Senin, 15 Agustus 2011

3 GP episode 11


Bab 11

“Love is the eye of the heart that never blind.”

            Len masih sibuk mengelola hotel barunya di Bali. Hampir beberapa hari ini ia terus berada di kantor. Ia menyibukkan dirinya sembari menata pikiran yang kacau karena Isela. Sesekali pria jenius berusia 24 tahun ini mendengus pelan. Tangannya menyentuh dahi. Kedua alisnya berusaha menyatu, seolah masalah berat tak mampu diatasinya.
            Tak lama kemudian sekretaris Hong masuk. Beliau memberitahu bahwa investor asing sudah datang. Len pun bersiap. Ia meminta Pak Hong mempersilahkan tamunya masuk.
            Investor asing itu adalah seorang direktur perusahaan otomotif dari Jepang yang sudah fasih berbahasa Indonesia. Setelah bersalaman, Len mempersilahkan pria berusia kepala lima itu duduk bersama dengan sekretasinya selaku penterjemah.
            ”Sebentar, apa kita penah bertemu sebelumnya tuan Len?”
            Len tertegun. Ia pun merasa tak asing melihat wajah beliau. Tak lama kemudian pria paruh baya itu tertawa lepas. Ia berkata bahwa mereka bertemu di acara pembukaan hotel dua hari yang lalu tepatnya di ruang billyard.
            Len terkejut. Bibirnya terlihat cukup gagap, namun ekspresi tenang dan wibawa berhasil menutupi rasa terkejutnya itu. Tak lama kemudian pria paruh baya itu pun mulai menanyakan Isela.
            ”Mungkin saat itu kau salah paham. Istrimu hanya menemani kami bermain. Tak kusangka dia begitu pintar. Karena kehebatannya itu kami memberinya cek sebagai hadiah. Tak kusangka gadis cantik itu menolak maksud baik kami.”
            Len terperangah. Nampak nafas kesesakan perlahan dihembuskannya.
            ”Anak muda, kau sangat beruntung punya istri sepertinya. Senyummya yang tulus membuat kami semua terhibur. Apa kau tidak merasakannya?”
            Tak lama kemudian Len mengangguk. Ia membalas senyum pria paruh baya itu. Terselip di kedua matanya tatapan sendu yang berusaha ia tutupi. Usai perbincangan, Len segera pergi dari kantornya dan mencari Isela.
            ***
            Tanpa sepengetahuan Lini, Lorna terus melancarkan aksinya. Kali ini dia diam-diam menyelidiki asal-usul 3GP.

            “Bagaimana perkembangannya? Apa kau menemukan sesuatu yang menarik?”
            Dua pesuruhnya yang berpakaian rapi mengangguk bersamaan. Salah satu dari mereka mengeluarkan dokumen dari dalam tas kopernya lalu menyerahkannya langsung pada Lorna.
            Sembari wanita glamor ini membaca isi dokumen itu, salah satu pesuruh itu menjelaskan.
            ”Dari informasi yang kami dapat, salah satu dari ketiga gadis yang dimaksudkan, tidak ada data riwayat yang pasti. Usai kecelakaan gempa itu, dari pendataan ulang, salah satu dari mereka tidak diketemukan.”
            Bagaikan gong yang dipukul sekali begitu nyaring, Lorna berhasil menemukan fakta besar. Kedua matanya berbinar-binar mengalahkan permata. Aura kebencian mulai merajai ruangan. Bibirnya mulai tersenyum pahit.
            ”Jadi maksudmu, salah satu dari 3G princess itu, bukanlah adik kandung Guilinia?”
            Kedua pesuruh mengangguk kompak. Beberapa saat kemudian Lorna menggelegarkan tawanya. Ia sampai tak bisa membendung rasa bahagianya itu hingga air mata keluar setetes demi setetes. Tak lama kemudian, perasaannya kembali tertata.
            ”Lalu, apa kalian sudah menyelidiki siapa gadis itu?”
            ”Sudah nyonya. Nama aslinya adalah Syelomita, cucu pertama direktur perusahaan ternama yang sekarang berebut saham dengan nyonya Guilinia.”
            ***
            Isela tak mengaktifkan ponselnya. Len pun gelagapan mencari gadis ini. Jantungnya berpacu begitu cepat. Nafasnya terengah-engah. Pikirannya kalut. Saat itu ia begitu ingin melihat senyum gadis yang sangat dirindukannya itu. Sejak pertengkaran dua hari yang lalu, Len tak menghubungi Isela meski hanya sekedar menanyakan kabar gadis itu. Kata-kata direktur paruh baya tadi terus terngiang-ngiang di ingatannya. Rasa bersalahnya pun beraduk sempurna  dengan rasa rindunya.
            ”Isela, kau dimana?” katanya berulang kali sambil terus mencari.

            Tak sadar tubuh membawa kemana, Len pun sampai di Alas kedaton. Pikirannya mulai tenang saat berusaha berpikir kira-kira dimana Isela sekarang. Ia menyusuri tempat yang sangat digemari para wisatawan itu. Tak jarang pula ia melihat kera turut berkeliaran disana.
            Berbekal niat yang baik, Len pun menemukan sosok yang dicarinya. Gadis periang ini masih terlihat ceria meski perasaannya pun kalut seperti Len. Melihat senyum itu tak luntur di wajah gadis itu, Len pun mulai menghela nafas panjang. Saat itu ia ingin sekali menghampiri Isela, namun niatnya itu terurung. Ia merasa kedatangannya yang tiba-tiba nanti akan membuat wajah gembira Isela luntur dengan cepat. Untuk alasan itulah Len tetap pada posisinya, berdiri tak jauh dari Isela sambil mengamati gerak-gerik gadis itu.
            Seolah tanpa beban, Isela masih terus merayu si pemilik toko agar mau menyetujui harga yang diinginkannya.
            ”Bibi, tolonglah! Hadiah ini mau kuberikan pada suamiku. Kami mengalami sedikit masalah. Semua itu memang salahku makanya aku mau minta maaf dengan membelikannya ini. Aku tidak punya cukup uang untuk harga yang bibi tawarkan.”
            ”Begitukah? Hmmm, nak, kau pintar sekali mengambil hati orang!” si penjual kalah telak. Isela berhasil merayu penjual itu dengan sangat baik. Itulah pikiran Len saat sengaja mendengar percakapan mereka. Pria ini pun menggelengkan kepalanya tanda salut pada kemampuan ”berbohong” Isela.
           
            Tak terasa jam menunjuk pukul setengah empat sore. Len cukup lelah mengikuti langkah Isela. Setelah puas berbelanja, gadis ini kembali ke hotel lalu meletakkan barang-barangnya. Tak lama kemudian Isela kembali keluar untuk menikmati indahnya pantai Karma Kandara. Len yang sejak tadi menunggu di luar kembali mengikuti langkah Isela.
            Saat menyusuri pantai terindah di Bali itu, ekspresi Isela tak sebadung dan seceria saat berbelanja di Alas kedaton. Gadis yang tak melankolis pun akan berubah menjadi melankolis jika sudah melihat pantai. Airnya begitu bening dengan gradasi biru bersama putihnya butiran pasir yang terhampar disana. Isela melepas alas kakinya begitupun Len.
            Pantai ini sangat sepi, jadi tak salah jika Isela bisa melepas kegundahannya di sini. Tak lama menyusuri pantai, gadis ini menghentikan langkahnya. Perlahan kedua tangannya menyentuh pangkal paha. Tubuhnya membungkuk perlahan seolah tak ada tenaga lagi untuk berdiri. Kedua tangannya merangkul kedua kakinya yang mengatup rapat. Isela duduk sempurna di atas butiran pasir putih. Len yang berdiri di belakangnya merasa kegundahan itu terjadi karenanya. Ia pun menarik nafas dengan berat. Kedua kakinya tetap terpaku meski ia ingin berlari lalu meminta maaf.
            Tak lama Len mendengar suara ombak, perlahan-lahan tangisan Isela pun turut terdengar. Gadis ini menangis terisak sambil sesekali mengerang. Len semakin mati langkah. Saat itu perasaan kalutnya pun mulai merajai pikiran. Tubuhnya terpaku terus karena dalam benaknya muncul sebuah anggapan. ”Apa aku menikahi gadis ini karena rasa kasihan?Kalau benar, apa yang harus aku lakukan?”
***
            Pria tua itu terbaring di sebuah ranjang bersama dengan infus dan alat pendetak jantung. Sudah hampir tiga tahun lamanya pria ini koma dan harus tinggal sendiri di rumah sakit dengan ruang VIP.
            Seorang sekretaris pria nampak berjaga di depan pintu. Ia menahan masuk seorang pria muda yang terlihat cukup terengah-engah.

            ”Tuan muda Vic, mohon anda tenang dulu. Saya akan mengijinkan anda masuk setelah anda cukup tenang,” ujar pria yang berjaga itu.
            Vic sedikit membenahi seragam sekolahnya. Dasi berwarna merah itu sedikit dilonggarkannya. Beberapa saat wajahnya kembali tenang seperti biasa.

            ”Benarkah kakekku sudah sadar?”
            Pria itu mengangguk. ”Baru saja dokter dan perawat keluar dari ruangan.”
            ”Lalu bagaimana kata dokter? Apa kakekku ada harapan untuk sembuh?”
            Ketika pria itu hendak menjawab kembali, seorang wanita bersua tepat di belakang Vic. Wanita tak diundang itu menghampiri Vic sambil menepuk lembut pundaknya.
            ”Suatu mukjizat kakekmu bisa sembuh Vic. Kau bisa tenang sekarang. Mungkin beliau mendapat firasat baik tentang kakak perempuanmu. Makanya beliau lekas tersadar.”
            Perlahan Vic berbalik. Kedua matanya menatap ke bawah sambil bertanya dengan tenang, ”Apa maksud anda?”
            ”Jangan berpura-pura tidak tahu maksudku. Aku sedang membicarakan tentang kakakmu yang hilang karena bencana gempa tiga belas tahun yang lalu. Orang-orang kepercayaan kakekmu sudah menemukannya. Secepat mungkin gadis itu akan menemui kakekmu sekaligus menggantikan posisi beliau untuk sementara. Benar kan?”
            Vic melebarkan kedua matanya. Ekspresi terkejut diperlihatkannya sesaat. Perlahan-lahan ekspresi wajahnya kembali tenang. Ia berpaling dari tatapan Lorna.
            ”Maaf, aku tidak tahu,” jawab Vic begitu dingin.
            ”Baguslah, aku orang pertama yang memberitahumu. Selanjutnya terserah pada kakakmu nanti. Mau tidak mau dia harus merebut saham kakekmu kembali. Ohya, bagaimana aksi balas dendammu? Apa Getalita berhasi..”
            Vic buru-buru memotong. ”Aku tidak ingin membicarakan hal lain selain kesehatan kakekku. Jika anda hanya datang kesini untuk membahas hal tidak penting itu, lebih baik anda lekas pergi.”
            Bibir Lorna terbuka lebar. Ekspresinya nampak tak percaya. Baru saja Vic mengusirnya secara hormat, namun begitu menusuk bagi wanita glamor dan berharga diri tinggi itu. Tanpa banyak bicara lagi Lorna lekas pergi meninggalkan Vic.

            ***
            Vic bersama dengan sekretaris kakeknyaDipo, berbicang di cafetaria dekat rumah sakit. Lama perbincangan tak mulai sampai akhirnya Dipo menyerahkan sebuah amplop pada Vic. Pria ini pun langsung membukanya. Dikeluarkannya beberapa lembar kertas yang berisi laporan data seseorang. Sembari membaca isi dokumen, Dipo menyampaikan suatu informasi.

            ”Nona Syelomita masih hidup. Selama di penampungan tiga belas tahun yang lalu, nona Syelomita dibawa lari oleh Rukimapengasuh sekaligus orang kepercayaan nyonya Floraibu kandung tuan muda Vic. Selama itulah nona Syelomita tinggal bersama Rukima dan suaminya yang bekerja serabutan. Lalu”, ketika hendak melanjutkan, Vic menyuruhnya berhenti dengan isyarat kelima jemari yang mengatup rapat tepat berada di depannya.
            ”Bawa kakakku kemari secepatnya. Masalah perebutan saham dan aset kekayaan itu harus segera selesai. Semua hal ini tidak penting bagiku, yang penting kakek cepat sembuh dan orang yang membuat kakek seperti ini harus menerima ganjaran yang setimpal,” ucap Vic dengan tenang meski mimiknya tampak gusar ala pria cool.

            ***
            Seminggu berlalu begitu cepat. Akhirnya bulan madu pun berakhir. Isela, Gaby, dan Eriol sudah berada di bandara. Tak lama kemudian Len datang sambil membawa tiket pesawat.
            ”Rasanya tetap ingin tinggal. Masih banyak tempat wisata di Bali yang belum kukunjungi,” sahut Gaby dengan wajah memelas.
            ”Apa kau menyesal ikut syuting denganku? Itu sebabnya kau tidak bisa puas jalan-jalan, begitu?” ujar Eriol dengan wajah sebal.
            ”Aku tidak mau memulai pertengkaran. Lebih baik kau diam saja!” balas Gaby.
            ”Kau” Eriol hendak bersua, namun melihat Gaby yang lesu membuatnya tak semangat untuk berdebat.
            ”Badanmu panas. Kalau tidak kuat, kita pulang besok saja,” ujar Len setelah meletakkan telapak tangannya di kening dan pipi Isela.
            Mendengar hal itu Gaby lekas berpaling. Ia duduk di dekat adiknya itu sambil melakukan hal yang sama seperti Len beberapa saat yang lalu.
            ”Benar. Badanmu panas sekali. Lebih baik pulang besok saja ya?” Gaby turut memberi saran.
            Melihat dua mahkluk itu kompak memasang wajah khawatir, Isela buru-buru menarik simetris kedua ujung bibirnya. Kedua matanya berkaca-kaca sambil berkata, ” Wajah kalian lucu sekali. Sudahlah, aku tidak apa-apa! Tadi pagi sudah minum obat.. Aku hanya demam biasa!” ujar gadis ini.
            ”Kalau begitu bersandarlah di pundak Len. Kepalamu pasti sangat pusing. Tidur lah sejenak,” ujar Gaby seraya menaruh pelan kepala Isela ke pundak Len. ”Tolong jaga adikku ya!” pinta Gaby kembali.
            Len mengangguk sambil tersenyum. Tak lama kemudian Eriol menghampiri mereka. Sambil berkacak pinggang Eriol pun turut bersua. ”Len sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Sudah kewajiban suami untuk melindungi istrinya. Jangan terlalu khawatir. ”
            Gaby melihat Len melepas jaketnya lalu mengenakannya pada Isela. Gadis ini pun memejamkan matanya. Wajahnya tampak nyaman saat tidur di pelukan Len. Melihat hal itu, Gaby lekas melangkah pergi lalu Eriol pun menyusul. Keduanya berjalan menuju cafetaria. Tak lama setelah membeli segelas kopi, suara Tita bergema memanggil Gaby. Gadis yang hendak duduk itu lekas berdiri lalu berjalan mendekati adik bungsunya. Keduanya saling berpelukan dengan ekspresi girang.

            ”Kak Gaby pulang hari ini?” tanya Tita.
            Gaby mengangguk. ”Kau juga?”
            Kini giliran Tita mengangguk. ”Aku sudah beli oleh-oleh untuk kak Lini, untuk kak Gaby, dan kak Isela juga ada.”
            ”Wah, thank you. Hm, apa itu teman-temanmu?” tanya Gaby seraya melihat sekumpulan ABG berkerumun di satu sudut.
            Tita mengangguk. Tak lama kemudian Mahira menghampiri keduanya. Dengan wajah innocentnya Mahi berkata, ”Kak Gaby, Tita lagi sedih tuh! Soalnya kemarin pria yang ditaksirnya sudah pulang duluan ke Jakarta. ”
            Tita melebarkan kedua matanya. Tangan kanannya lekas menepuk lengan Mahi dengan tenaga kuda.
            ”Ohya? Pria seperti apa yang ditaksir adikku?” tanya Gaby dengan wajah menggebu-gebu.
            Ketika Mahira hendak menjawab, mulutnya buru-buru dibungkam kuat oleh Tita. Ia pun menggeret sahabatnya itu menjauh dari kakaknya.
            ”Kak Gaby, aku tunggu di rumah ya!” sahut Tita seraya berjalan menuju kerumunan teman sekelasnya.
            Gaby mengangguk. Ia melambaikan tangannya sambil tersenyum lebar. ”Adik, hati-hati di jalan!” teriaknya.
            ***
            Tertidur di pelukannya adalah satu hal yang indah. Aku merasa terlindungi dari segala ketakutan yang aku rasakan. Aku berharap dia melakukkan ini karena perasaannya sama denganku. Tapi saat dia membelai kepalaku, aku terkejut. Meski aku bukan gadis perasa. Meski ia tak mengatakannya. Aku tahu satu hal yang pasti. Len, menganggapku adik perempuannya. Belaian yang kubutuhkan mendetakkan jantungku begitu cepat, juga menusuk dadaku sampai ngilu. Aku benci menangis. Tapi aku sadar, jika tidak mengeluarkannya, mungkin aku bisa mati. Kakak, pernikahan ini salah. Apa aku harus mengakhirinya? Semakin Len membelaiku, semakin aku ingin menciumnya. Aku tidak bisa mengatakan apa yang aku rasakan, karena ini kejujuran, dan aku tidak bisa berbohong lagi.

            Bergulat dengan pikirannya itu, Isela tak sadar kalau dirinya sudah berdiri di depan sebuah rumah besar. Gadis ini menengadah sambil membuka lebar kedua matanya, sementara Len terus mengamati ekspresinya.

            ”Sekarang ini rumahmu. Ayo masuk!” teguran Len membuat Isela semakin terhipnotis. Ia berjalan mengikuti Len tanpa melontarkan kalimat berarti. Menyadari hal itu, Len pun langsung menggiring Isela ke kamar.
            ”Panasmu mulai turun tapi kau harus istirahat lagi!” Len menggiringnya menuju ranjang. Dengan sabar ia menyibak selimut lalu membantu gadis ini berbaring.
            ”Len, rumah ini besar sekali. Apa kita hanya tinggal berdua di sini?” Isela lekas bangun. Ia duduk dengan wajah terperangah. Kedua mata bulat nan lentiknya tak berkedip saat membidik setiap sudut kamar yang sesar itu.
            Len mendengus pelan lalu tersenyum. Tangan kanannya menyentil kening Isela sambil berkata, “Jangan takut. Ada bi’ Sany yang akan membantumu. Kalau perlu apa-apa panggil saja beliau.”
            Seorang ibu paruh baya nampak berdiri di depan pintu. Setelah itu Len mempersilahkannya masuk. Bibi yang terlihat murah senyum itu menyapa Isela dengan sebutan Nak.
            ”Tuan muda Len tidak usah khawatir. Nak Isela biar bibi yang urus,” ujar bi Sany sambil mengangguk.
            ”Makasih bi!” ujar Len. Isela mengangguk sambil membalas senyum bi Sany.
            ***
           
            Dalam rangka memperingati ulang tahun sekolah Goong Gautama yang ke 24, salah satu acara yang diadakan para siswa adalah penobatan King and Queen. Kandidat boleh dari berbgai jurusan seni. Yang terpentingadalah masing-masing kandidat memiliki prestasi akademik yang bagus serta mempertontonkan skill-nya di puncak acara nanti.
            Saat ini di kelas Tita sedang diadakan pemilihan calon Kin and Queen. Seperti halnya tahun-tahun yang lalu, kemenangan terus dipegang oleh Getalita dan Nicky.
            ”Baiklah teman-teman, apa kalian semua siap?”teriak Mahi selaku ketua kelas.
            Seluruh isi kelas menjawab Siap secara kompak dan lantang. Berbeda dari hari sebelumnya, Tita yang selalu membuat ramai kelas, sekarang ;ebih banyak diam. Menyadari hal aneh terjadi, Mahi pun segera menghampiri gadis ini. Ditepuknya pundak Tita cukup halus, namun gadis ini terlihat sangat terkejut menerimanya.
            ”Mahi..kau..kenapa kau menepuk pundakku tiba-tiba?” ujar Tita dengan bibir gagap dan suara tinggi. Melihat tingkah canggung Tita, Mahi pun langsung tahu apa yang sedang dipikirkan sahabatnya itu.
            ’Katakan saja apa yang mau kau tanyakan. Apa soal pencalonan vic sebagai King di kelas B?”
            Tita yang ingin mengelak langsung luluh karena tatapan menggoda Mahi. Gadis ini mengangguk pasrah sambil menggembungkan kedua pipinya.
            ”Kalau begitu tunggu apa lagi?Kita cari informasinya langsung di kelas B, ayo!” Mahi menggeret kuat lengan Tita hingga gadis ini tak mampu mempertahankan posisinya semula.
            Keduanya berjalan di area kelas B. Semua nampak asyik bergunjing terutama kaum hawa. Karena penasaran, Mahi pun menyetop paksa salah satu siswa kelas B yang hendak masuk kembali ke kelasnya. Tanpa basa-basi, Mahi pun bertanya tentang keikutsertaan Vic.
            Gadis berkuncir kuda itu mengiyakan. Katanya akan ada persaingan ketat antara Nick dan Vic. Mendengar hal itu, Tita jadi bisa sedikit bernafas lega, tapi berbeda dengan Mahi. Gadis ini tetap getol ingin mencari tahu alasan Vis, si manusia dingin itu bisa begitu pasrah menerima pencalonan atas dirinya.
            ”Bukannya Vic tidak ingin permainan pianonya didengar oleh siapapun? Kau tidak ingin tahu alasannya? Atau mungkin dia memang tidak mengabaikan kata-katamu waktu itu?” Mahi terus melontarkan praduganya hingga rasa penasaran Tita pun memuncak.
            ”Baik, akan kutanyakan sendiri padanya!” jawab Tita seraya bergegas pergi ke tempat Vic.
            Ketika memasuki kelas lukis, langkahnya terhenti saat melihat Vic sedang berdiri di sebuah lorong. Tubuhnya bersandar pada tembok batu andesit sambil melihat ke arah jendela.
            Tita bernafas lega. Bibirnya mengembang senyum sambil bergegas menuju ke lorong itu. Ketika hampir sampai, sebuah suara gadis tiba-tiba terdengar. Tita terkejut. Tubuhnya sedikit condong untuk melihat siapa gadis yang sedang berbincang dengan Vic. Tak menunggu lama, gadis ini pun hendak berjalan keluar lorong. Saat itu lah Tita pun bisa melihat sosok gadis itu dengan jelas.
            ”F..Ff..Fllay,” gumamnya. Kedua matanya melebar. Alisnya bertaut. Buru-buru Tita menyembunyikan tubuhnya saat Fllay berjalan menuju ke arahnya. Setelah berhasil tidak ketahuan, Tita pun kembali mengintip Vic dari balik tembok. Wajahnya berubah pucat. Tita tak menyangka Fllay bisa membuat Vic tersenyum lebar.
            Keinginannya untuk menghampiri pria itu menjadi pasang surut. Kedua kakinya tiba-tiba gemetar seolah tulangnya rapuh hingga membuatnya tak mampu berdiri lagi. Ketika Tita memutuskan untuk pergi, tiba-tiba suara Vic terdengar dan sontak membuat tubuhnya terpaku seketika.
            ”Menguping tanpa ijin, lalu ketahuan,bukankah harus minta maaf?”
            Lama Tita tak berbalik. Mendengar Vic menegurnya adalah hal yang paling diinginkannya. Namun saat teringat kembali bagaimana pria ini tersenyum lepas di hadapan Fllay, membuat darahnya menjadi panas.
            Selangkah demi selangkah Tita mendengar tapakan sepatu Vic mendekat ke arahnya. Tak lama kemudian, bolpoin hitam yang dimainkannya sejak tadi mengetuk pundak Tita beberapa kali, namun tetap tak membuat gadis ini memutar tubuhnya.
            ”Tidak ada yang ingin kau bicarakan? Baik. Aku pergi,” ujar Vic dengan santainya.
            ”Tunggu!” kini giliran Tita memaku langkah Vic.
            Pria ini berbalik dengan santainya, namun wajahnya tak menunjukkan ekspresi ramah. Melihat hal itu, Tita tak mampu lagi menatap mata pria ini.
            ”Untuk apa aku minta maaf? Aku tidak mendengar apapun.”
            ”Lalu?”
            ”Kau..kau pria plin-plan yang menyebalkan. Waktu itu kau pernah bilang kalau permainan pianomu hanya kau sendiri yang mendengarnya. Lalu bagaimana bisa kau mencalonkan diri sebagai King? Apa karena Fllay? Kau ingin dia mendengar permainan pianomu? Oh..ya..mungkin memang karena itu. Kenapa tidak ikrarkan saja langsung pada semua anak-anak?”
            ”Kalau itu benar, lalu apa hak mu mencampuri urusanku? Diikrarkan atau tidak, itu terserah aku. Lagipula, semua orang bisa berubah pikiran kan? Kalau sudah berhadapan dengan orang yang disukai, segala sesuatu bisa berubah dengan cepat,” Vic maju perlahan-lahan hingga membuat Tita terus mundur sampai punggungnya menyentuh tembok. Tangan kirinya masuk di saku sedangkan tangan kanannya memegang tembok. Tita terkunci sempurna. Vic berhasil membuat jantung Tita bergemuruh.
            ”Kalau aku setuju karena kau?”
            Pertanyaan Vic membuat sekujur tubuh Tita menjadi panas. Kedua bola matanya tak bisa membalas tatapan Vic yang tetap dingin.
            *Dug
            Vic mengetuk kening Tita. Disandarkannya sejenak kepalanya itu di kening gadis ini. Lima detik berlalu dan akhirnya membuat Tita kehilangan kontrol diri. Dengan kuat ia mendorong tubuh Vic menjauh darinya, lalu berteriak keras sampai nafasnya tak beraturan.
            Hyaaaaiishh..kau..kau..haiys,” beberapa saat Tita menunjukkan ekspresi sebalnya, lalu dengan penuh emosi ia berjalan meninggalkan Vic.
            Setelah sosok Tita hilang dari pandangannya, Vic mulai menyunggingkan bibir merahnya. Terlihat ekspresi kepuasan tertumpah di wajahnya.
            ***
            Bermain dengan busa adalah salah satu hal yang sangat disukai anak kecil. Bagi Isela, bermain busa dengan umurnya yang berinjak dua puluh tahun, tidak membuatnya kehilangan semangat kekanak-kanakannya. Bak seorang putri, ia menuangkan sabun cair yang membuat air di bak mandinya menciptakan busa yang banyak. Sesekali ia duduk dengan pose berbeda di sekitar bak mandinya. Kamar mandi seluas ini membuatnya tak bisa berhenti tertawa lebar.
            O my God! O my God!” serunya berulang kali.
            Kedua kakinya terus berkeliling menyentuh setiap perabot yang terpajang di sana. Tak lupa ia pun berkaca sambil tersenyum tiada henti.
            Setelah puas berkeliling, Isela kembali masuk ke baknya. Ia tidur bersandar sambil menatap layar televisi kecil yang terpajang tak jauh dari tempatnya berbaring. Di samping kanannya tersedia gelas kristal berisi jus strawberry lengkap dengan potongan strawberry yang menempel di bibir gelas. Saking terhanyutnya, gadis ini pun tak menyadari kedatangan Len di kamarnya, kecuali bi Sany.
            ...
            ”Tuan muda pulang lebih awal, pasti karena khawatir dengan keadaan nona,” ujar bi Sany seraya memungut jas Len yang berpose di atas sofa.
            Sambil tersenyum ia melonggarkan dasinya. ”Dimana dia?’ tanya Len.
            ”Nona sedang mandi. Sudah hampir dua jam tidak keluar. Satu jam yang lalu bibi mengetuk pintu dan nona menyahut, tapi bibi belum sempat mengetuknya lagi,” jawab bi Iyam dengan sedikit kerutan tampak di keningnya.
            Mendengar hal itu Len pun bergegas menuju kamar mandi. Dengan wajah cemas ia mengetuk pintu itu beberapa kali. Karena tak ada jawaban, Len pun membuka daun pintu dengan mudah, lalu berjalan masuk. Kedua matanya berputar ke sekeliling, namun Isela tak tampak berdiri di cermin maupun bak mandinya.
            Tak lama kemudian, dari arah lemari shower, Isela keluar sambil membelit tubuhnya dengan handuk. Kedua mata pun saling bertemu beberapa saat kemudian. Ketika hendak berteriak, Isela lekas membungkam mulutnya. Len tak kalah gugup. Ia pun lekas berpaling saat melihat Isela baik-baik saja.
            ...
            ”Maaf, membuatmu khawatir. Apa aku mandi cukup lama?’
            Len mengangguk dengan wajah gugup. Kedua matanya tak menatap Isela yang saat itu duduk di ranjangnya dengan kedaan masih berbalut handuk.
            Isela tersenyum lebar. Dengan menggebu-gebu ia mulai bercerita.”Kamar mandinya besar sekali. Aku belum pernah mandi di tempat sebesar itu. Karena terlalu senang, aku jadi lupa waktu. Lagipula di dalamnya juga ada televisi jadi..”
            Len buru-buru memotong. ”Lain kali jangan mandi terlalu lama. Cepat pakai pakaianmu!” pinta Len seraya beranjak dari sofanya.
            Wajah Isela yang berbinar-binar perlahan memudar. Senyumnya terlihat terpaksa. Bibirnya sedikit bergetar dan kedua matanya berwarna merah dalam sekejap. Menyadari butir permata akan jatuh membasahi pipinya, gadis ini buru-buru menarik nafas dalam-dalam. Dielusnya sendiri dadanya dengan tangan kanannya. Dengan berat ia mulai bergumam, ”Tenang Isela, semua akan baik-baik saja.”
           
            Setengah jam berlalu. Setelah yakin Isela selesai berbenah, Len pun membuka pintu kamar. Saat itu ia melihat seorang gadis manis sedang tertidur pulas di atas ranjang.
Perlahan Len mulai masuk. Dengan sabar ia memperbaiki posisi tidur Isela yang berantakan. Gadis ini tak meronta. Hanya sesekali nampak keresahan tertuang di raut wajahnya.
            Dengan lembut Len menyentuh kepala gadis ini. Setelah keresahan itu perlahan memudar dari wajahnya, Len beranjak dari ranjang lalu duduk di sofa. Lampu kamar tak mengeluarkan cahaya. Dari sinar bulan lah Len melihat sempurna wajah Isela yang masih betah menutup kedua matanya.
            ”Yesa, aku masih sulit mengerti. Kebimbanganku, apa akan membuatnya terluka? Seandainya aku tidak melindunginya, apa dia akan baik-baik saja?”
            ***
           
            Senyum anak kecil itu membuat hatiku damai. Tangannya yang begitu mungil berusaha menggenggam sempurna telapak tanganku. Ia tak melonggarkannya sedetik pun dan aku pasrah dibawanya ke suatu tempat. Langkahnya terhenti di sebuah rawa. Di tepinya bersandar sebuah perahu tua yang sudah usang. Gadis itu merengek, memintaku untuk naik kesana. Tapi aku tidak bisa. Aku sangat takut naik kesana. Gadis itu menangis. Semakin lama semakin keras hingga membuatku ingin menangis juga. Kuelus rambutnya dan ia pun melakukan hal yang sama. Di tengah suara percikan air, dedaunan kering yang terbawa angin, serta kicauan puluhan burung yang bertengger di dahan pohon, anak kecil itu berbisik, ”Aku kesepian disini. Sangat kesepian.”
            Kulepas pelukanku untuk menatap lekat wajah gadis kecil itu. ”Kenapa bisa kesepian? Kan ada kakak disini? Kakak akan menemani adik bermain. Mau kan?”
            Gadis itu menggeleng. Kedua pipinya mengembung. Matanya berkelip-kelip berlinangkan permata yang tak turun membasahi pipi. ”Kau sudah melupakanku. Kau jahat! Kau jahat!”
            Aku terkejut. Rasanya air mata ingin sekali tumpah begitu deras saat gadis itu mengucapkan kata-kata ”jahat”. Lupa? Apa yang harus aku ingat? Kedua tangan mungilnya yang lama menggenggamku kuat perlahan merenggang. Ketika aku hendak menahannya pergi, sebuah cahaya berkelip di dada gadis itu. Perlahan kusibak rambut hitamnya yang lurus dan lembut. Saat itulah jantungku seperti berhenti berdetak.
            ”Grisela? Itu aku kan?”
            Gadis itu tak menjawab. Ia semakin menggembungkan kedua pipinya. Setelah itu ia pergi jauh hingga sosoknya menghilang tertelan cahaya.

            ”Isela! Isela!” Len menepuk pipi gadis ini berulang kali. Tak lama kemudian Isela bangun dari tidurnya, nafasnya terengah-engah. Keringat dingin mengucur deras di keningnya. Segelas air putih diteguknya habis begitu Len menyodorkan tepat di depannya.
            ”Kau mimpi buruk?” tanya Len sambil menyeka keringat di kening Isela.
            Lama gadis ini tak menjawab. Kedua matanya nampak berputar tak tentu arah. Setelah Len menghidupkan lampu duduk di atas puff, Isela langsung menatap lekat pria yang ada di hadapannya sekarang. Kedua tangannya terus meremas kemeja Len. Bibirnya terlihat begitu sulit terbuka. Isela tak tahu apa yang harus dikatakannya. Sesekali ia memegang kepalanya yang terasa amat berat.
            ”Isela katakan sesuatu? Kalau tidak bisa, coba berbaring!” pinta Len. Perlahan ia membantu Isela kembali tidur di posisi semula.
            ”Aku bertemu Isela. Aku bertemu dengannya tadi. Dia mengajakku bermain tapi aku tidak mau. Dia bilang sangat kesepian. Dia ingin aku menemaninya. Len, bawa aku kesana!”
            “Isela, bicaramu ngelantur. “
            “Aku takut dia akan membawaku. Tidak..tidak..dia membenciku..gadis itu..dia”Isela berhenti berucap saat Len tiba-tiba mengecup keningnya cukup lama. Setelah genggaman tangan gadis ini melonggar, Len baru melepasnya. Kedua matanya yang bulat dan lentik perlahan terpejam. Len menyeka air mata gadis ini yang turun membasahi pipi tanpa isakan. Ketika hendak beranjak dari posisi duduknya, Isela menggenggam kuat tangan Len.

            ”Kak, kalau aku bukan Isela..,” gadis ini bergumam samar-samar. Len yang tak mampu mendengar dengan jelas segera mendekati Isela kembali.
            Gadis ini kembali bicara sambil menangis sesenggukan.”Kalau aku bukan Isela, kalau aku bukan adik kak Lini, kak Gaby, dan bukan kakak Tita, apa aku akan kehilangan kalian?”
            Len terpaku. Ia tak mampu menjawab. Pikirannya kalut saat ia merasa Isela sadar dengan apa yang dikatakannya.
            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar