Minggu, 14 Agustus 2011

3 GP episode 10


Bab 10

“Love is selfish to have a heart.”

            Saat sinar matahari masuk lewat jendela dan memberi kehangatan di dalam ruangan, kedua mata begitu terpaksa untuk terbuka. Sambil merenggangkan seluruh tubuhnya, Isela mulai terbangun. Saat kesadarannya penuh, di depannya sudah tersedia roti bakar dan susu coklat lengkap dengan bunga anggrek berwarna putih. Bibirnya tertarik sempurna. Kedua mata lentiknya berbinar-binar, apalagi saat melihat Len duduk di hadapannya.
            ”Makanlah!” kata Len sambil tersenyum.
            ”Sebenarnya, kau tidak perlu repot begini. Aku malu. Harusnya aku kan yang menyiapkan sarapan!” ujar Isela.
            Wajah malu yang terlihat natural itu membuat Len semakin melebarkan tawanya.
Tak lama kemudian, tawanya mereda melihat Isela dengan lahapnya memakan roti dan meneguk susu coklat itu.
            ”Kenapa, ada yang aneh di wajahku?” tanya Isela dengan pipi kanan menggembung.
            ”Tidak. Bagaimana jalan-jalanmu kemarin?”
            ”Ah itu. Aku pergi dengan kak Gaby. Tita belum bisa dihubungi. Mungkin tugasnya belum selesai, jadi belum bisa bebas.”
            Len mengangguk beberapa kali lalu menatap Isela kembali.
            ”Ada hal lain?”
            Sambil tersenyum ia berkata, ”Nanti malam aku akan mengajakmu ke pesta pembukaan hotel. Berdandanlah yang cantik.”
            Isela tersedak. Buru-buru ia meneguk habis susu coklatnya. ”Kenapa mendadak?” tanyanya lagi.
            ”Maaf, urusan bisnis memang agak sulit dijelaskan. Tapi kalau kau tidak hadir, semua orang akan bertanya ”Dimana istrimu Len? Kenapa dia tidak ikut”. Lalu aku harus jawab apa?”
            Isela terdiam sejenak. Ekspresi pucat kembali berjaya. Ia merasa belum siap hadir di hadapan semua orang penting yang ada di kehidupan Len. ”Apa aku bisa berada di antara mereka? Kakak, aku harus bagaimana?” gumam Isela dalam hati.
            ***
            ”Pesta?” tanya Gaby dengan suara meninggi.
            ”Ya. Malam ini. Jangan khawatir, Isela pasti datang bersama Len,” ujar Eriol seraya melepas bajunya.
            ”Kalau begitu, aku harus mengajak Isela pergi ke salon. Dia kan tidak bisa berdandan. Dia juga pasti kebingungan. Baru yang kedua kali ini dia menghadiri pesta penting,” gumam Gaby seraya bersiap-siap keluar dari kamar.
            Menyadari sesuatu yang penting hampir luput dari pandangannya, Eriol pun berteriak sangat keras.
            ”Hei Galabria, berhenti! Kalau kau sampai keluar dari pintu itu, malam ini kau takkan selamat!” ancam Eriol tiba-tiba.
            Mulut Gaby terbuka lebar. Ia tak menyangka Eriol akan mengancamnya seperti itu. ”Kenapa kau terus berteriak. Lama-lama gendang telingaku bisa pecah! Lalu apa maksudmu dengan kata-kata malam ini kau tak selamat?” teriak Gaby tak kalah keras.
            ”Kalau begitu masuk ke sana dan mandilah!” perintah Eriol seraya menunjuk pasti sebuah pintu kamar mandi.
            ”Kita sudah sepakat tidak mencampuri urusan masing-masing dalam waktu dekat ini kan?” Gaby berusaha melakukan pembelaan.
            ”Tapi untuk yang satu ini, aku tidak bisa mentoleransinya. Aku sudah tahu semua dari Bi Iyam. Kalau kau tidak bisa menghilangkan hobby burukmu itu, aku benar-benar tidak akan menjamin keselamatanmu!”
            ”Hah? Memangnya kau mau apa?” tantang Gaby dengan dagu sedikit terangkat.
            Gadis ini tak menghiraukan komando Eriol. Ia pun meraih daun pintu dan membukanya. Melihat hal itu, dengan cepat Eriol menghampiri Gaby. Tanpa susah payah ia menggendong tubuh Gaby di atas pundaknya lalu keduanya masuk di kamar mandi. Pintu tertutup keras diakhiri dengan suara kunci yang menutup rapat pintu.
            ***
            Lampu gantung kristal dengan ukuran besar berjajar indah bersama dekorasi langit-langit hingga suasana megah pun tercipta di ruangan itu. Semua tamu yang hadir memakai jas rapi juga gaun yang panjangnya bisa menyapu lantai. Di tengah-tengah mereka yang sedang berbincang anggun, Isela datang bersama Eriol. Saat pengantin baru ini mulai memasuki pintu, semua reporter yang membawa kamera menyerang keduanya.
            ”Haduh, bisa-bisa aku pingsan karena beribu cahaya kamera itu menyerang mataku,” gumam Gaby sambil menarik paksa kedua ujung bibirnya.
            ”Bertahanlah, mereka tidak akan membuntuti kita terus,” bisik Eriol.
           
            Sesampainya di area tengah, Eriol bersama Gaby sudah disambut hangat oleh seorang sutradara film terkenal didampingi istrinya yang terlihat anggun dan cantik. Keduanya saling bersalaman lalu asyik memperbincangkan tentang kontrak kerja. Saat itu kedua bola mata Gaby berputar ke sekelilingnya untuk mencari Isela. Tak lama membidik, ia pun menemukan sosok adiknya itu bersama dengan Len. Mereka terlihat sedang berbincang dengan seorang pengusaha asing.
            ”Eriol, ayo kita ke tempat Isela,” bisik Gaby.
            Setelah berpamitan dengan lawan bicaranya, Gaby menarik tangan Eriol. Keduanya berjalan menuju ke tempat Len dan Isela berdiri. Setelah berada dekat dengan adiknya itu, dengan tenaga kuda ia menepuk pundak Gaby.
            ”Hei Isela, ayo kita berburu makanan!” ajak Gaby dengan wajah gembira yang meledak-ledak.
            Isela mengangguk, lalu dengan wajah memohon ala anak kecil, ia berpamitan pada Len, berharap agar suaminya yang muda dan tampan itu mengangguk. Sambil menghela nafas Len pun menyanggupi. Setelah mendapat ijin, keduanya pun mulai berburu makanan.
            ”Kak, disana ada lobster besar. Rasanya aku ingin memakannya seorang diri saja,” ujar Isela dengan wajah berkhayal sambil menggigit garpunya.
            ”Di sana ada kalkun yang tak kalah besar. Ayo kita kesana dulu!” ajak Gaby seraya menggeret kuat lengan Isela.
           
            ”Meski wajah mereka tidak mirip, tapi tingkah laku mereka ternyata tidak jauh beda ya?” Eriol mengutarakan pendapatnya saat melihat kedua gadis yang terlihat paling mencolok di antara tamu yang lain.
            Len mengangguk. ”Sebenarnya aku sedikit cemas karena ini pasti yang pertama kali untuk Isela. Untung saja ada Gaby. Aku khawatir dia tidak bisa leluasa dengan kehidupanku,” ujar Len sambil mengoyak pelan air angur di dalam gelas kristalnya.
            Sekarang giliran Eriol mengangguk. ”Aku pun sama. Duniaku dan Gaby sangat lah berbeda. Aku harap dia juga bisa beradaptasi dengan semua konsekuensi seorang publik figur.”
            Keduanya saling pandang lalu melempar senyum. Untuk para pria yang cool seperti mereka, itulah isyarat kalimat ”Kita senasib, oleh karena itu kita berjuang bersama”, yang tak terlontar di mulut masing-masing.
            ”Ngomong-ngomong, aku baru sadar kalau rambut Isela lurus. Dia jadi kelihatan lebih anggun. Wajah jenakanya jadi sedikit berkurang,” ujar Eriol kembali.
            Len hanya mengangguk tanda setuju dengan pendapat Eriol sementara pria ini pun diam-diam bisa melihat perasaan Len saat itu.
            ”Aku dengar dari Gaby, semenjak mereka terpisah, Isela bisa dibilang tidak beruntung dibanding kakak dan juga adiknya. Melihatmu, aku jadi merasa termotivasi.”
            Len menoleh. Ia menatap Eriol seolah masih tak memahami kalimat yang didengarnya tadi.
            ”Aku melihatmu sejak tadi. Tatapanmu pada Isela sangat menginspirasiku untuk berusaha membahagiakan Gaby, meskipun gadis bodoh itu tidak pernah tahu maksudku yang sebenarnya.”
            Len kembali tersenyum. Ia menepuk pundak Eriol dan pria ini pun membalasnya.

            Sementara dari kejauhan, Gaby melihat suaminya itu terlihat begitu akrab dengan Len. Rasa penasaran dan keheranan pun memuncak. Dengan sedikit kasar ia menyengol lengan Isela.
            ”Bagaimana reaksi Len setelah melihat model rambut barumu? Dia berkomentar apa?”
            Sambil mengunyah makanannya Isela menjawab, ”Dia hanya memelototiku. Lalu aku tersenyum saja.” gadis yang masa bodoh ini merasa tidak terbebani meski topik perbincangan mereka bisa dibilang serius. Dia tetap begitu lahap memakan lobster itu di kedua tangannya.
            ”Hah? Apa dia tidak curiga tiba-tiba kau meluruskan rambutmu? Apa dia tidak menanyakan alasannya?”
            ”Len itu agak pendiam. Terkadang aku merasa dia sangat berhati-hati saat bicara atau memperlakukanku. Tapi, aku tidak peduli. Apapun yang dia pikirkan, aku harus berusaha sedikitnya seperti Yesa. Aku yakin suatu saat dia akan benar-benar menyukaiku,” ujar Isela kini dengan tawa yang menakutkan.
            ”Kau ini gadis yang aneh. Bagaimana mungkin kau mau menjadi orang lain hanya untuk merebut hati suamimu. Kalau di dalam cerita cinta, hal itu jelas salah. Kau harus jadi dirimu sendiri.”
            “Hm, benarkah? Entahlah, aku bingung. Kak, lobster dan cumi asam manisnya benar-benar enak. Aku mau tambah lagi! Tunggu di sini ya!” Isela beranjak dari kursinya sambil membawa kembali piringnya. Gaby mengendus pelan. Meski ia bicara serius, Isela tak pernah menunjukkan ekspresi bingung, tertekan, atau rasa sedihnya di hadapan Gaby. Gadis berambut coklat ini pun kembali khawatir.
            ***

Hari semakin larut namun suasana semakin ramai. Kombinasi biola, piano, terompet dan alat musik lain yang mengalunkan nada romantis, membuat sebagian para tamu mulai berdansa dengan pasangan masing-masing.
            Setelah perbincangan khusus dengan para tamu asing selesai, Len buru-buru mencari Isela. Di tengah perjalanan ia bertemu Gaby yang sedang sibuk menemani Eriol yang sedang berbincang dengan para produser film dan para staf nya.
            Saat itu, tanpa sengaja Gaby melihat wajah Len tampak cemas. Sesekali ia berjalan cepat sambil berputar melihat sekeliling. Setelah berpamitan dengan Eriol, Gaby lekas menghampiri Len. Setelah berhasil mendekati pria ini, Gaby pun lekas menepuk pundak adik iparnya itu.
            ”Isela hilang?” tanyanya.
            Len mengangguk dengan sedikit terengah-engah. ”Sudah kucari ke seluruh sudut, tapi hasilnya nihil.”
            ”Terakhir aku bersamanya, Isela pamit pergi area billyard. Ruangannya di ujung sana. Mungkin dia masih di sana,” ujar Gaby.
            “Trims!” ujar Len. Ia bergegas pergi ke tempat yang dikatakan Gaby. Setelah sampai, kedatangannya disambut hangat oleh kepulan asap rokok. Para pengusaha dan orang penting banyak bertengger di sini dan begitu enjoynya mereka bermain bersama beberapa para gadis penjaga billyard.
            Setelah lama berkelling dengan perasaan gundah, Len pun menemukan sosok Isela di tengah para lelaki berumur itu. Mereka terlihat begitu asyik bercanda. Di sana Isela sedang berpose unik saat bersiap menyodok bola berwarna merah dengan nomor dua. Setelah bola sasarannya masuk, para lelaki itu bersorak gembira. Mereka mengeluarkan cek di saku mereka lalu dibantingnya di tengah meja billyard. Sementara itu Isela begitu bahagia memungut puluhan cek itu sambil tertawa bersama mereka.
            Len terperangah. Ia tak percaya kalau istrinya yang polos itu sedang berada di antara orang-orang penting yang suka berjudi dan bersenang-senang seperti mereka. Karena tak tahan melihatnya, dengan penuh emosi Len keluar dari tempat itu.
           
            Isela tak sengaja melihat jam tangannya. Kedua matanya terbuka lebar saat melihat jarum jam menunjuk angka sebelas tepat.
            ”Maaf, aku harus segera pulang. Suamiku pasti sedang sibuk mencariku. Ini, aku kembalikan cek-cek kalian,” ujar Isela seraya meletakkan cek itu kembali ke meja.
            ”Kenapa tidak diterima? Permainan ini nona manis yang memenangkannya, jadi nona ber hak atas cek kami,” ujar salah satu pria.
            Isela menggeleng dengan ekspresi gugup. Kedua alisnya berusaha menyatu saat para lelaki itu terus mengerumuninya. Tak ada celah untuk keluar, Isela pun kehabisan akal. Ketika ia hendak berteriak keras, pelan-pelan suara ribut para lelaki meredam. Kedua matanya yang tertutup paksa beberapa saat, perlahan-lahan terbuka. Saat itu ia melihat sosok Len sedang berdiri di depan sambil menatapnya dingin.
            ”Ayo!” Len langsung merengkuh lengan Isela lalu berjalan cepat melewati orang-orang yang ada di sana.
            ***
           
            Lini mempercepat langkahnya menuju tempat parkir. Hari ini Lini terlalu semangat bekerja sampai-sampai ia lupa waktu. Setelah sampai tepat di depan mobilnya, ponselnya berdering. Telpon itu dari Ray suaminya.
            ”Iya, maaf Ray. Aku segera pulang!” katanya seraya masuk ke mobil.
            ”Baiklah, hati-hati di jalan!” ujar Ray di seberang.

            Beberapa saat kemudian, sebuah mobil yang dikenalnya datang lalu berhenti tepat di depannya. Lampu sorot mobil yang saling beradu membuat Lini tak bisa melihat jelas sosok wanita yang baru saja keluar dari mobil itu.
            Karena penasaran, Lini pun keluar dari mobilnya. Ia cukup terkejut saat sosok yang ada di hadapannya sekarang adalah Lorna-saudara angkat sekaligus rivalnya.
           
            “Ada perlu apa kau kemari? Ingin mengancamku lagi?” tanya Lini.
            ”Ya, tentu saja. Memangnya hal penting apalagi yang harus kubahas denganmu selain ini?”
            ”Cepat katakan apa maumu?”
            ”Aku masih menunggu kesediaanmu menandatangani berkas yang aku kirim kemarin.”
            ”Kalau aku tidak mau?”
            ”Aku bisa melakukan apapun pada ketiga adikmu Lini. Meski sekarang kau sudah memberikan mereka suami dan bodyguard, kalau aku mau, aku bisa melenyapkan mereka satu-persatu. Tapi tenang saja, aku bukan seorang kriminal. Aku lebih suka menghancurkan hati mereka ketimbang fisik mereka. Jangan kira aku tidak tahu pernikahan seperti apa yang kedua adikmu itu jalani. Eriol dan Len, mereka masih sangat lemah untuk bisa mempertahankan kedua adikmu. Mereka masih sangat muda, tampan, dengan perasaan yang masih labil. Seharusnya kau mencari pria yang usianya berkisar 28-45 tahun.” Lorna tertawa terbahak-bahak.
            Wanita ambisius ini berhasil membuat Lini terbakar emosi. Namun sampai detik ini wanita anggun ini masih bisa mengontrol perasaannya. Dengan tegas ia menolak menandatangani berkas yang diminta Lorna. Bagaimanapun bentuk ancaman Lorna, bahkan sesering apapaun Lorna membujuknya, Lini tetap tak akan menyerahkan aset berharga milik ayah angkatnya itu pada saudara angkatnya yang ambisius.

            Dengan angkuhnya Lorna kembali mengancam. Lini akan menyesal. Selama dia masih hidup, Lini bersama ketiga adiknya tidak akan pernah bisa hidup bahagia, sehebat apapun pria yang mendampingi ketiganya, mereka tidak akan bisa menjatuhkan Lorna. Pernikahan Gaby dan Isela tidak akan bertahan lama. Satu hal lagi yang diperingatkan Lorna pada Lini. ”Kau salah mempercayai seseorang. Aku akan memberi kejutan besar padamu usai ketiga adikmu itu pulang berlibur.”
            Kalimat terakhir Lorna cukup membuat Lini berfikir keras. Ia tak menyangka ancaman Lorna kali ini membuat bulu kudunya berdiri. Lini sangat ketakutan, tak seperti dirinya yang biasanya tetap kuat dan melawan Lorna apapun ancaman wanita ambisius itu.
            ”Isela, Gaby, Tita, semoga kalian baik-baik saja!” gumamnya dalam hati.
           
            ***
           
            Sesampainya di kamar hotel, Len berjalan masuk menuju kamar mandi. Isela yang merasa bingung menghadapi sikap Len, berusaha mengetuk pintu pelan-pelan.
            ”Len, kau sakit?”
            Len tak menjawab. Ia membasuh wajahnya dengan air sampai perasaannya kembali tenang. Tak menunggu lama, lima menit kemudian Len keluar. Isela yang duduk termenung di atas ranjangnya langsung berdiri saat Len mendekatinya.
...
”Maaf, aku tidak memberitahumu kalau aku pergi kesana. Di sana aku sendirian. Tidak ada satu orang pun yang kukenal selain kak Gaby dan Eriol. Setelah kau pergi, kak Gaby sibuk menemani Eriol. Lalu kebetulan ada seorang pria yang mengajakku ke area billyard, jadi aku...” belum sempat Isela selesai bicara, Len langsung memotongnya.
            ”Kalau Yesa, dia tidak mungkin melakukan hal memalukan seperti yang kau lakukan tadi. Kau begitu mudah tertawa bersama mereka, lalu memainkan taruhan dan memungut cek-cek yang mereka berikan dengan wajah gembira yang membuatku ingin... Kau seperti..”
            ”Seperti apa? Seperti gadis penjaga billyard yang menggoda kaum pria lalu menguras uang mereka sampai habis? Kalau aku memang gadis seperti itu lantas kau mau menceraikanku dan menikahi Yesa?” Nafasnya mulai terengah-engah. Dadanya terasa ngilu. Air matanya ingin tumpah begitu deras saat Len tiba-tiba menyebut nama Yesa dan membandingkannya dengan wanita anggun dan keibuan itu.
            Len terbawa emosi. Ia mengangguk dengan wajah kesal. ”Ya!” jawabnya beberapa saat kemudian.
            ”Isela menarik nafas dengan susah payah. Kedua pundaknya terangkat ke atas seolah begitu getolnya ia menahan air matanya agar tidak menetes.
            ”Wajah gembiraku, ada apa dengan wajah gembiraku? Lalu membuatmu ingin apa?”
            Tatapan Len yang penuh emosi membuat Isela tak tahan melihatnya. Sesekali ia tertunduk karena tak mampu membendung air matanya.
            ”Tunjukkan sifatmu yang sebenarnya!” nadanya terdengar rendah tapi begitu menusuk.
            Isela terpukul. Kedua matanya melebar sampai air mata jatuh begitu cepat dan deras. Tubuhnya gemetaran. Nafasnya begitu alot. Ia tak menyangka Len mengatakan hal itu. Ia merasa benar-benar buruk di mata suaminya.
            Sambil mengusap air matanya, perlahan Isela menaikkan dagunya. Dengan suara sedikit gemetar ia menjawab, ”Ini sifat asliku.”
            Kedua tangannya menyentuh bahu Len lalu menjalar ke leher pria ini. Isela semakin mendekatkan wajahnya. Kedua matanya terus berair, sementara Len terus mematung. Dengan lembut ia mengecup bibir Len. Air matanya menetes seiring dengan kedua matanya yang terpejam. Kedua tangannya sesekali membelai pipi dan rambut Len. Di saat seperti ini, perlahan-lahan emosi Len mereda. Isi kepalanya tak lagi mengingat kejadian yang membuatnya marah besar pada Isela. Perlahan-lahan kedua tangannya memegang punggung gadis ini. Tak lama kemudian ia melepas bibirnya.
            Perlahan Isela mundur sambil menunduk. Ia terduduk lemas di atas ranjang. Air matanya dibiarkan mengalir. Sementara Len melangkah menuju pintu, lalu keluar dari kamar itu.
            Mendengar suara pintu tertutup pelan, Isela langsung memuntahkan kekesalannya. Ia menangis keras diiringi sesenggukan. Tangan kanannya meremas baju di dadanya. Dalam benaknya, ia terus berkata, ”Bagaimana mungkin dia menganggapku serendah itu? Aku sudah mulai berubah, tapi kenapa yang dilihatnya tetap Yesa?”

***

            Pergi seorang diri, membawa tubuh tanpa jiwa, membawa sedih tanpa luka. Isela pergi mendatangi semua tempat indah di Bali yang semula ingin didatanginya bersama Len. Tanpa isakan, sesekali butir air mata itu turun membasahi pipinya. Dadanya terasa begitu sesak sampai tak terasa sakitnya. Ia duduk menatap hampa deburan ombak . Telapak kakinya menyentuh ribuan butir pasir itu, berharap agar kaki ini tak terus mati rasa.
            ”Isela, ini perjalanan pertamamu ke Bali secara gratis. Harusnya kau menikmati semua ini. Seumur-umur kau tak pernah makan lobster sebesar ini kan? Nikmatilah! Jangan menangis lagi! Semua akan baik-baik saja. Isela, ayo bersemangat!” ujarnya sambil memotong kembali lobsternya lalu memakannya dengan lahap sambil menangis.

***
            Berputar seratus delapan puluh derajat, nasib Gaby tak seburuk Isela. Meski disibukkan oleh jadwal pemotretan dan wawancara bersama partnernya Lorna, Eriol tetap membawa Gaby ikut serta. Lokasi mereka berada di  Lembongan, sebuah  pulau lepas pantai Bali berpasir putih. Laut disekitarnya amat jernih dengan berbagai jenis ikan berwarna-warni, tak luput karang lautnya yang indah dan beraneka warna.
Di sana, tak jarang gadis mungil nan cantik ini menjadi bahan godaan para kru karena selalu setia menemani Eriol sampai kegiatan tersebut selesai. Bahkan mereka memberi ijin Eriol untuk pulang lebih awal karena tak tega melihat Gaby menunggu lama. Karena mendapat dukungan dari para kru, Hyena yang berencana membuat Eriol terus lengket dengannya terpaksa harus melucuti senjatanya.
           
            ”Aku tak menyangka ternyata istriku sangat sabar. Di usiamu yang beranjak 23 tahun itu, ternyata kau cukup pengertian juga ya?” goda Eriol sambil berjalan santai di tepi pantai.
            Gaby terus menatap pria bertubuh tinggi itu Pasalnya ia masih belum bisa mencerna maksud perkataan suaminya itu. Karena Eriol terus tersenyum penuh arti, Gaby pun tak mampu lagi membendung rasa bingungnya.
            ”Apa yang salah denganku?” tanyanya seraya berhenti berjalan.
            Eriol terdiam. Ia pun berbalik sambil menatap Gaby dengan manisnya. ”Tidak, bukan apa-apa. Sebenarnya aku mendengar pendapat itu dari beberapa teman kru tadi. Mereka bilang kau cukup pengertian dan perhatian. Buktinya kau setia dan sabar menunggu dan tidak cerewet, juga tidak pencemburu meskipun tadi aku berfoto cukup mesra dengan Hyena.”
            ”Oh itu. Aku memang gadis pengertian dan perhatian. Kau baru tahu? Tapi aku memang gadis pencemburu, cuma karena aku tidak punya perasaan apa-apa padamu, makanya aku tidak cemburu melihat kalian berdua tadi. Maaf membuatmu salah paham,” jawab Gaby sambil mengangguk. Wajahnya tampak innocent. Senyum manis dan wajah tenang sengaja diperlihatkannya pada Eriol dengan maksud agar pria ini malu.
            Perlakuan Gaby rupanya begitu mudah memancing emosi Eriol. Dengan nafas alot ia pun berteriak, ”Apa kau bilang? Kau gadis pencemburu? Seumur hidup kau tidak pernah pacaran. Bagaimana mungkin kau tahu artinya cemburu? Kau juga banyak membuat novel roman, tapi tidak pernah mendapat sambutan manis dari penerbit. Itu karena kau memang tidak pernah merasakan seperti apa jatuh cinta itu?”
            Gaby yang tadinya berhasil menyusul langkah Eriol, sejenak mematikan langkahnya. Dengan penuh emosi ia berbalik. ”Lalu kau! Apa kau tahu soal itu? Kalau kau memang tahu, tunjukkan padaku! Yang kulihat darimu adalah pria yang suka berteriak, memerintah, dan seenaknya sendiri. Kau selalu menindasku, tak pernah puas dengan tindakanku, selalu mengataiku ayam. Terkadang sangat manis, terkadang sangat kasar. Aku benci dengan sifat moody mu itu. Aku jadi tidak tahu mana dirimu yang sebenarnya. Kita menikah tanpa pacaran, lalu sekarang kau terus memberiku tekanan. Bagaimana mungkin aku bisa menjalani pernikahan ini?” semakin mendekati akhir kalimat, nadanya semakin merendah. Gaby menunduk. Sesekali ia menampakkan wajah putus asanya.
            Eriol yang semula tersulut emosi begitu mudah, sekarang berwajah bingung sambil berpikir apa yang harus dikatakannya. Setelah berhasil mendapat jawaban, ia menatap Gaby dari kejauhan. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati gadis itu. Setelah tepat berada di depannya, Eriol menunduk. Ia tak dapat melihat wajah Gaby karena gadis ini masih betah menunduk. Setelah menghela nafas panjang, ia menghadap pantai. Sinar matahari yang terpancar begitu hangat perlahan memudar seiring dengan warna kemerahan langit, berpadu dengan kungingnya cahaya, dan warna biru gelap tanda bulan akan berjaya.
            ”Sejak mengenalmu, aku baru sadar kalau aku memiliki sifat lain yang tak pernah kuketahui. Bersamamu aku menjadi sosok yang begitu asing bagi diriku sendiri. Aku sering mengeluarkan kata-kata yang tak sesuai dengan hatiku. Setelah keluar, aku ingin sekali menariknya kembali. Aku ingin memukul kepalaku keras-keras. Bagaimana mungkin aku bisa begitu benci pada diriku sendiri. Aku mengajakmu ke tempat syuting sebenarnya itu sangat berat. Aku takut kau tidak akan betah menungguku. Bahkan saat aku mulai bekerja, mataku ingin terus melihatmu. Aku ingin melihat apa yang kau lakukan. Apa kau baik-baik saja? Apa kau bosan? Aku jadi sangat khawatir. Gaby, apa ini rasa yang kau tanyakan?” Eriol memendam perasaannya. Ia tak melontarkan sepatah kata pun selain menatap Gaby dengan wajah serius.
            Seperti biasa, Gaby kalah untuk hal adu tatap. Ia lekas menunduk setelah beberapa saat menengadah.
            Hawa yang begitu hangat perlahan memudar. Semilir angin yang dibawa ombak sekarang terasa menusuk kulit. Di tengah matahari yang hendak terbenam, Eriol membungkuk di depan Gaby.
            ”Naiklah!” katanya tanpa basa-basi.
            Gaby terperangah. Emosinya masih terselip meski perlahan mulai memudar.
            ”Untuk apa? Kakiku masih bisa berjalan,” jawab Gaby seraya melangkah melewati Eriol.
            Bagaikan sebuah lagu romantis mengalun untuk beberapa menit yang telah berlalu tadi. Namun setelah mendengar jawaban dari Gaby, lagu itu langsung lenyap. Eriol tertegun. Ia tak menyangka permintaan maafnya dibalas dengan sangat buruk oleh Gaby. Emosinya pun cepat terpancing kembali.
            ”Galabria!” teriak pria ini.
            Tubuh Gaby tersentak begitu mendengarnya. Bahkan air matanya hampir saja menetes karena ketakutan. Jantungnya berdegup kencang saat Eriol berjalan ke arahnya. Gadis berkuncir kuda ini terus menunduk.
            ”Aku..aku bisa jalan sendiri. Kenapa kau memaksaku!” nadanya semakin meninggi di akhir kalimat. Pundaknya naik turun. Bibirnya gemetar saat mengucapkan kalimat itu.
            Eriol sadar ia baru saja melakukan kesalahan lagi. Kedua tangannya meremas rambut coklatnya. Mulutnya mengeluarkan nafas kekesalan. Setelah melonggarkan dadanya, Eriol mendekati wajah Gaby.
            ”Jangan salah paham. Aku mau menggendongmu karena ingin olahraga. Anggap saja sebagai ganti angkat burble.”
            ”Jadi kau anggap aku burble mu? Kenapa tidak bilang dari tadi. Kalau begitu aku mau naik, gratis kan?” jawab Gaby dengan wajah polosnya.
            ”Kau..”
            ”Apa lagi? Cepat membungkuk! Tubuhmu terlalu tinggi. Aku tidak bisa naik.”
            Dengan wajah kesal, Eriol menurut. Akhirnya ia pun bisa menggendong istrinya meski untuk alasan yang berbeda dari alasan awal. Bibir merahnya tertarik sempurna, melengkung bak irisan semangka. Sayang ekspresi itu tak dilihat Gaby. Gadis ini begitu nyaman merangkul punggung suaminya. Sesekali ia pun tersenyum sambil memejamkan mata. Rasa penasaran tentang siapa Eriol yang sebenarnya perlahan pudar.
            ”Aku tidak suka caramu berteriak, tapi anehnya aku tidak membencimu. Aku tidak suka caramu berlaku sangat romantis, tapi anehnya aku tetap menyambutnya. Eriol, apa ini rasa yang kau tanyakan?”
            ***
           
            Malam ini Tita tak tidur lebih awal. Biasanya mahkluk yang pintar melukis ini menjadi jawara tukang tidur tercepat. Mahi yang merasa ada keanehan menancap di tubuh Tita, perlahan-lahan menggeliyat lalu tidur di samping Tita lengkap dengan selimut yang membelit tubuhnya.
            ”Hei, ada apa denganmu? Semenjak Vic menggendongmu, kau seperti mahkluk yang hilang kesadaran. Bukankah kalian sedang backstreet? Kau seperti baru saja jatuh cinta padanya. Tapi, seharian di *Ubud, Vic, Nick, dan Oncu selalu bersama kita. Aku pun turut melihat Vic tersenyum saat kau mengajaknya tertawa. Kau hebat Tita. Ayolah, ceritakan bagaimana kau bisa membuatnya berekspresi semanis itu? Kau sadar kan telah membuat teman-teman gadis kita menjerit saat Vic bercanda denganmu begitu lepas? ”oceh Mahi.


            *Ubud = merupakan pusat seni di Bali. Ubud merupakan kawasan pedesaan yang masih sangat asri. Ubud sudah sangat dikenal di kalangan seniman yang ingin mencari inspirasi untuk hasil karyanya baik berupa lukisan dan patung.

            Tita masih membelakangi Mahira. Ia tak tidur, tak menjawab pertanyaan Mahi. Tita bingung perasaan apa yang melandanya. Tak lama kemudian ponsel tanda sms berdering. Tita lekas membuka ponselnya. Setelah membacanya, Tita terkejut setengah mati. Ia hampir saja tertawa kegirangan. Perlahan tubuhnya berbalik. Tita pun menghela nafas saat melihat Mahi tertidur pulas.
            Dibukanya kembali ponselnya. Kedua matanya masih lekat membaca sms dari Vic. ”Tidak bertemu tidak apa-apa. Tidak bertemu tidak apa-apa, tidak bertemu....tidak bisa..Aku harus bertemu,”ujarnya dalam hati. Setelah memantabkan keputusan, perlahan Tita turun dari ranjang.
            Kakinya yang mungil mengendap-endap keluar. Di sekelilingnya hampir tak ada sinar lampu yang menerangi. Aula tengah ini sengaja tak diberi cahaya karena material kaca membentang sebagai pembantul cahaya bulan. Setelah menemukan balkon tersebut, Tita menghampiri Vic yang sedang berdiri disana.
            ”Hei, aku datang!” sapa Tita sambil menepuk kasar pundak Vic.
            Pria ini tak terkejut. Ia menoleh dengan wajah tenang, menatap Tita tanpa ekspresi, lalu kembali melihat pemandangan yang terhampar di depan mata. Ombak berderu tenang. Lampu-lampu kecil saling berlomba memancarkan sinar.
            ”Waaah, ini tempat yang mau kau tunjukkan padaku? Indah sekali,” ujar Tita seraya melihat ke arah bawah lalu menatap jauh ke arah laut.
            Lama Vic tak bersua. Hal ini pun sudah diduga oleh Tita. Gadis ini menghela nafas panjang untuk meredakan perasaan groginya. Kedua tangannya mulai bersandar pada relling.
            ”Terima kasih sudah menemaniku sepanjang hari tadi. Teman-teman sangat senang melihatmu tersenyum dan ikut bermain bersama. Saat kau tersenyum, semua gadis menjerit histeris. Huh, kenapa sampai menjerit seperti itu? Padahal tersenyum kan hal yang wajar?” Wajah Tita menunjukkan rasa sebal. Gadis ini masih tak sadar kalau Vic terus memandanginya.
            ”Ohya, sebentar lagi ada pemilihan King and Queen di sekolah. Saranku, kau harus ikut. Menurutku semua gadis pasti suka padamu. Apalagi saat kau memainkan piano. Mereka pasti menjerit tanpa henti lalu perlahan meleleh seperti coklat yang dipanasakan. Kau setuju kan?” Gadis ini tertawa kecil lalu berbalik. Tita terkejut. Ia tak menyangka Vic sedang memandangnya saat itu juga.
            Tita tetap mematung kecuali bola matanya yang masih berkedip dengan normal. Vic pun menampakkan ekspresi yang sama. Beberapa saat kemudian ia melepas walkmannya. Dengan begitu tenangnya ia berkata, ”Ayo masuk!”.
            Tita masih mematung. Vic yang semula berjalan membelakanginya, perlahan mulai berbalik. Ia berjalan pelan bak seorang pangeran. Setelah dekat dengan Tita, perlahan ia membungkuk. Saat itulah Tita tersadar.
            ”Vic, kau tak ingin minta maaf? Sejak tadi aku bicara denganmu tapi kau malah asyik mendengarkan musik. Sikap macam apa itu? Lalu...lalu apa maksudmu tiba-tiba menyuruhku naik ke punggungmu? Memangnya aku anak kecil?” Nafasnya tak beraturan. Setelah kekesalannya terlontar, dengan penuh emosi Tita berjalan melewati Vic lalu kembali ke kamarnya.
            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar