Minggu, 14 Agustus 2011

3 GP episode 7


Bab 7

“Loving someone because God.”

Lini menyibak selimut lalu pelan-pelan naik ke ranjang. Ia tak mau membangunkan Ray yang saat itu sedang tertidur pulas di sampingnya. Saat kepalanya berada di atas bantal, suara Ray membuat Lini kembali membuka matanya.
”Kau bahagia?”
Lini menoleh. Ia melihat Ray tidur terlentang dengan mata tertutup. Melihat itu Lini tak mampu menyembunyikan perasaan bahagianya. Dipeluknya Ray kuat-kuat sambil berulang kali berkata, ”Aku bahagia...aku bahagia...sangat bahagia.”
”Syukurlah. Hmmmm, mungkin akhir-akhir ini aku akan merasa sangat cemburu,” ujar Ray sambil melepas pelukan Lini.
”Kenapa? Karena adik-adikku? Ray, aku masih Lini yang dulu,” jawab Lini seraya menyentuh punggung Ray dengan jari telunjuknya.
”Baiklah, aku tahu, aku tahu maksudmu. Makanya, bantu aku lagi,” lanjutnya.
Kalimat Lini yang terakhir ini mencuri perhatian Ray. Perlahan ia berbalik menatap Lini, lalu menyipitkan matanya.
”Aku ingin mencari pendamping yang baik untuk mereka. Kalau sudah ada pria baik yang mendampingi Gaby, Isela, dan Tita, setidaknya aku bisa bernafas dengan lega.”
”Karena Lorna?”
Lini mengangguk pelan.
”Lalu, apa kau sudah menemukan ketiga pangeran itu?”
”Aku menemukan satu kandidat,” jawab Lini, lalu dengan cepat ia mengecup pipi Ray kemudian memejamkan mata sambil tersenyum.

***

Sepanjang hari ini, Lini dan Eriol selalu bersama. Keduanya beserta para staf pekerja dan manajer, sedang mempersiapkan film terbaru yang akan dirilis perusahaan ini. Berbagai pihak yang bersangkutan sepakat kalau Eriol yang akan menjadi bintang dalam film tersebut.
Selama perjalanan menuju ke tempat parkir, ada beberapa tindak-tanduk Eriol yang membuat Lini terkagum-kagum. Mungkin awalnya wanita anggun ini merasa terkejut, namun saat ia pikirkan kembali, ada sesuatu hal yang membuatnya yakin akan sesuatu.
Kejadian itu bisa dibilang konyol, atau mungkin datar, tapi begitu berkesan. Seseorang menjatuhkan beberapa botol kaleng minuman yang sudah habis. Ia berjalan gaya innocent tanpa berbalik mengambil sampahnya. Rupanya orang itu memang sengaja membuang sampah sembarangan. Mulanya Eriol hendak memanggil orang itu. Karena orang tersebut berjalan cukup jauh darinya, sambil komat-kamit ia pun memungut kaleng-kaleng itu. Sebelum itu, ia menggunakan sarung tangan plastik. Setelah terpakai sempurna ia memasukkan kaleng-kaleng itu ke tong sampah.
Seorang ibu-ibu petugas kebersihan sedang mengepel di area pintu keluar. Tiba-tiba beberapa orang berjas rapi seenaknya saja berjalan menapak lantai yang sudah dibersihkan itu. Saat itu Eriol dan Lini hendak keluar lewat pintu tersebut. Namun buru-buru pria berambut coklat ini memegang lengan Lini. Sambil tersenyum ia mengajak wanita anggun itu untuk melewati jalan lain.
”Tempat itu sedang dibersihkan kak, sayang kalau bibi itu membersihkannya lagi,” ujar Eriol. Mulanya Lini tertegun, namun wanita anggun ini lekas tersenyum simpul sambil menatap Eriol penuh arti.

***

Bi Iyam berteriak memanggil Galabria. Rupanya pagi ini Gaby kembali malas-malasan. Sambil malu-malu, bi Iyam mempersilahkan Lini untuk duduk di sofa sementara ia pergi ke atas untuk membangunkan Gaby.
Sementara ibu paruh baya itu menaiki tangga, Lini duduk dengan santainya. Pandangannya terus melihat ke setiap sudut ruangan. Sejenak ia bisa bernafas lega saat melihat Gaby tinggal di tempat yang bagus, bersih, dan indah.
Tak terasa waktu berjalan cukup lama. Bi Iyam masih belum turun juga. Lini pun mulai cemas. Ia berfikir jangan-janagn Gaby sakit dan tak bisa bangun dari ranjangnya. Akhirnya dengan sedikit tergesa-gesa, Lini menuju ke kamar adiknya.
Saat membuka pintu, wanita anggun ini langsung terpaku. Ia terperangah melihat sekeliling. Setiap sudut kamar Gaby dipenuhi oleh banyak pakaian, cemilan yang berserakan, Buku-buku, dan puluhan gumpalan kertas. Pemandangan itu nampak sempurna setelah terlihat seorang gadis yang masih tertidur lelap dengan pose menantang. Kaosnya yang tipis terlipat sampai ke atas hingga keseluruhan perut gadis itu terlihat.
Bi Iyam yang saat itu terkejut melihat Lini yang masuk tiba-tiba, segera berjalan mundur seolah mempersilahkan Lini untuk mendekat ke ranjang Gaby.

”Maaf, beginilah kamar nona Gaby setiap hari. Setelah dia pergi, baru saya bisa membersihkan kamar ini,” ujar Bi Iyam dengan kepala tertunduk.
”Aku dengar baru seminggu ini kalian pindah setelah lama menetap di Kanada,” ujar Lini seraya duduk di atas ranjang sambil melihat Gaby.
”Ia Nak, memang benar, tapi sebenarnya sejak remaja, setiap dua bulan sekali nona Gaby ke sini. Katanya dia ingin belajar sastra indonesia. Dia juga banyak mengoleksi film-film remaja dari berbagai negara. Nona Gaby punya mimpi menjadi seorang penulis novel terkenal,” cerita Bi Iyam.
“Benarkah?” tanya Lini sambil melihat Gaby dengan tatapan sendu.
”Pasti sangat berat bagimu untuk bisa menemukannya kembali,” ujar Bi Iyam.
Lini mengangguk. Iya tersenyum manis pada bi Iyam sambil mengatakan,” Biar aku yang membangunkannya. Bibi tolong siapkan sarapan pagi saja!”
Bi Iyam tersenyum. Ia mengangguk sekali kemudian berjalan keluar kamar.
Setelah melihat pintu tertutup pelan, dengan langkah pasti Lini mendekatkan wajahnya ke telinga Gaby.

”Gaby sayang, kalau kau tidak bangun, kakak akan menunjukkan foto perutmu yang indah ini pada Eriol,” bisik Lini dengan nada manja.
Mendengar perkataan kakaknya, dalam sekejap kedua mata Gaby terbuka lebar. Ia berkedip beberapa kali dengan pancaran penuh keterkejutan. Dengan cepat gadis berambut coklat ini menoleh. Saat itu ia sudah memasang wajah geramnya. Namun, setelah yang dilihatnya adalah Lini, Gaby langsung merubah ekspresinya. Dengan susah payah ia menarik bibirnya sambil berlagak manis.
”Kak Lini, ada perlu apa kemari? Kenapa kakak tidak menelponku dulu?”
”Aku hanya ingin melihat kehidupanmu sehari-hari. Ternyata kau tidak berubah Gaby.”
”Siapa bilang aku tidak berubah? Waktu kecil aku jelek, tapi sekarang aku cantik, benar kan kak?” Gaby berusaha menggoda Lini agar kakaknya itu tidak menceramahinya terlalu panjang.
”Kakak benar-benar syok! Sekarang cepatlah bersiap-siap, kakak akan mengajakmu ke suatu tempat!” pinta Lini. Tanpa memberi kesempatan Gaby untuk merespon, Lini bergegas turun dari ranjang lalu berkacak pinggang sambil menaikkan alis.
Gaby melongo. Sebenarnya ia ingin sekali bertanya. Namun tak ada mood yang baik untuk itu. Sementara Gaby bersiap-siap, Lini tetap pada posisinya. Dengan senyum kecil ia melihat tindak-tanduk adiknya itu.
Setelah bertahan cukup lama, Lini pun tersentak. Pandangannya menerawang menatap Gaby. Pasalnya, gadis itu tak melangkahkan kakinya sejengkal pun ke kamar mandi. Ia langsung mengambil pakaian dari lemari lalu memakainya begitu saja. Dengan mata berkedip lemah, Gaby sesekali menguap. Ia menyisir rambutnya tanpa tenaga. Kemudian dengan paras innocent ia menyemprot seluruh tubuhnya dengan parfum.

“Gaby kenapa kau tidak mandi?”
”Kakak, aku sedang tak mood mandi,” jawab Gaby dengan pasrah.
”La..lu..kapan..terakhir kau mandi?”
”Seminggu yang lalu.”
”Ap..apa?”
...
            Sejenak Lini teringat sosok Eriol.
            Saat berkunjung ke rumah Eriol, ia melihat seekor kucing Toiger berlari ke arahnya.
”Kucing ini milikmu?”          
”Ya. Tenang saja Kak, Ciki sudah bebas dari virus.”
”Pasti higienis!”
”Ya. Ciki  kucing yang sangat rajin dan suka kebersihan. Dia mandi tiga kali sehari. Sekali tak mandi, dia seperti kucing yang sekarat.”
            Ketika ingat hal itu, Lini menarik nafas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Ditatapnya sosok gadis yang tak lebih rajin ketimbang seekor kucing itu, lalu berkata dengan tenang. ”Gaby, dua minggu ke depan, kau harus menikah dengan Eriol!”

            ”Ap..apa Kak?”
***
            Dua hari yang lalu, pertemuan kembali antara Lini dan Eriol di tempat kerja. Saat itu pria multi talented itu terlihat tak seperti hari-hari biasanya. Sesekali ia tertawa saat menanggapi perbincangan, namun dengan ceoat pula ia mengerutkan dahi seolah sedang memikirkan hal berat. Lini diam-diam mengamati gerak-gerik Eriol itu. Tangan kanan pria ini terus menggenggam kuat ponselnya.
            Karena penasarab, wanita anggun ini pun mendekati Eriol. Dengan gurauan ringan ia berusaha menyadarkan Eriol dari lamunan.
            ”Apa urusan percintaan? Aku lihat sejak tadi kau gelisah.”
            ”Maksud kakak aku ketahuan selingkuh?” Eriol tertawa lebar. ”Tidak kak, ini soal nenekku.”
            ”Nenekmu?”
            Eriol nampak ragu untuk menceritakan hal pribadinya. Setelah melihat ekspresi Lini yang bersahabat, ia pun berfikir untuk menuangkan kegelisahannya saat itu.
            ” Ibu dan ayah, mereka berdua tidak mempermasalahkan karirku yang sekarang, asal aku tetap seperti Eriol yang mereka kenal. Tapi nenek, beliau tidak setuju. Nenek cemas aku akan terlibat skandal keartisan, dunia glamor, dan kebebasan. Keluargaku punya nama, oleh karena itu sebagai bagian darinya, aku harus menjaga nama baik keluargaku. Tradisi itu adalah perjodohan. Ayah dan ibuku dulu menjalani ta’aruf, mungkin sekarang aku juga harus menjalaninya.”
            Raut wajah Lini menengang. Otaknya terus mencerna setiap perkataan Eriol dengan seksama. Kalau jadinya seperti ini, dia harus cepat bertindak.
            ”Umurmu baru dua puluh empat tahu bukan? Apa tidak terlalu cepat?” tanya Lini dengan banyak kerutan berjibun di keningnya.
            Eriol menghela nafas panjang. ”Semakin bertambah usianya, nenek semakin seperti anak kecil. Kalau keinginannya tidak dituruti, ada saja sensasi yang dibuatnya.”
            ***

            ”Meoooong..meoong...”
            ”Ada apa dengan kucingmu itu?” Gaby melirik kucing toiger betina itu sambil sesekali menunjukkan wajah jeleknya pada si kucing.
            ”Heeeei, kau mengejek kucingku?” teriak Eriol dengan wajah menantang.
            Gaby menggeleng dengan paras innocent. ”Tidak, aku hanya penasaran saja kenapa dia mengeong terus. Aku rasa itu sudah berlebihan untuk kadar seekor kucing normal. Heh, memang benar kata orang, binatang peliharaan mengikuti sifat majikannya.”
            ”Ap..apa?Hei, kalau dia mengeong seperti ini, biasanya dia mencium bau tak sedap yang bahkan tak terdeteksi oleh hidung manusia.”
            Gaby yang hendak melawan, sesaat tersadar akan sesuatu. Karena merasa bersalah, ia pun duduk menjauh dari si kucing. Tak berapa lama kemudian Ciki berhenti mengeong. Ia menghampiri majikannya, lalu dengan manjanya ia bergeliyat di kaki Eriol.
            Sesaat keduanya bersi tegang. Namun suasana itu pun mereda setelah Lini datang menghampiri mereka. Saat kakaknya itu duduk di sampingnya, Gaby sudah merasakan firasat buruk. Ia yakin kedatangan mereka ke rumah Eriol adalah tentang masalah yang tadi pagi mereka bicarakan.
            Ketika Gaby hendak memaparkan maksud kedatangannya, tiba-tiba houskeeper menghampiri mereka di ruang tamu. Dengan wajah sedikit pucat, ia memberitahu kalau nenek, ayah, dan ibu Eriol sedang berada di kuar.
            Pria ini terkejut setengah mati. Wajah yang tadinya begitu tenang langsung memudar. Ia beranjak dari sofa lalu kembali lagi sambil sedikit membungkuk. “Maaf kak, aku tidak tahu kalau mereka akan datang.”
            Lini dan Gaby saling tatap. Melihat kesempatan emas ada di depan mata, Gaby pun langsung merengkuh lengan kakaknya dan menyuruhnya untuk lekas pulang. Karena berfikir hal yang sama, Lini pun pasrah dibawa Gaby. Keduanya mulai berdiri sambil berpamitan. Namun, di saat yang sama, ketiga tamu agung itu sudah masuk ke ruangan.
            Seorang wanita muda nampak menuntun seorang wanita paruh baya yang membawa tongkat. Dibelakangnya menyusul seorang pria dengan pakaian rapi lengkap dengan dasi dan jas.
            “Ayah, ibu, nenek, kenapa tidak memberitahu kalau mau datang?” ujar Eriol seraya berjalan cepat mendekati nenek dan ibunya.
            “Anak bodoh! Siapa yang menyuruhmu tidak patuh pada nenek? Kalau kau bisa seenaknya, nenek juga bisa.” Sang nenek melanjutkan langkahnya. Setelah sampai di ruang tamu, keduanya pun bertemu dengan Lini dan Gaby.
            “Siapa anda?” tanya ibu Eriol dengan nada anggun.
            Lini dan Gaby pun langsung memperenalkan diri. Ibu Eriol membalas senyum keduanya. Berbeda dengan beliau, nenek Eriol malah tak menunjukkan senyumnya. Beliau melihat kedua gadis ini dengan tatapan serius. Menyadari sesuatu, Eriol pun lekas menggandeng tangan neneknya.
            “Nenek, aku mohon jangan membahas masalah ini sekarang ya?” pinta pria muda ini dengan sedikit manja.
            “Katakan pada nenek, yang mana kekasihmu? Mereka berdua sama-sama cantik.” Ujar si nenek yang tak melepas tatapannya sedetik pun dari Gaby dan Lini.
            Kedua gadis ini saling menatap. Gaby dan Lini tak tahu maksud nenek itu.
            “Bukan mereka nek. Aku belum punya kekasih.”
            Sang ibu yang tahu kecemasan Eriol, dengan tenang berusaha mengalihkan perhatian ibu mertuanya itu.
            “Benar kata Eriol, bu. Lebih baik ibu istirahat dulu. Setelah itu kita bahas masalah ini lagi.”
            Sang nenek mendengus pelan. Ia menatap cucu laki-lakinya dan Gaby secara bergantian. Kedua alis pria ini terus bertaut. Nampak berjibun kerutan di keningnya. Sesekali ia menggigit bibirnya karena neneknya masih menatap Gaby begitu lekat. Sementara si gadis yang terus ditatap malah tak mengeluarkan ekspresi berarti. Kedua matanya yang bulat dan besar itu terus berkedip pelan dengan wajah innocent.
            Lima menit berlalu. Nenek Eriol akhirnya menunduk. Beliau memalingkan pandangannya ke lain tempat sambil memikirkan sesuatu yang serius. Ketika menantunya itu hendak menuntunnya berjalan ke kamar, beliau buru-buru menepisnya.
            Nenek anggun itu mulai berjalan perlahan mendekati Gaby dengan tongkat kanan yang dipegangnya kuat-kuat. Tak lama kemudian, beliau tersenyum lebar, lalu berkata dengan tenang, “Aku mau gadis ini. Aku mau gadis ini menjadi calon ibu cucu buyutku. Aku mau dia!”
            Pernyataan sang nenek membuat semua orang yang ada  di sana terkejut. Tak ada satu pun dari mereka yang berani menanggapi kata-kata beliau. Meski semua mematung, nyatanya ada satu orang yang paling syok dari semuanya. Orang itu adalah Gaby. Gadis ini terus terperangah. Bibir merahnya yang seksi terus terbuka lebar sambil menatap nenek dan cucunya ini secara bergantian.

            ***
            Seminggu sudah Isela bekerja sampingan membantu Len di kantornya sebagai penterjemah. Karena sekretarisnya rawat inap selama dua minggu, Len pun sempat kelabakan karena ia akan kedatangan tamu dari perusahaan asing.
           
            ”Aku terkejut, ternyata kau bisa menguasai bahasa Jepang dengan baik. Kalau aku boleh tahu, dari siapa kau belajar?”
            Isela tersenyum.”Entahlah, aku tidak ingat. Saat dewasa tiba-tiba aku bisa. Hahahaha, sepertinya aku terlahir jenius,” canda gadis Isela.
            Len terpaku sejenak kemudian mengangguk pelan.
            ”Bagaimanapun juga, terima kasih. Aku mohon kau jangan salah paham dengan ini,” perlahan Len menyodorkan sebuah amplop tepat di depan Isela.
            Melihat jirih payahnya tak sia-sia, dengan wajah gembira Isela langsung mengambil amplop itu dan buru-buru memasukkannya ke saku. ”Ahahahahaha, tentu saja tidak! Aku sangat senang! Jangan khawatir, aku tidak akan salah paham,” ujarnya sambil berjalan melangkah keluar pintu.
            Sebelum menyentuh daun pintu, gadis ceria ini berbalik. Dengan senyum lebar dan kedua bola mata lentiknya yang selalu berkedip penuh arti, Isela mengangguk hormat. ”Sekali lagi, terima kasih tuan muda Len! Ohya, jangan sungkan meminta pertolonganku. Aku akan siap membantu, asal dibayar, hahaha. Tanpa uang kita tidak bisa hidup kan? Jadi kita impas,” ujarnya.
            Len tak mampu menyembunyikan perasaan senangnya. Sambil tersenyum lebar ia melihat gadis ceria ini keluar kantor menuju area parkir. Saat ini Len tak menampik, seminggu ini ia merasa terhibur dengan tingkah gadis pecinta uang itu.
            ”Bagaimana mungkin dia masih memikirkan mencari uang, padahal sekarang dia adik seorang miliyarder. Isela, kau gadis yang unik,” gumam Len sambil menggeleng keheranan.
            ”Kau tertangkap!”
            Kata-kata Yesa membuat Len tersentak. Dengan cepat ia menoleh ke belakang, lalu dengan gugup ia melihat Yesa berjalan menghampirinya.
            ”Kau tertangkap basah!” ucap Yesa lagi.
            ”Yesa, kapan kau datang?”
            ”Baru saja.
            “Apa Lini yang merekomendasikannya untuk menggantikan sekretarismu?”
            Len mengangguk dengan wajah datar. Tak terpancar di wajahnya raut kegugupan atau rasa penasaran tentang pertayaan tunangannya itu.
            Yesa kembali tersenyum. Setelah menghela nafas, gadis ini kembali menatap Len. “Apa kau menyukai gadis itu?” tanyanya dengan ekspresi tanpa emosi.
            Len tersenyum. ”Kenapa kau mengatakan hal yang membuat hatimu terluka?” ujarnya.
            ”Hmmm, aku iri. Aku tidak pernah melihat senyummu begitu bahagia seperti tadi. Dengan melihatmu saja aku sudah tahu.” Yesa tersenyum sambil menyikut pelan lengan pria ini. Ia berusaha melihat wajah Len yang masih tertunduk.
            ”Aku serius akan menikahimu. Jadi jangan berkata macam-macam. Kutraktir kau makan, ayo!” Len lekas berdiri. Mendengar jawaban Len, Yesa tersenyum simpul. Sambil menghela nafas, ia beranjak dari sofa lalu berjalan mengikuti Len.
            ***
           
***
            Setelah acara mual dan muntah usai, Gaby terlelap di kamar Eriol. Selama gadis ini belum terbangun, keduanya sedang bicara serius di ruang tamu.
            ...
            ”Jadi karena itu. Maaf, aku memang sempat terkejut atas tindakanmu itu. Tapi sekarang aku tahu alasannya,” ujar Eriol seraya berdiri lalu melangkah menuju teras.
            Lini turut beranjak dari sofa. Perlahan ia menghampiri Len, lalu berdiri sejajar dengannya.
            ”Sebagai kakak aku merasa tak berguna. Aku ingin sekali melindungi ketiga adikku. Hanya aku saja. Aku tidak ingin melibatkan orang lain untuk membantuku memikul apa yang seharusnya menjadi kewajibanku. Tapi aku tak berdaya. Karena aku kakak mereka, sewaktu-waktu mereka akan tertimpa bahaya. Aku tak tahu apa yang direncanakan Lorna. Yang jelas, dia bisa melakukan apa saja. Dia sangat membenciku.”
            ”Pacarnya pun bukan. Lalu, bagaimana kau begitu yakin aku bisa melindungi adikmu?” Kedua alisnya berusaha menyatu. Saat itu Eriol begitu penasaran dengan jawaban Lini.
            ”Karena kau sangat berlawanan dengan sifat adikku.”
            ”Berlawanan, berarti memicu pertengkaran bukan? Kalau kami bertemu yang ada selalu perdebatan. Aku merasa menjadi anak kecil yang selalu marah dan meledeknya.”
            Lini tersenyum simpul melihat ekspresi wajah Eriol yang pucat, gusar, dan sedikit bodoh. Sambil menepuk pundaknya, Lini berkata, ”Tapi kau yang berhasil membawa Gaby ke sisiku. Membujuk Gaby bukanlah hal mudah, terlebih untuk sebuah masalah yang membuatnya tergoncang. Sekarang tatap mataku dan katakan kau tidak menyukainya,” pinta Lini. Ia berdiri menghadap Eriol kemudian terdiam menunggu jawaban pria ini.
            “Aku..aku baru mengenalnya beberapa minggu. Aku tidak tahu sifat aslinya. Apa yang dia suka dan tidak dia suka. Aku hanya bisa meledeknya. Tapi...tapi...saat aku tahu dia adikmu, aku merasa tak ragu untuk melindunginya.”wajah gugup Eriol mulai terpapar jelas.
            Lini kembali tersenyum. Dengan cepat ia menyeka setetes air mata yang jatuh di pipinya. Tak lama kemudian Gaby sadar. Dengan langkah linglung ia menghampiri Eriol dan Lini yang sedang berdiri di teras.
            ”Lalu...apa Gaby akan setuju?”bisiknya.
            ”Aku tidak akan bicara sejauh ini kalau adikku tidak menyukaimu,” jawab Lini seraya menepuk kembali pundak Eriol. Ia berjalan menghampiri Gaby lalu menuntun adiknya menuju kamar mandi.
            Eriol terpaku sesaat. Sejenak wajah konyolnya pun muncul. Ia merasa mendapat banyak kejutan besar hingga ia tak tahu harus berfikir apa.
 ***
            Hari ini Isela mendapat pekerjaan baru sebagai ganti pekerjaannya yang hilang di  restaurant pizza karena sebuah insiden bersama Len.
            Setelah mengantar adik bungsunyaTita pulang ke rumah, Isela hendak pergi mengunjungi kantor kakak iparnya, Ray. Gedungnya tak jauh dari toko tempat ia bekerja. 
            Isela terus berjalan dengan santainya menuju ke sebuah gang kecil, sembari menghitung gaji dari hari pertamanya bekerja. Begitu asyiknya menghitung, gadis ini pun tak menyadari mobil Len baru saja lewat di sampingnya.
            ”Bukankah itu Isela? Mau kemana dia? Jalan itu kan sempit, sepi pula. Apa tidak apa-apa?” kata-kata Yesa sejenak membuat Len khawatir.

Kecemasan Yesa terbukti. Setengah perjalanan, seseorang menepuk kedua pundak Isela dengan kasar. Setelah itu, suara geraman diiring aroma alkohol semakin tercium dan membuat gadis berambut keriting ini semakin ketakutan. Firasat buruk merajai benaknya hingga ia tak mampu membalikkan badan.
            ”Hei Nak, kau masih tak berubah ya? Kau suka sekali lewat di jalan pintas yang sepi seperti sekarang. Ayo berbaliklah! Kau tak ingin menyapaku? Sudah lama kita tak bertemu. Ijinkan ayah melihat wajahmu!” ujar pria paruh baya yang sedang mabuk itu.
            Setelah sadar suara siapa yang bergema di telinganya, Isela lekas melepas kedua tangan pria itu dari pundaknya. Ia berbalik dengan wajah penuh emosi. Dengan nafas tak beraturan Isela menghardik ayah angkatnya itu sambil berlinang air mata.
            ”Aku sudah melunasi hutang ayah. Sekarang apalagi mau ayah?”
            Pria paruh baya itu tertawa. Sesekali ia meneguk botol minuman di tangan kanannya sampai isi di dalamnya habis.
            “Ayah tidak punya uang. Berikan ayah uang!”
            ”Tidak,”jawab Isela.
            ”Kau berani melawan ayah!” pria paruh baya itu berteriak keras. Botol minuman dibuangnya jauh-jauh sampai suara pecahannya membuat tubuh Isela gemetar. Setelah tangan kanannya bebas, pria paruh baya itu hendak melayangkan pukulan. Namun aksinya terpaksa gagal karena Len lebih dulu menahan tangannya.
            ”Hei, siapa kau anak muda? Brani sekali kau menghentikanku?” nadanya meninggi hingga membuat Isela menutup rapat telinga dan matanya.
            ”Jangan lukai dia paman! Lebih baik paman pergi sebelum polisi datang,” ancam Len dengan suara merendah.
            ”Kau? Apa kau kekasihnya? Hoh, Isela, kenapa kau tidak memberi tahu ayah kalau kau punya pacar orang kaya? Ini kabar gembira, hahahahaha,” pria setengah mabuk itu memanjangkan tawanya.
            Tanpa pikir panjang, Len langsung menggiring Isela pergi dari tempat itu. Namun langkah mereka terpaksa terhenti saat suara pistol tiba-tiba berdengung sangat nyaring. Yesa yang ada di seberang pun sampai dapat mendengar suaranya. Karena cemas, wanita anggun ini pun turun dari mobil dan berlari mencari tunangannya itu.

            ***
            Berita di tv pagi ini membuat Gaby uring-uringan. Tanpa pikir panjang ia pergi ke tempat kakaknya dan berniat mengklarifikasi masalah yang diberitakan.
            Setelah sampai di tempat tujuan, ia melihat kakaknya bersama Ray sudah dikerumuni oleh para reporter. Masalah tentang kehamilan Gaby dengan Eriol diluar nikah yang dikarang indah oleh wartawan membuat nama baik Lini dan keluarga besar menjadi tercemar.
            Karena tak tahan kakaknya menjadi bahan sorotan media yang menyebalkan itu, ia berniat berjalan menerobos mereka. Saat kaki mungilnya hendak melangkah, seseorang tiba-tiba merengkuh lengannya dengan kuat.
            ”Eriol?” ujar Gaby dengan paras terkejut.
            Pria tampan ini membalasnya dengan wajah serius. Sesaat para wartawan berhenti beraksi. Mereka terperangah sesaat ketika melihat dua obyek yang diberitakan secara panas ini sudah ada di tempat. Dalam hitungan detik, kegaduhan terjadi. Mereka yang semula beraksi menyerang Lini sekarang berlomba-lomba mewawancarai keduanya.
            ”Kita...menikah saja,” ujar Eriol tiba-tiba.
            Gaby menatap pria di sampingnya dengan wajah terkejut. Bibirnya komat-kamit tanpa mengeluarkan kalimat berarti.
            ”Mengangguklah! Setidaknya lakukan ini untuk kakakmu.”
            Gaby tetap mematung. Rasanya ia tak dapat berfikir apapun. Seluruh tubuhnya seakan mati rasa, namun hanya satu yang masih bisa ia rasakan, yaitu tangan Eriol yang terus menggenggam tangannya begitu kuat.
            ***
            ”Kenapa? Kau terkejut? Bagaimana kalau peluru ini melesat kemudian menembus kulit pacarmu? Kalau tak ingin hal itu terjadi, beri ayah dua puluh juta, sekarang!” suaranya semakin meninggi. Terdengar berat dan melantun seperti pambuk berat. Berdiri tegap pun ia tak sanggup. Tapi pria ini masih memiliki banyak tenaga untuk menembakkan pistolnya.
            Secara spontan Len berdiri membelakangi Isela. Pandangannya tetap serius menatap pria itu.
            ”Polisi akan segera datang, lebih baik tuan cepat pergi kalau tak ingin ditangkap,” ancam Len kembali.
            ”Apa? Hei anak muda, sebelum polisi datang, peluru ini akan lebih dulu bersarang di tubuhmu. Cepat berikan aku uang!”
            Karena tak tahan dengan tingkah ayahnya, Isela berjalan dengan penuh emosi. Dibiarkannya setetes demi setetes air mata turun membasahi pipi. Isela tak gencar sedikitpun meski Len terus berteriak menyuruhnya untuk berhenti. Ia tahu ayahnya itu takkan tega menembaknya sampai uang benar-benar berada di genggamannya.
            Dengan tenaga kuda Isela meletakkan semua uang yang diperolehnya pada telapak tangan pria itu. Sambil mengatur nafasnya kembali, ia meminta ayahnya untuk lekas pergi. Setelah mendapat apa yang diinginkannya, tentu saja pria itu patuh, meski ia sempat mematung karena Isela tak menyerahkan dua puluh juta secara utuh.
            ”Cepat pergi!” teriak gadis ini kembali.

            Semua kejadian itu tak luput dari pengamatan Yesa. Ia terus berdiri dari kejauhan dengan sekujur tubuh menggigil. Ia takut pistol itu akan benar-benar bersarang di tubuh tunangannya.

            Setelah ayahnya pergi, Isela berbalik. Meski ia tak punya kekuatan untuk melihat Len, ia harus mengatakan sesuatu yang penting pada pria ini. Dengan suara berat dan ekspresi menahan air mata, Isela berkata, ”Jangan berusaha melindungiku lagi! Aku bisa menjaga diriku sendiri!” Isela berlalu melewati Len.
            ”Bagaimana kalau kau sampai tertembak tadi? Kau tahu begitu cemasnya aku? Kau adik kakak angkatku Lini. Kalau sampai terjadi apa-apa padamu...”
            ”Berhentilah berkata seperti itu! Jangan memberi dirimu sendiri beban untuk melindungiku. Aku hanya tak ingin orang lain mati karena aku.”
            ”Kenapa kau begitu keras kepala?”
            ”Jangan bertindak melindungiku lagi! Aku..aku..bisa jatuh cinta padamu,” nadanya meninggi lalu turun dengan drastis. Isela tertunduk. Ia sadar apa yang dikatakannya tadi. Itu sebabnya pandangannya tertuju ke bawah lalu ia membungkuk sedikit.
“Trima kasih. Kelak, aku bisa menjaga diriku sendiri.” Isela berpamitan. Ia berjalan semakin menjauh dari Len. Sementara pria ini terus mematung. Ia tak tahu lagi kalimat apa yang harus terlontar agar Isela berbalik. Melihat hal itu, dengan susah payah Yesa menopang tubuhnya dengan kedua kakinya yang terus gemetar. Tangannya menutup mulut rapat-rapat. Kedua matanya memerah. Detik itu juga ia merasa telah kehilangan Len.

            Setelah kembali masuk ke mobil, ia melihat Yesa terpaku seperti trauma melihat sesuatu.
            ”Yesa, kau sakit?” tanya Len yang hendak menyentuh kening wanita itu.
            ”Menikahlah dengannya!” ujar Yesa dengan suara lembut.
            ”Apa?”
            ”Kau harus berada di sisi gadis itu, dengan begitu selamanya aku tak akan merasa bersalah pada Lini.
            Len membisu. Saat itu perasaannya terlalu buruk untuk melawan perkataan Yesa. Wanita ini pun tahu kalau Len pasti akan berekspresi seperti sekarang ini. Oleh karena itu, mudah baginya untuk bisa meluapkan perasaannya saat itu.
            ”Aku dan Lini bersahabat bukan dalam dua atau tiga hari. Kami bersahabat sudah bertahun-tahun sejak bencana gempa itu terjadi. Semua yang aku miliki sudah hancur hingga alasanku untuk hidup sudah tak ada. Tapi aku punya Lini, orang yang mengusap air mataku ketika tak ada yang peduli denganku. Kami berbagi kegetiran bersama. Sejak saat itu aku bertekad, hal lain sepenting apapun itu bagiku, aku rela melepasnya, asal aku tidak kehilangan Lini.”
            Len berusaha menahan air matanya. Sesekali pundaknya terangkat tanda begitu alotnya ia menarik nafas. Yesa melihat itu semua. Makanya dengan pelan ia menyentuh pundak Len sambil tersenyum.
            ”Aku tahu kau takkan melepasku begitu saja hanya dengan alasan itu. Aku tahu kau tidak menganggapku sebagai barang yang bisa kau koleksi dan kau buang, iya kan?,” ujar Len dengan nada rendah.
            ”Benar. Kau ingin tahu alasan terkuatnya?”
            Len terus menatap Yesa. Bibirnya tetap mengatup rapat.
            ”Aku tahu Isela sudah memiliki ruang di hatimu yang aku pun tak bisa memasukinya. Tapi dia bisa memasuki tempatku di hatimu dengan begitu mudah. Mungkin kau belum sadar akan hal ini, tapi aku yakin kau pasti mengetahuinya,” ujar Yesa kini dengan senyum yang terlihat begitu tulus.
            ”Kenapa kau begitu yakin? Seandainya kata-katamu itu tak terbukti, apa kau akan menyesal?”
            ”Aku percaya takdir Len. Kalau kata-kataku benar, pengantimu bukanlah aku. Tapi jika kata-kataku salah, Tuhan akan memberi jalan untuk kita bersatu kembali.”
            ”Kau berada di sini sudah tiga tahun lamanya. Sementara Isela baru terbilang dua minggu ini. Berhentilah bercanda. Tarik kembali ucapanmu dan kita pulang sekarang.”
            ”Aku tahu kau merasa ini tak masuk akal. Bagaimanapun juga aku ini seniormu. Aku pernah jatuh cinta dan menikah. Tak peduli tiga tahun atau dua minggu, jawabannya pasti bermuara pada perasaan, yaitu wujud abstrak yang paling tak bisa dikompromikan di dunia ini.”
            Len kalah telak. Kalimat terakhir Yesa membuatnya tak mampu lagi untuk mempertahankan wanita itu di sisinya.
             ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar