mulutnya. Pandangannya tak beralih sedetikpun sampai pria yang dikenalnya itu selesai menyebrangkan nenek itu dan kembali masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari keduanya.
Setelah mobil mercedez berwarna hitam itu melewati keduanya, pandangan Isela pun menerawang. Ia terus menatap mobil itu sampai lenyap dari pandangannya.
Melihat hal itu, Lini menepuk punggung Isela dengan lembut. Gadis berambut keriting ini pun langsung tersentak. Dengan cepat ia tertawa lebar sambil memukul kepalanya berulang kali.
”Isela, sejak kapan...kau jatuh cinta...dengan pria itu?” tanya Lini dengan suara lirih.
”Ah, bukan pria itu! Aku...terkesima dengan...mobilnya,” jawabnya gugup. ”Hoooh, mobilnya mengkilap sekali, mataku sampai sakit melihatnya,” lanjut Isela seraya mengipas-ngipas lehernya dengan telapak tangannya.
            Beberapa saat kemudian, Ray datang menjemput Lini. Setelah masuk ke dalam mobil, mereka saling melambaikan tangan. Ray pun melajukan mobilnya kembali.

”Bagaimana Isela bisa mengenal Len? Kapan mereka bertemu? Bagaimana mungkin dia bisa menyukai Lentunangan Yesasahabatku sendiri. Apa yang harus kulakukan?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar