Senin, 15 Agustus 2011

3 GP episode 12


Bab 12

“Love is a song that is naturally created in your heart when someone is near you.”

            ”Gaby, apa kabarmu hari ini?” wajah manis diperlihatkannya di depan cermin. Celemek, penutup kepala, dan bulu-bulu di tangan kanannya. Sungguh penampilan yang sempurna sebagai housekeeper. Setelah ingat akan sesuatu hal, wajahnya yang cantik perlahan memudar. Tampak ekspresi kekesalan mulai tertuang di wajahnya. Tidaaaaaaak!” gadis berambut coklat ini berteriak keras hingga seluruh kamar yang berantakan itu semakin mirip kapal pecah.
            ”Hei, kenapa berteriak-teriak? Memangnya ini kamarmu? Ini kamarku! Cepat bersihkan semua kotoran itu. Kalau kau melawan, kau takkan selamat!” ujar Eriol dengan suara tak kalah keras.
            ”Aaaaaaaaaaaaarrgh! Dasar kau pria menyebalkan!” teriak Gaby kembali.
            ”Kau gadis jorok dan menyebalkan. Memangnya semua sampah ini siapa yang punya? Kau kan?”
            ”Tapi kan..”
            ’Tapi apa? Kau pikir ini kamarmu? Ini kamarku. Kau harus tinggal disini dan patuhi semua aturanku. Cepat bersihkan!” perintah Eriol kembali.
            ”Tuan muda, biar saya saja yang membersihkan! Itu kan sudah jadi tugas saya,” seorang bibi paruh baya bernama bi Litun tiba-tiba masuk kamar dan menawarkan diri membantu Gaby. Melihat bantuan datang, wajah cantiknya kembali terpancar. Gaby terus memohon pada Eriol agar bi Litun diijinkan untuk membantunya.
            Mulanya pria ini gugup melihat Gaby tersenyum begitu manis padanya. Bi Litun yang melihat ekspresi pria ini pun turut tersenyum sembunyi-sembunyi. Yakin rayuannya sudah berhasil, Gaby pun mengangguk-angguk mengisyaratkan bi Litun untuk mendekat ke arahnya. Ketika bi Litun hendak melangkah, Eriol mencegahnya.
...
            ”Tidak bisa. Bi Litun memasak di dapur, dan kau, setelah membersihkan kamar, bersihkan taman! Bantu Pak Karim dan setelah itu kau boleh pergi ke acara Pensi Tita.”Eriol mengucapkannya begitu tenang. Hal itulah yang membuat emosi Gaby terpancing. Bulu-bulu yang digenggamnya kuat langsung dilemparkannya. ”Pokoknya aku tidak mau! Tidak mauuu! Aku mau ke tempat kak Lini dan bilang kalau kau memperlakukanku seperti housekeeper.”
            ”Kau memang housekeeper. Kalau bukan, memangnya kau siapa? Tidak ada yang tinggal, tidur, dan makan gratis di sini.” 
”Aku..aku..tentu saja aku nyonya di rumah ini.”
            “Oh..nyonya?” Eriol tersenyum lebar.
            “Oh..no.”
            Gaby yakin ia salah melontarkan kata-kata tadi. Rasa takutnya pun mulai memuncak saat Eriol berjalan mendekatinya. Seolah bisa menebak hal apa yang akan terjadi, buru-buru Bi Litun keluar dari kamar, lalu menutup pintu pelan-pelan.
            Eriol membuat Gaby jatuh terlentang di atas ranjang. Dengan leluasa Eriol pun mengunci zona geraknya.
...
            ”Bahkan kita belum melangsungkan malam pertama. Kau bilang kau nyonya rumah ini? Kau tak ingat kejadian saat di hotel? Apa yang bisa aku lakukan saat itu?”
            Gaby memutar kembali ingatannya. Wajah sebalnya tertuang sempurna saat ia berhasil mengingatnya. Eriol mengunci rapat pintu kamar. Ia tak beranjak keluar dari sana sampai Gaby benar-benar selesai mandi.
            ”Beruntung ada korden yang menutupimu waktu itu. Kalau aku mau, aku bisa membukanya. Karena aku pria baik, makanya aku menepati janjiku untuk tidak membukanya kalau kau benar-benar mandi. Sekarang, kau mau mencoba melawanku lagi?”
            Gaby terengah-engah. Emosinya tak bisa terluap saat itu. Hanya hembusan nafas kekesalan  yang dirasakan Eriol. Pria ini pun tersenyum puas melihatnya.
            ”Baik, baiklah! Aku akan membersihkan semua isi rumah ini. Kau puas?” Gaby berteriak sekeras-kerasnya sampai Eriol pun bersusah payah menutupi kedua telinganya. Setelah berhasil bangun kembali, ia lekas memerintah, “Cepat lakukan!”
            Gaby menyunggingkan bibirnya. Dengan penuh kepasrahan ia mengambil kembali bulu-bulunya lalu mulai merapikan kamarnya.

            ***
            ”Maaf Tita, kelihatannya malam ini aku tidak bisa hadir ke acara Pensi mu,” ujar Isela lewat telfon genggamnya.
            ”Tidak apa-apa kak. Kak Lini dan kak Gaby datang kok. Aku cuma butuh dukungan. Doakan aku bisa menang lagi ya!” ujar Tita dari seberang.
            Isela mengangguk dengan senyum lebar. Iya mengiyakan kata-kata Tita. Setelah perbincangan selesai, gadis ini mulai berbenah diri. Hari ini dia berniat mengunjungi ibunya. Kejadian semalam memang masih melekat di ingatannya. Namun karena cemas, Len yang juga sedang berbenah, berusaha tak menyinggung apapun soal perkataan Isela semalam.
...
            ”Mungkin aku akan menginap di rumah ibu.”
            Len mengangguk seraya mengacingkan kemejanya.
            ”Kalau begitu aku akan minta pak Ryan mengantarmu.”
            Kini giliran Isela mengangguk. ”Hoh, benarkah? Asyik, sekarang aku punya mobil pribadi. Tidak perlu mengeluarkan uang untuk biaya angkot? Rasanya seperti mimpi”.  Kedua tangannya mengepal,  lalu tersenyum riang layaknya anak kecil yang baru saja mendapat sekotak coklat. Sesekali ia bercermin, lalu membenahi kembali rambutnya. Wajahnya yang selalu ceria tampak bersinar pagi itu. Setelah selesai berbenah, gadis ini pun mulai melayani suaminya. Ia membantu Len mengacingkan kemeja, sementara pria ini terus menatapnya.
            ”Benar tidak apa-apa? Kemarin malam tubuhmu panas sekali. Harusnya kau istirahat.”
            ”Kalau tidur terus, tubuhku bisa rapuh. Lagipula ada pak Ryan yang mengantarku.”
            Tatapan Len kali ini membuat Isela salah tingkah. Apalagi jarak wajah mereka tak lebih dari lima belas centi. Setelah simpul dasi terbentuk sempurna, gadis ini pun menariknya kuat-kuat sampai Len kesakitan.
            ”Hei, apa yang
            ”Sudah aku bilang, aku baik-baik saja. Jangan menatapku seperti itu!” ujar Isela kini dengan wajah sebal. Ia terus menggerutu karena sejak terbangun dari tidur sampai sekarang, jantungnya dibuat berdetak tidak karuan oleh pria ini.
            Setelah meraih kemeja dan koper, Isela berbalik.
            ”Cepat! Direktur muda yang baik, tidak boleh sampai terlambat!” ujarnya seraya tersenyum puas.
            Wajah Len masih memutih. Sesekali ia tersedak sambil membenahi dasinya. Kata-kata makian ingin sekali ia lontarkan, tapi Len malas untuk beradu mulut dengan Isela pagi itu.
            ***
             
            Mobil Merci berhenti di sebuah gang kecil. Tempat itu begitu kumuh dan bau sehingga pak Ryan khawatir membiarkan Isela jalan seorang diri.
...
            “Pak Ryan, sebentar saja! Aku cuma memastikan apa ibuku masih tinggal di sana. Pak Ryan tunggu di sini saja ya!” Isela berusaha meyakinkan pak Ryan dengan ekspresi wajah yang selalu ceria. Ia berharap pak Ryan bisa percaya kalau dia akan baik-baik saja.
            Usaha Isela tak sia-sia. Gadis ini selalu pintar membuat orang berubah pikiran sekalipun itu pak Ryan-orang yang paling dipercaya Len untuk menjaganya. Setelah keluar dari mobil, Isela langsung melangkah memasuki sebuah gang kecil yang berada tak jauh dari mobilnya.
            Setelah sampai di tempat tujuan, ia melihat seorang wanita paruh baya yang sangat dikenalnya. Kedua matanya mulai berair, namun bibirnya yang ingin memanggil orang itu, masih betah untuk terus mengatup rapat. Tak lama kemudian, ibu paruh baya yang sedang membuang sampah itu menyadari keberadaannya. Eksperinya pun tak beda jauh dengan ekspresi wajah Isela sekarang. Mereka masih terdiam. Hanya kedua mata yang bertemu itulah mereka saling menyapa.
            Ketika Isela hendak melanjutkan langkahnya, di saat yang sama beberapa orang asing nampak keluar dari dalam rumahnya. Mereka semua pria berpakaian rapi dan bersih. Isela terkejut. Dalam benaknya ia sempat berpikir kalau para pria itu adalah orang-orang penagih hutang. Namun ketika hendak melawan, mereka semua membungkuk secara kompak ke arah Isela. Gadis ini pun bertambah terkejut. Sesekali kedua matanya menatap lekat ibunya yang saat itu masih membisu dan berusaha menghindari kontak mata langsung dengannya.
            Karena rasa penasaran yang mulai memuncak, Isela maju selangkah demi selangkah. Setelah jarak mereka sama-sama dekat, dengan gugup Isela mulai bertanya, ”Siapa kalian? Kenapa kalian ada di rumah ibuku?”
            Seorang pria berkaca mata yang tampak lebih berwibawa di antara pria yang lain, maju menghadap Isela. Pria itu tiba-tiba tersenyum. Ia menatap Isela begitu lekat. Setelah menghela nafas panjang, pria itu mulai berkata, ”Akhirnya kami bisa menemukan anda, nona Syelomita.” Nama yang begitu asing di telinganya terucap begitu lancar dan tenang dari pria ini.
            Ketika mendengar nama itu, Isela seperti merasa kehilangan oksigen dalam beberapa detik. Wajahnya pucat pasi. Jantungnya mulai berdetak, bergemuruh, seakan semua hal buruk yang belum terjadi, terasa akan muncul sebentar lagi, dan membuat ketakutan berjaya dalam benaknya.
***
            Acara Pentas Seni sekolah Goong Gautama dimulai tepat pukul tujuh malam.
Lampu sorot panggung mulai dinyalakan dan lampu di area penonton pun dimatikan.       
            ...
            ”Kakak, apa acaranya sudah dimulai?” tanya Gaby yang baru saja menghampiri tempat duduknya.
            ”Acaranya baru saja dimulai. Kenapa kau terlambat?” tanya Lini saat melihat Gaby yang masih bersusah payah mengatur nafasnya. ”Apa baru saja terjadi sesuatu?” tanya Lini kembali.
            ”Ini semua gara-gara mahkluk itu, aku jadi terlambat.”
            Lini mulai mengembang senyum. Sepertinya ia sudah bisa membayangkan apa yang baru saja terjadi dengan adik pertamanya itu.
            ”Dia menyuruhku
            Lini langsung memotong. ”membersihkan kamar dan seluruh isi rumah.”
            Gaby terkejut. Lagaknya ia baru saja ingin berkeluh kesah pada kakaknya, namun Lini terlihat bahagia saat mengucapkan hal itu.
            ”Eriol menindasku, kak! Kenapa kakak malah bahagia?”
            ”Kau pikir kakak memilih Eriol tanpa pertimbangan?”
            ”Lalu?”
            ”Kakak berharap dia bisa sedikit demi sedikit membuatmu berubah menjadi gadis yang lebih baik. Apa menurutmu bersih-bersih itu hal buruk? Lalu jika terus mengandalakan orang lain, apa kau tidak kasihan dengan mereka? Menurut kakak, tindakan Eriol sudah benar.”
            Gaby menggembungkan pipinya. Namun Lini tetap tak merubah kata-katanya. Gadis ini pun kalah. Saat ia mencoba merenungkannya kembali, kata-kata kakaknya itu memang benar.
            ...
            Sementara itu di area belakang panggung, semua kontestan King and Queen nampak besiap-siap. Ada yang sedang berdoa, makan cemilan, melakukan pemanasan, menonton kontestan lain dari balik korden, dan masih banyak lagi. Saat itu Tita didampingi Mahi sedang berbenah kostum.
...
            ”Tita, kau cantik sekali! Aku yakin Vic pasti terpanah melihat kecantikanmu,” goda Mahi seraya menyentuh helaian rambut Tita yang hitam legam nan lembut.
            ”Vic tampil duluan kan?”
            ”Hah? Kau tidak dengar kata mc tadi? Vic sudah naik ke panggung sekarang.”
            ”Ohya?” Tita terkejut. Ia pun berjalan cepat menerobos kerumunan para gadis yang sedang terpukau melihat Vic dari balik korden.
            ...
            Sejenak suasana menjadi hening. Vic masih menunduk, sesekali matanya terpejam. Ketenangan nampak tertuang di wajahnya, namun Tita yang saat itu bisa melihat jelas raut wajah Vic, merasa kalau pria ini sedang menutupi kegugupannya. Firasat Tita terbukti. Kesepuluh jemari Vic sudah bersiap, namun sekilas terlihat gemetar. Vic kembali menghela nafas. Saat itu, tanpa sengaja pria ini bertatap langsung dengan Tita yang berdiri jauh di depannya. Gadis ini pun tersenyum, meski ia tak tahu apa senyumnya itu berpengaruh pada Vic.
            Ketika gesekan biola mulai mengalun lembut, saat itulah Vic mulai menarikan kesepuluh jemarinya.
            ♪♫....

1 komentar: