Minggu, 14 Agustus 2011

3 GP episode 8

Bab 8

“Love is a word “that's okay” to accept all the shortcomings.”

            Lorna berhasil menjatuhkan nama Lini hanya dengan membuat gosip murahan tentang hubungan terlarang adik pertamanya itu dengan Eriol. Semua kisah manipulasi begitu indah disusun para wartawan infotainment lalu menyuguhkannya secara hangat pada khalayak. Usai konfrensi pers, Gaby uring-uringan. Tangan yang begitu lama menggandengangnya kuat, dengan penuh emosi ia lepaskan. Tanpa pikir panjang, Gaby pun pergi dari tempat itu tanpa menatap Lini sekilas pun. Ketika hendak mengejar adiknya, Eriol menahan Lini.
            ”Kak, biar aku yang mengejarnya!” pinta Eriol seraya membantu Lini kembali ke sofa dan beristirahat.

            Lima belas menit setelah kepergian Eriol, Yesa datang bersama Len. Keduanya tampak gelisah setelah melihat Lini berparas masam.
           
            ”Kami sudah mendengar beritanya. Aku yakin, semua ini tidak akan terjadi kalau Lorna tidak memperkuat skandal-skandal itu. Tapi yang aku tidak habis pikir, bagaimana dia bisa punya inisiatif untuk ikut menyeret keluarga Eriol?” ujar Yesa.
            Ray mengangguk pelan. Ia sangat setuju dengan praduga Yesa. “Eriol memang sudah menjadi sasaran wartawan ketika dia mengantar Gaby ke konfrensi pers kala itu. Semua ini akan jadi sangat sulit baginya yang juga menjadi publik figur.”
            ”Bagaimana para reporter itu bisa pergi secepat ini?” tanya Len.
            ”Para wartawan datang ke rumah Eriol dan mewawancari orang tuanya. Saat itu neneknya berkata dengan jelas di depan media kalau cucunya akan menikah dengan Gaby,” jawab Ray setelah menghela nafas panjang. Len dan Yesa saling pandang. Ada terselip hal yang membuat keduanya ingat percakapan mereka saat di dalam mobil beberapa jam yang lalu.
            ...
            Susasana di rumah Eriol.

            “Jadi tepatnya sejak kapan Eriol dan Galabria menjalin hubungan spesial nyonya?” tanya wartawan.
            “Kalau itu saya tidak tahu pasti. Yang jelas, akan ada pernikahan antara Galabria dengan Eriol. Beberapa hari yang lalu kami sekeluarga sudah berbincang serius dengan Guilinia, jadi tidak ada masalah lagi.”
            “Lalu, apa benar pernikahan yang mendadak ini karena Galabria sedang mengandung?”
            “Tentu saja itu tidak benar. Cucuku adalah pria baik-baik. Dia dididik dalam keluarga yang terhormat. Jika ada yang berani mengatakan hal semacam itu, saya tidak segan-segan membawa perkara ini ke pengadilan,” ujar sang nenek. Ibu Eriol yang terus mendampinginya terlihat begitu pasrah. Sesekali ia menghela nafas panjang. Ibu anggun dan cantik ini sangat patuh dengan ibu mertuanya. Oleh karena itu ia tak mencoba membantah ataupun menyela perkataan beliau.
            ...
                        ***
            ”Hei, kenapa ayam berjalan cepat sekali? Kau ini ayam milenium yang memakai sepatu roket ya?”
            *Kukukuruyuuuuk. Suara ayam jantan bergema.

            Gaby berbalik dengan wajah emosi. Tatapannya menyorot Eriol dengan penuh benci. Melihat hal itu, pria ini pun kembali bertampang bodoh. Sesekali ia menunduk malu layaknya seorang anak kecil yang takut dimarahi.
            “Hei kau! Kenapa nenekmu melakukan ini padaku? Lalu kau tidak membantahnya sedikit pun. Eriol, apa dendammu padaku masih membara?” gerutu Gaby. Sempat ia memberantakkan rambutnya, berteriak, lalu mendengus kesal. Eriol yang semula bermaksud menjelaskan keputusannya itu secara baik-baik, langsung mengurunkan niat mulianya itu.
            Karena tak tahan dengan perkataan gadis itu, Eriol pun berteriak, ”Hoh! Bukankah kakakmu Lini juga mengiyakan kata-kata nenekku? Hei unggas, seharusnya kau senang menjadi calon pengantin seorang aktor terkenal. Kau tahu, di luar sana beribu wanita mengantri untuk memperebutkan posisimu sekarang.” Eriol terlihat begitu arogan.
“Dengar! Aku bukan salah satu diantara mereka. Sedikit pun aku tidak pernah berfikir untuk menikah denganmu meski kau pria tertampan di muka bumi ini.”
“Kau..kau..benar. Aku adalah pria tersial di dunia ini kalau sampai aku menikah dengan gadis sepertimu, Galabria!”
”Benar, aku pun sama, tuan Eriol yang arogan!”
“Arogan?”
“Benar. Arogan.”  Gaby mendengus kesal. Dengan penuh emosi ia berjalan melewati Eriol dan kembali masuk ke gedung.

            ***
            Yesa terus menggenggam kuat tangan Lini. Ia melihat tatapan sendu dan kekhawatiran masih terpancar di wajah sahabatnya itu.
            ”Hei, kenapa setelah menemukan adik-adikmu kau jadi lemah begini? Dulu kau begitu tegar dan kuat. Apa yang membuatmu risau?” tanya Yesa dengan suara mendayu.
            ”Terkadang aku berfikir, lebih baik aku bukan siapa-siapa. Dengan begitu ketiga adikku bisa hidup dengan tenang. Karena mereka adikku, makanya jadi seperti ini. Belum lagi soal Lorna. Dia tidak akan berhenti sampai melihatku jatuh. Seandainya aku bisa dengan mudah memberikan semua ini padanya, akan aku berikan. Tapi mengingat pesan ayah sebelum meninggal, aku jadi tak bisa berbuat apa-apa. Oleh karena itu aku butuh orang lain untuk membantuku menjaga mereka bertiga. Hidupku tidak akan tenang sebelum melihat adik-adikku menikah.”
            Yesa mengangguk. Dielusnya pundak sahabatnya itu sampai ia meredakan tangisnya.
            ”Aku tahu kau begitu menginginkan Eriol. Kau sampai mendatangi rumahnya dan memintanya untuk menikah dengan adikmu. Aku yakin Eriol pria yang baik dan bisa menjaga Gaby. Tapi apa Gaby setuju? Sifat over protektifmu itu perlahan akan membuat Gaby menderita. Apa kau sadar Lini?”
            Lini mengangguk pelan. Ia meminum secangkir teh itu dengan maksud menenangkan kembali pikirannya. Begitu khusuknya mereka berbincang sampai keduanya masih belum sadar kalau Gaby sedang berdiri di depan pintu sambil mendengar percakapan mereka. Sejenak sosok Eriol mulai bergulat dalam ingatannya. Bagaimana mereka bertemu pertama kali, lalu yang kedua kali, pria itu yang mendengar keluh kesahnya. Pria itu yang dengan wajah ramah mengantarkan ke tempat kakaknya.

Gaby tersadar. Mungkin ia salah menilai pria itu. Setelah lama berfikir dan mendapat jawaban, Gaby pun meraih daun pintu lalu membukanya perlahan.
            ”Kakak,” sapa Gaby.
            Yesa dan Lini terkejut. Keduanya sama-sama menatap Gaby lekat , seakan menunggu apa yang hendak dikatakan gadis itu.

            ”Aku...aku..mau menikah dengan Eriol.”

            ***
           
            Berhasil menjernihkan kembali berita miring tentang Gaby, Lini pun kembali gusar. Pasalnya berita tentang adegan kekerasan yang sempat menimpa Isela tertuang di dalam majalah maupun berita elektonik.
            Ia marah karena Isela tak memberitahunya bahwa ayah angkatnya itu sempat memerasnya, bahkan hendak menembakkan peluru pada adiknya itu.

            ”...tapi dengan cekatan aku memukulnya kak. Untung saja saat itu ada kak Len. Dia membantuku meninju ayah sampai babak belur. Lalu ayah kabur, hahahahaha,” cerita Isela dengan gerakan ekspresif.
            ”Benarkah? Wah, ceritamu sangat menginspirasiku adik. Aku jadi punya bayangan adegan action yang akan aku tulis di ceritaku nanti,” ujar Gaby sambil tertawa cukup panjang. Setelah itu ia mematikan recorder genggamnya.
            Lini menghela nafas. Tangan kanannya terus memegani kepalanya seraya tertunduk.
            ”Hei kak, seriuslah sedikit!” Tita menyikut Isela seraya menyuruhnya untuk kembali duduk.
            Isela patuh setelah melihat Lini kembali menatapnya dan Gaby dengan penuh keseriusan.
            ”Kalau begini caranya, kakak akan benar-benar menikahkan kalian di hari yang sama!” ujar Lini dengan nada sedikit meninggi.
            Di saat yang sama, Yesa datang dan berdiri di tengah-tengah mereka.
            “Kalau Gaby sudah punya Eriol, aku punya kandidat yang pantas untuk Isela,” ujar Yesa.
            Lini sangat terkejut. Ia terus menatap lekat sahabatnya itu seolah menunggu siapa yang akan disebut Yesa.
            “Aku mengusulkan Len!” jawabnya seraya menyuruh seorang pria yang sudah berdiri cukup lama di luar, untuk segera masuk.
            Dalam sekejap Yesa membuat keempatnya diam seperti patung. Tak lama kemudian ketika Len hendak bersua, Isela buru-buru keluar dari ruangan. Melihat semua kekacauan itu akibat ulahnya, Len pun berlari menyusul gadis itu. Sementara Tita dan Gaby merasa kakaknya itu hendak berbicara serius dengan Yesa, keduanya pun berpamitan.

            ”Yesa, apa maksudmu?”
            Sambil tersenyum, wanita anggun dan keibuan ini menjelaskan maksudnya. Perlahan-lahan ia bicara dan Lini pun sedikit banyak dapat menyerap maksud Yesa.
            ...
            Len terus mengejar Isela sampai gadis ini pun berhenti. Ia mengurunkan niatnya untuk terus melangkah pergi semakin jauh. Dengan ragu ia berbalik, lalu berjalan melewati Len dengan kepala tertunduk.
            ”Tunggu. Aku bisa menjelaskan semuanya. Aku mohon jadilah pendengar yang baik untuk malam ini. Kita teman kan?” pinta Len seraya menunggu Isela membalikkan badan dan menatapnya.
            Tak menunggu lama, Isela pun berbalik. Ia menatap Len dengan mata serius.
            ”Sudah lama hubungan kami tak berjalan baik. Aku sudah berusaha untuk tetap mempertahankannya, tapi hasilnya nihil. Aku mau menikahimu bukan karena kasihan pada siapapun atau untuk pelampiasan. Aku kesini karena aku yakin pada satu keinginanku. Jika kau ingin aku disini, aku akan tetap disini. Jika tidak, aku akan pergi.”
            Isela diam. Ia berfikir dengan keras, namun tak ada yang bisa membuatnya berkeinginan untuk meninggalkan Len saat itu. Dengan penuh keraguan ia menengadah, menatap pria bertubuh tinggi di hadapannya. Sambil tersenyum paksa ia berkata, ”Benarkah bisa? Bisakah kakak...di sampingku?”
            Len melambai, menyuruh Isela lebih mendekat ke arahnya. Gadis ini bingung. Pikirannya menerawang hingga ia tak sempat memikirkan sesuatu hal negatif yang mungkin terjadi. Setelah mendekat. Dengan lembut Len mengecup keningnya. Isela terkejut. Pandangannya seperti orang linglung.
            ”Barusan tadi..apa ya?” tanyanya sambil terus tertawa seperti orang bodoh.
            Len tersenyum. Sesekali ia menyembunyikan rasa malunya.

           

























***
Seminggu sebelum pernikahan, Len memberitahu Lini kalau ia akan mengunjungi Yesa di kampung halamannya. Lini pun menyanggupinya. Ia takkan menghalangi Len menemui sahabatnya itu. Lini pun berharap Yesa bisa berfikir jernih dan tidak gegabah mengambil keputusan. Saat sampai di depan pintu, Len kembali berbalik.
”Kalau seandainya aku tidak kembali?”
”Aku berharap Yesa bisa mengambil pilihan yang terbaik. Kau, Yesa, dan Isela adalah orang yang sama pentingnya bagiku. Kalau Yesa berubah pikiran, aku akan turut senang. Situasi di sini percayakan padak kakak, yang penting kalian berdua bahagia. Aku juga minta padamu untuk menyampaikan pemikiranku. Aku tidak akan meninggalkan Yesa hanya karena masalah ini. Pengorbanannya untukku sudah sangat besar. ”
Len mengangguk ragu. Ia keluar dari ruang kerja Lini, lalu terdiam sesaat di depan pintu. Ia bersandar sejenak. Len begitu tertekan. Ia tak tahu jalan mana yang harus ditempuhnya.
***
Kereta melaju dengan cepat pagi itu. Len yang duduk di samping jendela merasa terhibur sejenak ketika melihat pemandangan sawah dan pegunungan yang terbentang luas dan indah di depan matanya. Sejenak Len berhenti memikirkan tindakannya nanti sesampainya di tempat Yesa. Sejenak ia khusuk menghirup udara segar yang masuk melalui celah jendela.
Jam menunjukkan pukul  sepuluh pagi,  Len melangkah turun dari kereta sambil membawa tas kecil. Ia tak menyangka, kedatangannya itu sudah disambut hangat oleh Yesa. Gadis keibuan ini tersenyum manis. Ia menggandeng seorang anak kecil berusia delapan tahun yang turut memberi senyuman manis padanya.
            ”Kak Len!” sapa anak kecil itu.
            ”Hei, Alan, jagoan kakak! Kau tampak sangat sehat,” ujar Len seraya mengusap rambut anak kecil itu.
            ”Kakak, terima kasih sudah menjaga mamaku selama ini!”
            ”Hei, bicaramu seperti orang dewasa saja!”ujar Len sambil tertawa.
            “Tentu saja, aku harus cepat besar supaya bisa menjaga mama!” jawab Alan.
            Sesaat kedua mata mereka bertemu. Tak lama kemudian Yesa memalingkan wajahnya.
            ***
            ”Wow, jadi Len tidak berpamintan padamu?” tanya Gaby seraya memakan keripik kentangnya dengan lahap.
            Isela mengangguk pelan. Wajahnya terlihat hopeless tingkat tinggi. Tak berapa lama kemudian, gadis ini kembali ceria. Dengan santainya ia memakan keroket cabai yang tertata rapi di sebuah mangkok. Keroket cabai adalah kreasi keroket Bi Iyam yang di dalam adonan kentangnya bersemayam 3 buah cabai hijau yang masih utuh. Tanpa ekspresi ia terus menggigit keroket cabai itu dengan lahap lalu mengunyahnya. Gaby merasa ketakutan. Ia tak melihat ekspresi yang berarti keluar dari wajah adiknya itu. Sesaat ia melihat kerlipan keringat di kening gadis ini.
            ”Ketika suasana hatimu buruk apa kau selalu seperti ini adik?”
            ”Ya. Biasanya aku makan cabai hijau besar. Terkadang kita merasa sedih yang terlalu dalam, itu karena kita berfikir tentang kesedihan kita. Agar tidak larut di dalam kesedihan itu, aku hanya berusaha berbohong pada diri sendiri.”
            ”Aku masih tak mengerti,” ujar Gaby seraya terus menatap wajah Isela yang masih santai mengunyah lomboknya.
            ”Katakan, menurutmu apa yang aku makan ini pedas atau tidak?” Isela menyodorkan keroket itu di depan mata Gaby.
            ”Tentu saja pedas, itu kan keroket cabai yang dibuat Bi Iyam dan biasanya cuma dia yang memakannya habis. Tapi sekarang aku berfikir itu keroket biasa. Buktinya kau tidak merasa kepedasan.”
            ”Ya. Ini memang tidak pedas. Hahahahaha,” Isela tertawa panjang. ”Kakak mau coba?”
            Tanpa ragu Gaby pun mengambil keroket itu lalu memakannya. Lima detik kemudian. Gaby meletakkan keroket itu lalu loncat dari sofa menuju ke kamar mandi.
            ”Ada apa kak?” teriak Isela.
            Gaby menyikat lidahnya dengan pasta gigi. Setelah merasa agak membaik, ia berjalan dengan penuh emosi menghampiri Isela.
            ”Apa maksudmu?” tanyanya.
            ”Aku hanya berusaha berbohong pada diri sendiri, itu saja,” jawab Isela kembali.
            ”Kalau rindu bilang saja rindu. Kalau ingin menangis ya menangis saja. Kalau kau berusaha membohongi diri sendiri, akan terasa lebih sakit. Kenapa tidak kau luapkan saja?”
            Beberapa detik kemudian kedua mata Isela berair dan berubah warna menjadi merah. Mulutnya terus terbuka. Tangan kanannya mengipas-ngipas bibirnya yang sudah merah karena pedasnya cabai.
            ”Tapi ini sangat membantuku. Semakin pedas akan semakin enak. Setidaknya pikiranku akan bercabang dua.”
            ”Kau sangat merindukannya bukan?” goda Gaby seraya menyikut Isela beberapa kali.
            ”Tidak. Tidak. Tidak!”jawab Isela seraya melahap kembali keroket itu.
            ***
            Pernikahan Galabria dan Grisela dilaksanakan di hari yang sama. Hal itu membuat Lorna kembali uring-uringan. Puluhan majalah yang memuat berita itu ia lemparkan jauh-jauh dari tempatnya.
           
            ”Heeei, Lorna, cobalah untuk lebih tenang!” pinta Hyena.
            ”Hyena, kau harus membantuku,” ujar Lorna dengan tatapan penuh arti.
            Hyena mendongak. Sesekali ia menampakkan ekspresi bingungnya.
            ”Buat Eriol terpikat padamu. Itu tidak susah kan?”
            Hyena tertawa panjang. Sejenak ia menunjukkan kemolekan tubuhnya di hadapan Lorna. ”Tentu saja itu mudah, jawabnya dengan penuh percaya diri.
            ***
            Siang itu Len membantu Yesa memetik strawberry yang masih segar. Ini adalah salah satu rutinitasnya sembari menunggu buah hatinya itu pulang sekolah. Melihat wajah gembira yang terus terpancar di wajah Yesa, Len pun tak bisa menemukan waktu yang tepat untuk membicarakan masalah mereka. Ketika ia hendak berkata, Yesa buru-buru menyelanya. Sepertinya wanita berumur 25 tahun ini sudah tahu tujuan Len datang menemuinya. 
            Setelah mendapat cukup banyak strawberry, keduanya berjalan menuju tempat pemberhentian kereta mini. Di taman starwaberry yang luas ini, ada satu rute jalan yang di area tertentu dibangun sebuah rel kereta api. Mereka yang rumahnya jauh dari perkebunan bisa menaiki kereta ini.
            Dalam perjalanan, Len tertidur di pundak Yesa. Sempat ia tersadar, namun Len kembali menutup matanya. Selama waktu berjalan, ia berusaha mencari jawaban. Saat di sisi Yesa, ia masih merasakan perasaan sayang yang besar pada wanita ini dan juga anaknya.
”Len. Maaf membuatmu harus bertindak seperti ini. Kau pun tahu aku sangat berat untuk menanggung keputusanku. Aku ingin kau juga mempercayai takdir. Jika kita berjodoh, segala sesuatunya akan berjalan dengan lancar. Mulanya aku berfikir pernikahan kita akan berjalan dengan baik, tapi kedatangan Isela juga adalah takdir. Dia adalah adik Lini, itu juga takdir. Kau bertemu dengannya lalu membawanya pada Lini, semua itu juga takdir. Peganglah kuat-kuat intinya Len, jangan sampai goyah,” bisik Yesa dengan suara tenang.
            Len mendengar jelas perkataan Yesa. Ia terus memejamkan matanya sambil merenung. Jika bersama Yesa, ia selalu mati kata-kata. Sejak awal bertemu, Len sangat mengagumi sosok Yesa. Ia masih sangat muda namun memiliki pemikiran yang luas dan terbuka. Yesa selalu bertindak bijak dan lebih mementingkan orang lain ketimbang dirinya. Dengan sosok yang seperti ini, Len tak bisa menggoyahkan keyakinan Yesa. Dia adalah wanita pertama yang dikenalnya sebagai sosok yang begitu teguh dan tak pernah goyah dalam segala hal yang sudah menjadi keputusannya.
            ***
           
            Hari yang ditunggu-tunggu Lini akhirnya tiba. Pernikahan kedua adiknya akan berlangsung pagi ini.
            Jam menunjukkan pukul tujuh tepat. Saat ini Gaby bersama Isela sedang dipoles besar-besaran oleh para penata make up. Gaun pernikahan seperti putri tak lupa mahkota kecil pun sedang berpose indah tak jauh dari tempat mereka.
           
            Setelah para perias keluar ruangan untuk beberapa saat, Gaby menghampiri Isela.

            ”Isela, aku...aku tidak mau menikah, Aku ingin kabur saja,” gerutu Gaby.
            Kedua mata bulat dan lentik itu terbuka lebar. Bibirnya terus melongo menatap kakak keduanya itu. Tak lama menunjukkan ekspresi terkejut, Isela pun tertunduk lemas.
            ”Benar Kak, rasanya aku juga ingin kabur. Bagaimana mungkin aku menikah dengan pria yang tidak menyukaiku, benar kan? Tapi kenapa kakak ingin kabur? Bukannya kakak menyukai Eriol?” tanya Isela dengan ekspresi cemas.
            ”Kau lihat sendiri saja!” Gaby menyebarkan beberapa lembar foto itu di depan Isela.        
            ”Ini, kak Eriol dengan model papan atas itu kan? Hyena Nora, benar kan?” tanya Isela dengan ekspresi menggebu-gebu. ”Wah, mereka sangat akrab di foto ini,”lanjutnya.
            ”Lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan?” tanya Gaby  dengan nada hopeless.
            ”Lebih baik kakak tanyakan dulu pada Eriol, sekarang!”
            ”Sekarang? Bagaimana mungkin? Kita tidak boleh bertemu. Lagipula aku tidak tahu dimana ruang ganti pria menyebalkan itu,” gerutu Gaby.
            ”Ini saat yang tepat untuk kabur kak!” ujar Isela dengan wajah nakalnya.
            ***
            Di pagi yang sama, Yesa bersama Alan mengantar Len menuju stasiun. Sesampainya di sana, Len buru-buru masuk karena kereta akan segera berangkat. Len berhenti di depan pintu. Tubuhnya berbalik melihat kembali dua orang yang sangat disayanginya itu.
            ”Alan, ingat janjimu pada kakak ya! Kau harus menjaga mamamu dengan baik. Jadilah anak yang mandiri dan kuat!” ujar Len seraya melambaikan tangan pada anak kecil itu.
            Alan mengangguk dengan tegas. ”Aku akan menepati janjiku, kak!” katanya
            Len kembali tersenyum. Setelah pandangannya beralih pada Yesa, wanita anggun ini malah tertunduk. Len melihat tangan Yesa begitu kuat menggenggam tangan anaknya.
            Perasaannya mulai bergolak. Ia ingin sekali kembali turun dan memeluk keduanya dengan erat, namun keinginannya itu harus dikuburnya dalam-dalam. Ia yakin Yesa akan tetap mendorongnya untuk masuk.
            Tak lama kemudian, kereta mulai bergerak maju. Semakin lama kereta melaju semakin cepat. Dibiarkannya semilir angin melambaikan rambut panjangnya.Setelah suara kereta lenyap, Alan melepas genggaman ibunya. Dengan tatapan polos, anak kecil ini bertanya, ”Mama, kenapa tidak mencegah kak Len?”
Perlahan-lahan Yesa menjongkok. Kakinya yang gemetar sejak tadi akhirnya sudah tak mampu menahan tubuhnya untuk terus berdiri tegar. Yesa menangis terisak. Air matanya tumpah begitu deras, apalagi saat anak kesayangannya itu menepuk-nepuk pundaknya. Sembari meluapkan emosinya, Yesa teringat pesan terakhir Len. ”Aku tidak akan meninggalkan Yesa hanya karena masalah ini. Pengorbanannya untukku sudah sangat besar. ”

            ”Mama jangan menangis! Alan disini. Alan akan menjaga mama. Jangan menangis lagi!” ujar Alan dengan suara lembut. Tangannya yang mungil berusaha mengusap air mata Yesa. Wajah Alan yang polos membuat Yesa tak mampu membendung air matanya. Dipeluknya Alan kuat-kuat. Bagi Yesa hanya Alan yang bisa membuatnya tegar.

***
            ”Ayo kak!” Isela mengomandoi sementara Gaby berada di belakangnya sambil waspada melihat sekeliling.
            ”Aku tak menyangka semua sudut dijaga ketat,”gumam Gaby.
            Keduanya berhenti di depan dua lorong. Baik Gaby maupun Isela tak tahu mana jalan yang aman untuk mereka lewati. Setelah cukup berunding, keduanya memutuskan untuk untuk berpencar. Isela berjalan ke sebelah kiri dan Isela ke sebelah kanan. Beruntung setelah berjalan cukup jauh, Gaby bertemu dengan manajer Eriol yang sedang berbincang dengan seseorang. Firasatnya pun mengatakan Eriol tak jauh dari sini.
           
***
            Satu jam kemudian Len sampai di bandara. Keberangkatannya kembali ke Jakarta tinggal menunggu lima belas menit. Ketika hendak bersiap-siap, tiba-tiba tersiar kabar bahwa pesawat akan menunda keberangkatannya dan akan kembali beroperasi keesokan harinya. Mendengar hal ini, Len kembali kelabakan.
            ”Kalau meleset setengah jam saja, aku bisa terlambat,” gerutunya.
            Saat hendak menghubungi Lini, tangannya terpaku. Secara tiba-tiba kata-kata Yesa terpapar di ingatannya.
            ”Apa kejadian ini juga takdir? Bisakah tetap tinggal? Yesa, katakan padaku, apa ini juga takdir?”

            Lama sudah Len termenung. Ia tak sanggup memilah tanggung jawab, mengikuti hati nurani, dan nafsu. Perlahan tapi pasti, kata-kata Lini maupun Yesa bergantian menguasai pikirannya.
            ”...Dia adalah adik Lini, itu juga takdir. Kau bertemu dengannya lalu membawanya pada Lini, semua itu juga takdir. Peganglah kuat-kuat intinya Len, jangan sampai goyah.”
            Len menghela nafas sambil memejamkan matanya kuat-kuat. Saat itulah wajah terang Isela terpapar jelas di benaknya. Senyumnya, leluconnya, tingkah konyolnya, semua itu melekat di ingatan Len.
            ”Apa aku benar-benar menyukai gadis itu?” gumannya lagi.
            Sesaat, ia teringat perkataannya sendiri pada Isela.
             ”...Aku mau menikahimu bukan karena kasihan pada siapapun atau untuk pelampiasan. Aku kesini karena aku yakin pada satu keinginanku.
            Hati nuraninya berkata, ia tak boleh lari dari tanggung jawab. Keputusan yang dipilih tak bisa diabaikan begitu saja.
            ”Aku sendiri yang menentukan takdirku, iya kan Yesa? Kau sengaja berkata seperti itu padahal kau tidak bisa melepasku. Sesungguhnya ini keputusanku sendiri. Bagaimana mungkin selama ini aku berfikir kau yang mengubah apa yang sudah aku yakini. Yesa, maaf.”

            Buru-buru Len meraih ponselnya. Setelah berhasil terhubung, ia bicara dengan orang di seberang.
            ”Pak Hong, tolong kirim helikopter!”
           
            ***
            Gaby kembali mengendap-endap. Tanpa  sadar pandangannya beralih ke luar jendela. Gaby menengok perlahan-lahan karena ia phobia ketinggian.
            ”Eriol,” gumamnya setelah melihat sesosok pria berjas rapi sedang berbincang dengan seseorang di taman belakang.
            Perlahan-lahan Gaby menyibak gaun pengantinnya lalu melangkahkan kakinya melewati jendela, lalu melompat hingga berhasil mendarat selamat di sebuah balkon. Sesekali matanya menyipit. Tangan dan kakinya berkeringat dingin.
            ”Kenapa aku bisa senekat ini? Sial, gara-gara pria brengsek ini aku jadi seperti ini. Kalau aku jatuh kau harus bertanggung jawab!” gerutunya.  Tangannya mengepal seolah hendak memukul Eriol.
            Secara tak sengaja, gerutunya yang cukup keras itu membuat telinga Eriol berhasil menangkap suaranya. Setelah beberapa orang yang mewawancarainya pergi, Eriol lekas mendongak.
            “Hei unggas, sedang apa kau di atas sana?” teriak Eriol dengan wajah panik.
            “Jangan berteriak bodoh! Suaramu membuat sekujur tubuhku gemetar!” teriak Gaby tak kalah keras.
            Eriol semakin panik. Sesekali kedua tangannya ke depan seolah bersiap menangkap Gaby. Perlahan-lahan gadis ini pun melangkah menuju atas tembok. Tubuhnya gemetaran sesekali kehilangan keseimbangan. Ketakutan berjaya, namun ia juga tak dapat menyembunyikan rasa terhiburnya saat melihat wajah Eriol yang begitu pucat dan panik. Gaby tertawa dan sontak tubuhnya gemetaran. Salah satu high hells-nya pun sempat terlepas.
            ”Hya! Cepat turun! Aku akan menangkapmu!” teriak Eriol kembali.
            Gaby sewot. Dengan cueknya ia kembali melangkah sambil terus mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Setelah berhasil duduk di atas tembok, Eriol berdiri tepat di atasnya.
            Pria ini menghembuskan nafasnya begitu lega. Wajahnya terlihat rileks kembali, namun dengan cepat ekspresinya pun berubah. Gaby sudah menduga sebelumnya, makanya dengan cepat pula ia menutup telinga dan matanya rapat-rapat.
            ”Hei unggas, kau mau aku mati ketakutan di sini?”ujar Eriol dengan lemas.
            ”Siapa yang menyuruhmu mendongak dan melihatku? Aku tidak menyuruhmu,” jawab Gaby dengan wajah innocent.
            ”Lalu siapa yang menyuruhmu kabur dari kamar lalu keluar jendela dan berusaha turun dari lantai setinggi itu?” Eriol kembali meninggikan suaranya.
            ”Gaby terdiam. Ia sudah tak punya lagi kata-kata untuk melawan pria itu. Karena terus terdiam, Eriol pun bingung. Pandangannya terus tertuju pada Gaby yang semakin lama menunjukkan ekspresi hendak menangis. Tak menunggu lama Gaby pun menangis meledak-ledak.
            ”Hwaaaaaaaaaaaaa!”
            ”Hei, hei! Kalau kau menangis sekeras itu, semua wartawan akan berlari ke sini!”
            Dengan cepat Gaby menghentikan tangisnya. Tangan kanannya menampar wajah Eriol dengan puluhan lembar foto. Pria ini terkejut. Pelan-pelan ia memungut foto-foto yang memuat dirinya bersama Hyena.
            “Kau...dapat dari mana foto-foto ini?”
            “Entahlah. Foto-foto mesum itu sudah ada di atas meja riasku. Hwaaaaa, aku tidak mau menikah dengan pria playboy. Kakaaaak, aku tidak mau menikah!” gerutu Gaby kembali.
            Sesaat matanya begitu tajam melihat foto-fotonya itu. Sesekali Eriol tersenyum. Dari wajahnya terpancar kepuasan tersendiri. Rupanya ia sengaja membuat Gaby semakin kesal. Niatnya pun berhasil, Gaby semakin menangis tak puas.
            Tak lama kemudian ia menghela nafas. Perlahan tapi pasti ia memungut sepatu high hells Gaby lalu memasangkannya kembali ke kaki gadis ini. Setelah kedua sepatu terpasang sempurna, Eriol merentangkan tangannya ke depan.
            ”Mau sampai kapan kau duduk di situ? Aku akan menangkapmu, cepat turun!”
            Gaby mengusap air matanya lalu dengan cepat memalingkan wajahnya.
            ”Kau menunggu penjelasanku?” tanya Eriol dengan wajah menggoda.
            ”Menurutmu?” ujar Gaby dengan wajah sewot.
            Eriol kembali tersenyum, kemudian berkata dengan sedikit angkuh. ”Bukankah kau setuju menikah agar nama baik kakakmu kembali? Kenapa kau harus peduli apa yang aku lakukan?”
            Pernyataan Eriol membungkam Gaby kembali. Sejenak keheningan mulai terjaga. Melihat Gaby bisa dikendalikan, Eriol kembali mengulurkan kedua tangannya.
            ”Meskipun ini karena kakakku, tapi pernikahan tetaplah pernikahan. Karena umurku sudah 21 tahun, aku pun menganggap hal ini bukan main-main.”
            ”Aku dua tahun lebih tua darimu. Aku juga tidak menganggap ini permainan. Bay the way, soal nenekku, aku minta maaf. Dari semua anggota keluarga yang aku punya, hanya keinginan nenek yang sulit aku bantah.”
            Gaby terdiam sejenak.
 Cepatlah turun dan kita hadapi bersama!” pinta Eriol.
            Ekspresi tenang kembali terpancar pada pria ini. Hal itulah yang membuat Gaby tak ragu untuk menjatuhkan tubuhnya. Setelah bersusah payah, Gaby pun mendarat selamat di pelukan Eriol. Dengan jarak sedekat ini, jantung keduanya pun tak henti berdetak dengan cepat. Meski ada perasaan aneh yang membuat Gaby tak tenang, namun ada sesuatu di dalam hatinya yang merasa tenang dan tak takut menghadapi apapun ketika berada di pelukan pria ini.
           
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar