Minggu, 14 Agustus 2011

3 GP episode 5


Bab 5
"We love because it's the only true adventure." - Nikki Giovanni

Eriol menempelkan minuman kaleng yang dingin itu di pipi kanan Gaby. Gadis ini pun terkejut sejenak. Biasanya Gaby akan langsung menyerang Eriol dengan kata-katanya, namun karena suasana hatinya belum membaik, ia kembali terdiam.
”Kau tidak ingin bercerita apapun padaku?” tanya Eriol sebagai relawan pembuka percakapan.
Gaby menoleh ke samping. Ketika menatap wajah Eriol yang terlihat bodoh, Gaby tak sanggup menahan tawanya. Gaby memanjangkan tawanya. Eriol sempat ingin memaki gadis ini, tapi hatinya menyuruhnya untuk membiarkan gadis itu meluapkan perasaannya.
”Kau, sudah lega sekarang?” Eriol kembali bertanya saat Gaby mulai menghentikan tawanya. Bibirnya gemetar saat itu. Kedua matanya tampak merah berkaca-kaca. Eriol menyadari saat itu Gaby hendak menangis. Spontan tangannya pun menepuk-nepung punggung Gaby dengan ragu.
”Aku tak ingat berapa umurku saat itu. Yang jelas, ketika membuka mata, aku sudah berada di tempat yang sangat asing. Semua orang yang kulihat begitu berbeda denganku. Dengan berjalannya waktu, aku pun bisa beradaptasi. Saat itu aku benar-benar bisa menyambut tubuhku di tempat asing itu. Aku berusaha percaya kalau aku punya keluarga utuh dan lahir di Kanada.Tapi, aku pun menyadari bahwa ada sebagian kenangan yang hilang. Aku tak bisa mengingatnya dengan jelas. Saat aku ingin mengingatnya, tubuhku terasa menggigil, seperti kehilangan nafas. Rasanya benar-benar mengerikan. Tapi, saat ketakutan itu datang, ada seseorang yang selalu menggenggam tanganku di dalam mimpi. Seorang gadis selalu datang dalam mimpiku itu dan ia membuatku tenang. Sampai sekarang aku percaya, kalau gadis itu adalah kakak perempuanku.
Eriol mengganti posisi duduknya. Sekarang ia jauh lebih santai setelah melihat Gaby kembali normal.
”Sedikit demi sedikit kenangan yang tak kuingat itu muncul satu demi satu. Aku ingat kakakku dan juga dua adikku yang aku tak tahu dimana mereka sekarang. Makanya aku ke sini untuk mencari mereka. Aku tak mengira bisa menemukan kakakku dengan cara seperti ini. Ternyata hidupnya sangat nyaman dan berkecukupan. Aku bahagia tapi juga gugup. Apa selama ini dia berusaha mencariku?”
Setelah menghubungkan cerita Gaby dengan kejadian yang mereka alami tadi siang, sedikit demi sedikit Eriol merangkai suatu cerita yang hanya menjadi dugaannya.
Tak lama kemudian Gaby kembali terdiam. Tatapannya terus tertuju pada laut yang ada di hadapannya sekarang. Eriol menghela nafas. Ia kembali mengganti posisi duduknya. Tangannya yang panjang berpangku di kedua kakinya yang merapat di dada.
Sejenak keduanya terbuai oleh aroma laut dan suara ombak yang berderu pelan.Waktu berjalan begitu saja tanpa perrcakapan diantara mereka. Tak lama setelah itu, suara dering ponsel mengejutkan keduanya. Nada panggil itu berasal dari ponsel Eriol.
Gaby terus mengamati mimik Eriol yang sedang khusuk berbicara dengan seseorang di seberang. Kedua alisnya bertaut. Nampak kecemasan dan kebingungan memenuhi wajah pria ini.
”Baik. Aku mengerti,” ujar Eriol, kemudian ia mematikan ponselnya.
”Dari..siapa?” tanya Gaby yang sejak tadi menunggu reaksi Eriol.
”Kakakmu, Guilinia. Malam ini dia akan mengadakan konfrensi pers. Aku tidak tahu kenapa begitu mendadak,” jawabnya.
Eriol duduk di hadapan Gaby. Jarak mereka menjadi dekat. Pria ini menatap Gaby dengan tajam.
“Apa yang dia katakan?”
”Ikutlah bersamaku. Ikutlah aku ke tempat kakakmu!”
Gaby tertunduk sesaat.
”Selama ini kau berada di luar negri. Kau tidak tahu apa yang sudah kakakmu itu alami. Dia menjadi  seorang yang besar sekarang, dan karena itulah dia menggunakan kekuasaannya untuk mencarimu. Aku yakin tak mudah bagi seseorang untuk memperoleh kekuasaan dan menjadi tenar. Dan kakakmu yang kukenal itu adalah wanita yang pekerja keras dan pantang menyerah. Buktinya, semua orang tahu cerita 3 G princess. ”
Eriol kembali menghela nafas. Beberapa saat kemudian ia beranjak dari posisi duduknya lalu berdiri tegap di samping Gaby.
Melihat gadis berambut coklat ini masih duduk tak bergerak, perlahan Eriol membungkuk. Ia mengulurkan tangannya ke arah Gaby.

”Jangan ragu tentang kasih sayang kakakmu. Kau sendiri kan yang berkata kalau selama ini dialah yang membuatmu tenang. Buktinya, kau selalu merindukannya. Benarkan?”
Gaby terdiam sesaat. Tak lama kemudian ia mengangguk. Di tatapnya wajah Eriol yang saat itu tersenyum ikhlas padanya. Melihat ekspresi Eriol yang ramah, Gaby tak bisa menahan tawanya.
”Kenapa kau tiba-tiba baik padaku? Kau tak ingat apa yang aku lakukan dengan wajahmu?” tanya Gaby seraya meredam tawanya. Ia melihat Eriol tak mengubah ekspresinya.
”Entahlah. Sejujurnya aku sudah melupakan itu. Aku tahu kau tidak sengaja. Tapi ketika bertemu denganmu, kata-kata ejekan itu keluar begitu saja. Sekarang, bisakah kau ikut denganku?” Eriol kembali memantapkan pertanyaannya.
”Tolong bawa aku ke tempat kakakku, Eriol,” ujar Gaby dengan senyum lebar. Dengan kasar ia menyambut tangan Eriol lalu berdiri.
”Baik, putri Galabria!”. Eriol tersenyum lebar. Keduanya pun berbalas senyum seraya berjalan menuju ke mobil.

***
Isela seorang diri dan para gangster yang mengejarnya ada sepuluh ekor. Setelah melewati jalan yang sepi dengan banyak gang di sisi kanan dan kiri, para gangster itu berpencar. Karena kegesitan ditambah lagi jumlah mereka yang banyak, Isela pun berhasil mereka kepung dengan mudah.

”Mau lari kemana lagi kau? Lebih baik langsung saja beri kami uang kalau ingin kau selamat!” ujar salah satu gangster sambil menggerakkan otot dadanya.
Isela melotot. Sejenak pikirannya kalut oleh ketakutan karena tak ada celah baginya untuk bisa keluar.
”Kalau tak punya uang, serahkan saja kalung berhargamu itu. Sebenarnya sudah lama kami mengincar kalungmu itu. Kalau saja kau memberikan barang itu pada kami dari awal, tentu sekarang kau tak akan kami sandra.”
Ucapan salah satu gangster tadi membuat Isela dapat mengaktifkan kembali otaknya. Kemudian setelah yakin dengan sesuatu, ia mulai beraksi.
Dengan muka memelas ia menatap satu-persatu para gangster yang melingkarinya. Setelah mendapat respon keheranan dari mereka semua, dengan sengaja ia merobohkan tubuhnya. Isela menangis sekeras-kerasnya. Tentu saja tangisan itu tak terdengar alami. Tapi para gangster yang semula bertampang garang, perlahan luluh karena tak tahu kenapa gadis di hadapannya itu tiba-tiba menangis.
Satu jam kemudian...
...
”Begitulah ceritanya. Aku tidak bisa mengambil kalungku kembali. Seandainya kalian mau membantuku, aku akan menyerahkan kalung itu pada kalian. Oleh karena itu, lepaskan aku.”
”Kalau memang benar begitu, ambillah sekarang juga. Kami akan tetap menguntitmu karena kami belum percaya padamu seratus persen,” ucap ketua gangster.

Isela merubah ekspresinya. Diam-diam ia menggerutu kesal. Tak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika ingin mundur, ia sudah tak bisa lagi. Para gangster itu terus mengikuti langkahnya. Tak ada jalan lolos. Kalaupun berlari, para gangster itu akan tetap bisa menangkapnya.
Tak lama bergulat dengan pikirannya yang kacau, langkahnya terhenti di depan apartemen tempatnya mengantar pizza semalam.

”Huuuuh...! Aku terpaksa melakukan ini. Kau pasti bisa Isela,” gumamnya seraya melangkah masuk menuju lobby, tentu saja dengan pengawalan satu orang gangster.
Sesampainya di kamar 202, tangannya meraih bel yang ada di sebelah pintu, lalu menekannya dengan tangan gemetar. Tak menunggu lama, pintu itu terbuka.
Deg..
Jantungnya berdegup sekali begitu kencang. Isela terpaku melihat Len berada di hadapannya sekarang.
”Siapa anda?” tanya Len dengan gugup.
Sesekali Isela menunduk kemudian membenahi topeng berwajah sponge bob yang sedang dipakainya.
”Aku...aku cleaning service yang tadi pagi datang ke kamarmu,” jawabnya dengan terbata-bata diiringi tawa kecil.
Len melebarkan kedua matanya. Ia yakin gadis yang ada di hadapannya sekarang adalah gadis yang tidur dengannya semalam.
”Boleh aku masuk?”
Len mengangguk dengan konyolnya. Isela pun berjalan pelan sambil sedikit membungkuk.
Keduanya duduk seperti patung di sofa ruang tamu. Tak ada percakapan berarti yang dapat memecah suasana hening saat itu. Karena merasa terburu oleh waktu, keduanya pun mulai bersua secara bersamaan.
”Oh..maaf, ladies first,” Len mempersilahkan Isela berbicara.
Sambil menarik nafas dalam-dalam, Isela menceritakan kejadian semalam sejujur-jujurnya. Padahal selama ini ia jarang mengungkapkan kebenaran pada orang asing yang baru dikenalnya, kecuali pada Gaby dan Lini.
....
”...Karena efek samping obat flu yang aku minum, akhirnya kedua mataku terpejam begitu saja.Begitulah yang terjadi tuan muda!”
Len kembali mengangguk. Sesekali ia mengusap bibirnya lalu mengerutkan dahi. Wajahnya memerah saat itu juga.
”Kalau begitu, aku yang salah. Aku benar-benar minta maaf . Ini, aku kembalikan kalungmu,” ujar Len seraya meletakkan kalung itu di atas meja.
Tak menunggu apapun lagi Isela lekas menyahut kalung itu lalu memakainya.
”Syukurlah tidak hilang. Kalau sampai hilang, ibuku yang ada di surga pasti mendatangiku malam ini sambil membawa golok,” katanya.
Mendengar hal itu Len tersenyum sesaat.
”Eh tuan muda...bisakah...aku meminta imbalan atas jasaku merawat tuan semalam?”
Dengan cepat Len mengerutkan dahinya.
”Eh, begini. Karena semalam aku merawat tuan sampai ketiduran, aku dipecat dari pekerjaanku. Tuan muda liat pizza itu, semalam aku mengantarnya ke sini.”
”Aku tidak pesan pizza,” jawaban Len menampar Isela secara abstrak.
”Eh, begini. Awalnya aku memang salah kamar. Tapi kalau tidak ada aku yang menolong tuan bagaimana?” kini giliran Len yang mati kata-kata. Setelah sadar ia telah kalah debat, Len pun beranjak dari sofa. Ia menuju ke kamarnya lalu kembali dengan membawa bolpoin dan cek.
”Berapa yang kau mau?”
Setelah lama berfikir, Isela menunjukkan kedua tepalak tangannya di depan Len.
Pria ini kembali mengerutkan dahi.
”Sepuluh?”
”Sepuluh?” tanya Len dengan nada tinggi.
”Sepuluh...juta,” jawab Isela diiring tawa kecil.
”Ap..apa? Hei nona, apa kau sakit?”
”Tidak..aku benar-benar membutuhkan sepuluh juta sekarang, kalau tidak nyawaku akan melayang. Tolonglah! Setidaknya ijinkan aku berhutang padamu. Kelak aku akan melunasinya,” Isela terus memohon dengan kedua tangan mengatup ratap.
”Anda pikir saya bisa mempercayai anda begitu saja? Jangan memohon lagi dan pergi dari sini,” pinta Len seraya memberikan cek satu juta pada Isela.
”Kalau begitu aku permisi! Maaf sudah menyita waktumu,” ujar Isela seraya beranjak dari sofa, tak lupa ia menyahut cek yang tergeletak manis di atas meja. Len pun meresponnya dengan anggukan. Pria ramah ini mengantar Isela sampai ke pintu meskipun wajahnya tampak cukup gusar.

Setelah berhasil keluar apartemen, Isela pun langsung ditahan oleh satu anak buah gangster yang mengawalnya sejak masuk apartemen. Pria itu mengangkat kedua alisnya seolah menanyakan apa Isela berhasil mengambil kalung itu.”
Dengan cepat Isela pun menggelengkan kepalanya beberapa kali sambil memelas.
”Aku...akuh sudah berusaha, tapi...tapi dia tidak mengakuinya. Apa yang harus kulakukan?” Isela terus merintih. Sesekali ia menangis keras sampai beberapa orang memandang mereka dengan heran.
Gangster itu mengangguk beberapa kali. Terlihat ekspresi cemas mendominasi wajahnya. Kedua tangannya merengkuh lengan Isela. Ia berusaha sekuat tenaga agar gadis ini tidak pingsan di tengah jalan.
”Baik, tunggulah disini!Pria 202 itu harus bertanggung jawab!” ujar anak buah gangster itu seraya berjalan masuk ke apartemen.
Melihat sosok yang mengerikan itu lenyap dari pandangannya, Isela lekas melepas topengnya. Ketika hendak kabur, langkahnya pun terpaku dalam sekejap. salah satunya menodongkan pisau kecil di belakang Isela sehingga gadis ini pun tak mampu berteriak minta tolong.
”Ayo, ikut kami!”
***
”Pers akan datang dua jam lagi. Apa kau benar-benar siap Lini? Kelihatannya kau tak sehat,” ujar Yesa seraya duduk di samping sahabatnya itu.
Lini menggelengkan kepalanya pelan. Ia menatap sendu sahabatnya yang terlihat begitu khawatir. Perlahan ia menggenggam tangan Yesa, lalu dengan nafas berat ia berkata,” Aku tak ingin kehilangan adik-adikku. Sebelum Lorna bertindak, aku harus mendapatkan ketiganya. Mereka harus berada dalam perlindunganku.”
Yesa mengangguk. Tak lama kemudian ponselnya berdering. Di layar tertulis panggilan masuk Len.
”Halo Len.”
”Yesa kau dimana?”
”Aku di tempat Lini. Apa kau sudah melihat berita Len?”
”Belum. Ada apa?”
Yesa menghela nafas. Dengan runtun ia menceritakan seluruh kejadian yang terjadi. Len terus mendengar cerita Yesa dengan khusuk. Sesekali ia mengerutkan dahi kemudian menggigit jarinya. Nampak suatu perasaan kesal yang tak terluap secara sempurna.
”Yesa, apa kalung kedua bernama Grisela?” tanya Len dengan terbata-bata.
Sesaat Yesa menanyakan hal itu pada Lini yang masih duduk di sampingnya.
”Benar. Si..siapa yang menanyakan hal itu?” Lini bertanya balik dengan nafas tak beraturan.
Sesaat Yesa tertegun. Ia menjawab pertanyaan Len dengan terus menggenggam tangan sahabatnya.
”Benar,” katanya.
Mendengar jawaban Yesa, Len tak mampu membendung rasa terkejutnya. Ia pun sempat mematung beberapa saat dan tak menghiraukan pertanyaan Yesa selanjutnya. Tak lama setelah itu, suara bel berdering. Len buru-buru menutup telfon lalu membuka pintu. Dalam benaknya ia berharap orang yang ada di luar adalah Isela.

”Kau, siapa?” Len menghela nafas setelah melihat seorang pria asing berkacak pinggang di depannya.
”Kau harus bertanggung jawab pada istrimu. Kau tidak oleh menceraikannya di saat dia hamil. Sebenarnya aku tidak ingin menyakiti gadis itu, tapi hanya dia satu-satunya orang yang harus bertanggung jawab atas hutang ayahnya. Dan kau, adalah kandidat kedua yang harus bertanggung jawab,” ujar pria asing itu.
Kedua alis Len berusaha menyatu. Ia nampak sangat kebingungan. Kejutan demi kejutan seolah menghantamnya langsung hingga otaknya yang jenius pun tak mampu membuatnya mengerti.
”Hei, kenapa kau diam saja? Apa kau tak percaya dengan kata-kataku? Baik, aku tunjukkan dimana istrimu sekarang.” pria berperut buncit itu mengotak-atik ponsel 3G miliknya. Setelah terhubung dengan teman-temannya di seberang sana, ia menunjukkan ponselnya itu di hadapan Len.
”Hei pria brengsek, cepat bawa 10 juta kesini kalau ingin istrimu selamat!” ujar salah satu gangster sambil mengarahkan ponselnya tepat ke arah Isela yang duduk terikat tak berdaya.
”Bagaimana?” tanya pria itu seraya menyahut ponselnya.
”Bawa aku ke tempat itu sekarang!” perintah Len dengan nada tinggi.
Gangster berperut buncit itu tertawa puas mendengar jawaban pria muda itu.

***
Setelah menunggu cukup lama akhirnya Tita dan Fllay datang dengan pengawalan beberapa bodyguard wanita utusan Lini. Kedua gadis yang masih memakai seragam sekolah itu tampak kebingungan. Namun dengan ramah Yesa berusaha menjamu keduanya.
”Minumlah dulu agar kalian merasa tenang!” pinta Yesa seraya menghidangkan dua cangkir teh hijau dan meletakkannya di atas meja.
”Kalian pasti sangat terkejut dan bingung,” ujar Yesa kembali.
Fllay tetap mempertahankan wajah dinginnya. Gadis ini masih bisa menyembunyikan ketakutannya dengan sempurna, namun tidak dengan Tita. Meskipun ragu, ia mengajukan pertanyaan pada Yesa.
”Maaf, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Aku tak mengerti kenapa kami harus berada di sini?”
Yesa tampak kebingungan. Ia tak tahu bagaimana cara menjelaskan secara nyaman pada Tita-gadis yang sudah pasti tak ingat siapa Lini.
Menyadari suasana yang semakin tegang, Fllay menepuk punggung Tita dengan kasar.
”Kau tahu Guilinia kan?”
Tita mengangguk. ”Artis dan pengusaha multi talented itu kan?”
”3 G Princess?”
”Kita sering membicarakan hal itu di kelas. Kenapa kau tanya lagi?” ucap Tita dengan berjibun banyak kerutan di dahi.
”Kau salah satunya. Kalungmu itu adalah 3G princess terakhir, Getalita,” jawab Fllay secara blak-blakan.
            What? Aku?”

            ***
            Perjalanan Len dan gengster itu memakan waktu hampir satu jam menuju pelabuhan.

            ”Kenapa kau menyekapnya di dekat pelabuhan?” tanya Len dengan wajah emosi.
            ”Akan lebih mudah membawanya pergi. Kami akan membawanya pada bos. Dia tinggal di Bali. Kenapa? Kau tak mengurunkan niatmu untuk menyelamatkan istrimu kan?”
            ”Tentu saja tidak! Dan satu hal lagi, dia adik kakak angkatku, bukan istriku,” jawab Len dengan tegas.
            ”Hah, mana boleh kau berkata seperti itu? Bukankah kau  sudah menghamilinya? Berarti kau pernah tidur dengannya bukan? Kalau kau sudah tidur dengannya, itu berarti dia istrimu!” bentak si gangster berperut buncit itu.
            Ketika hendak membalas, Len sadar yang dikatakan pria paruh baya itu lima puluh persen benar adanya.
            ”Ya, aku pernah tidur dengannya...tanpa sengaja,” gumam Len dalam hati dengan wajah merah padam.

            Tak lama bercakap. Keduanya pun sampai di tempat tujuan. Di sebuah gudang, si gangster berbadan buncit menggiring Len masuk.
           
            ”Wah, cepat sekali kau datang! Hm, ternyata suamimu tampan juga ya nona manis!” kata salah satu gengster yang berdiri di samping Isela seraya hendak menyentuh dagu gadis itu.
            ”Jangan sentuh dia! Kau mau ini kan?” teriak Len seraya menunjukkan selembar cek bertuliskan 10 juta lengkap dengan tanda tangannya.
            Bos gangster menghampiri Len dengan tawa menggelegar. Ia mengamati Len dari ujung bawah sampai atas, lalu dengan kasar ia mengambil selembaran itu,
            ”Kelak, kita akan bernegosiasi lagi! Sampai jumpa Bung! Baik-baiklah pada istrimu!” ujarnya seraya menepuk pundak Len sedikit bertenanga.
            Setelah semua gangster keluar dari gudang, Len berlari menuju ke tempat Isela. Dengan cepat ia melepas tali yang mengikat tangan gadis ini, lalu melepas lakban besar yang membungkam mulutnya.
           
            ”Maaf, tuan! Aku terpaksa melakukan hal ini...aku..” belum sempat Isela meneruskan kalimatnya, Len langsung mendekap tubuhnya.
            ”Jangan bicara lagi! Bersyukurlah kau selamat, Grisela!” bisik Len sambil mengelus rambut Isela.
            ”Bagaimana kau tahu namaku?”
            ”Kau, 3 G princess kedua,” jawab Len seraya melepas pelukannya.
...
            Keduanya berjalan keluar gudang. Isela berada di depan sementara Len mengikuti di belakangnya.

            ”Kau harus menemui kakak kandungmu!” ujar Len dengan nada lembut.
            Isela tak menjawab. Sejenak pandangannya kosong menatap laut dan beberapa perahu yang bertengger di tepi.
            ”Aku tak ingat masa kecilku. Bagaimana aku lahir, sedang apa aku saat umurku 5 tahun, dan apakah aku punya kakak atau adik. Yang kuingat hanya luka di dahiku yang bekasnya sudah hilang. Mungkin karena sebuah benturan yang keras jadi aku tak ingat apapun.”
            ”Oleh karena itu, ikutlah aku menemui kakakmu!” Len mengulurkan tangannya. Isela pun berbalik. Ditatapnya lekat sosok Len. Isela tak mampu membendung air matanya.
            ”Detik ini aku merasa tidak sendiri lagi. Aku yang berusaha kuat, sekarang merasa sangat rapuh karena pria yang ada di hadapanku sekarang. Saat ia memelukku, aku seakan lupa siapa diriku sebenarnya. Aku yang tak ingin dilindungi siapapun merasa sangat takut. Saat ia mengulurkan tangannya padaku, aku merasa tak ingin jauh darinya. Aku ingin berlindung di sisinya. Len, bagaimana mungkin kau membuatku sangat tak berdaya?” gumam Isela dalam hati.
            Melihat Isela menangis di depannya, perlahan Len mendekati gadis itu. Ia merengkuh lengan Isela dan memeluknya sejenak.
            ”Aku punya kakak? Apa itu benar?” tanya Isela berulang kali.
            ”Len mengangguk sambil terus berkata, ”Benar, kau punya kakak! Kau tak sendiri lagi. Tak seorang pun berani menyakitimu, karena kakakmu akan melindungimu,” ujar Len.
            ”Kakakku? Dan kau juga?” tanya Isela tiba-tiba.
            Len kembali mengangguk, kini dengan senyum yang hangat. Setelah puas dengan jawaban Len, Isela pun mengangguk penuh semangat.
            ”Tuan Len, tolong pertemukan aku dengan kakakku ya!”
            ”Dengan senang hati, princess!”

            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar