Minggu, 14 Agustus 2011

3 GP episode 3


Bab 3

“Love is the irresistible desire to be irresistibly desired.”Mark Twain

            Keributan hebat datang dari kamar Gaby. Lantai yang beralaskan kayu itu membuat suara langkah Gaby menggema sempurna, sampai bi Iyam dan Isela yang ada di bawah merasa terganggu. Keduanya menutup telinga secara kompak sambil melihat televisi.

            ”Bi’ apa kak Gaby selalu seperti ini kalau akan berkencan?” tanya Isela sambil memakan keripik kentang dengan lahapnya.
            ”Berkencan? Setahu bibi, nona Gaby tidak pernah punya teman pria di Kanada. Kami baru saja pindah seminggu yang lalu. Tidak mungkin nona Gaby punya kekasih. Lagipula, nona Gaby pernah mengatakan sendiri pada bibi’, kalau tidak akan ada pria yang mau mempunyai kekasih yang tidak suka mandi dan sangat tidak teratur sepertinya,” bisik bi Iyam
            ”Oh, begitukah? Aku pikir kakak sedang ada janji dengan seorang pria. Tadi aku mengintip sedikit kamarnya. Aku melihat lantainya tertutup sempurna oleh pakaian-pakaiannya. Apa bibi’ yakin?” kedua alisnya bergerak naik turun. Bola matanya yang bulat terus menatap bi’Iyam yang terlihat kebingungan.
            Tak lama kemudian, langkah kaki mungil itu menuruni anak tangga.

            *Dug..dug..dug..dug..dug
            Mendengar suara itu, bi Iyam dan Isela secara bersamaan menoleh ke belakang. ”Kakak/Nona mau kemana?” tanya keduanya begitu kompak.
           
            Mulut Gaby terbuka lebar melihat dua mahkluk yang sedang duduk di sofa itu mengamatinya dari atas sampai bawah. Dengan gugup, Gaby menyilakan poninya.
            ”Aku...aku mau pergi ke...ke..pesta,” jawabnya. ”Jangan tanya lagi! Aku tidak akan menjawabnya!” lanjutnya dengan cepat setelah melihat Isela dan Bi’Iyam kompak membuka mulut untuk bertanya kembali.
            ”Baiklah. Aku mengerti,” jawab Isela santai sambil kembali duduk ke posisi awal.
            Bi Iyam melirik Isela. Karena tak punya teman seperjuangan untuk mengadili Gaby, ia pun kembali duduk menatap layar televisi.
            Tangan kanannya mengelus dada. Sambil menghembuskan nafas perlahan, Gaby mulai melangkah keluar rumah.

            ***
            Jam menunjukkan pukul  tujuh malam. Meski dalam kartu undangan tertulis pesta akan diadakan satu jam lagi, namun aula tengah sudah dipadati oleh para tamu. Mereka memakai gaun dan jas. Semuanya tampil menunjukkan kelasnya masing-masing.
            Saat itu Lini nampak berdiri di balkon lantai dua. Ia mengamati para tamu dan para waitress yang sedang menyajikan makanan dan minuman. Senyumnya mengembang ketika ia ingat bahwa Gaby-adik pertamanya akan datang.

            ”Hei,” sapa Yesa seraya menepuk lembut pundak sahabatnya itu.
            ”Yesa, terima kasih. Aku berhutang sangat banyak padamu. Terima kasih sudah membantuku membawa Gaby kesini,” ujar Lini sambil tersenyum.
            ”Jangan berkata seperti itu. Aku senang membantumu. Sekarang aku merasa hutangku padamu sedikit demi sedikit berhasil kulunasi,” jawab Yesa. Wanita berwajah manis ini berdiri di samping Lini. Pandangannya tertuju ke bawah.
            ”Saat aku terpuruk karena suamiku meninggal, kau selalu ada di sampingku. Kau bahkan telah membantuku membuka hati ini untuk orang lain. Kau telah mengenalkan Lenseorang pria yang sempurna di mataku. Rasanya apa yang aku perbuat sekarang belum seberapa,” lanjutnya sambil membalas senyum Lini.
            Ketika mendengar hal itu terucap dari bibir sahabatnya, Lini langsung teringat oleh adik keduanya-Isela. Saat itu ia mengingat jelas bagaimana ekspresi adiknya itu begitu terperangah melihat Len. Buru-buru Lini tertunduk. Ia tak sanggup lagi melihat wajah Yesa.
           
            Beberapa saat kemudian, para reporter yang berada di  luar tiba-tiba berhamburan menyerbu sebuah mobil mewah yang berdiam tepat di depan pintu utama . Dengan lihainya mereka beraksi dengan senjata mereka.
            *Cekrik..cekrik..cekrik..
            Cahaya dari begitu banyak kamera menyerbu Eriol dan seorang gadis cantik yang baru saja keluar dari mobil. Mereka masuk melewati pintu utama dan melangkah menuju aula tengah.
            Lini dan Yesa yang masih berada di lantai dua beberapa saat bergumam.
            ”Jadi itu aktor yang akan kau orbitkan?” tanya Yesa.
            Lini mengangguk pelan. ”Bagaimana, bagus kan?” tanyanya.
            ”Hm, sangat bagus. Postur tubuhnya tinggi, wajahnya juga tampan. Dia juga multi talented. Aku rasa kau tidak harus berjuang keras untuk menjadikannya bintang yang lebih terkenal,” Yesa melontarkan opininya.
            Keduanya saling melempar senyum. Setelah itu mereka berjalan bersama menuju aula tengah.

            ***
            Satu jam setelah kepergian Gaby, Isela loncat dari sofa. Tingkahnya itu langsung membuat bi’Iyam yang tertidur pulas langsung terbangun.
            ”Hei Nak, kau mau kemana?” tanya bi Iyam dengan setengah mata yang terbuka.
            ”Aku...aku mau mengunjungi temanku. Aku baru ingat kalau aku janji akan ke rumahnya malam ini,” jawab Isela dengan ekspresi konyolnya.
            ”Oh...yasudah. Hati-hati! Jangan lupa kunci pintunya yah!”
            Melihat bi Iyam yang kembali tertidur pulas, Isela mengelus dadanya. Ia menghembuskan nafas panjang lalu melangkah keluar rumah dengan hati-hati.

            ...
            Pizza open 24 jam.

            ”Hei Isela, kau terlambat!” ujar seorang pria berkacamata yang sedang mengepak pesananan pizza.
            Isela mengangguk beberapa kali. Dengan cepat ia melepas tasnya dan memasukkannya ke dalam locker.
            Setelah mengenakan seragamnya, pria berkacamata itu memberikan 1 pack pesanan pizza yang baru saja dibuatnya.
           
            ”Ini, antarkan ke alamat ini. Hati-hati ya!” ujar pria itu seraya mengenakan topi merah ke kepala Isela.
            ”Oke!” seru gadis berambut keriting ini seraya berjalan menuju ke tempat parkir. Dengan wajah gembira ia bersiap pergi dengan skuternya. Setelah mengenakan helm pink, ia pun melaju.

            ***
            Cahaya dari banyak kamera menambah kesilauan tempat mewah itu. Kehadiran Eriol disana nampaknya cukup menarik perhatian para tamu. Mereka diam sejenak dan melihat ke arah akor dan penyanyi tampan itu. Dengan senyum manis Eriol pun menyapa para reporter dan menjawab beberapa pertanyaan mereka.

            ”Ohya, sejak tadi aku tidak melihat Len. Apa kau sudah menghubunginya?” tanya Lini seraya berjalan menuju ke arah Eriol.
            Wanita anggun ini mempercepat langkahnya. Setelah berhasil berjalan sejajar dengan Lini, ia pun mengelurakan ponsel dari dalam tasnya. Tak lama kemudian Yesa mengangguk pasti. ”Saat aku hubungi, katanya dia sudah bersiap berangkat,” jawabnya.

            Setelah dua wanita anggun itu berdiri di hadapan Eriol, para reporter bergerak menjauh secara alami.
            “Senang bisa bertemu nyonya kembali,” ujar Eriol.
            ”Panggil saja aku Kak. Aku merasa tua kalau kau memanggilku nyonya,” Lini tertawa kecil sambil menepuk lengan Eriol.
            ”Senang bisa bertemu anda, nyonya Guilinia. Saya Hyena,” sapa seorang wanita cantik nan seksi yang tiba-tiba maju selangkah hingga berdiri sejajar di samping Eriol.
            Sesaat Lini terkejut melihat wanita itu. Sambil mengangguk beberapa kali, Lini merekahkan senyumnya. ”Maaf, begitu banyak  hal yangs aya pikirkan. Selamat datang nona Hyena. Semoga anda menikmati pesta ini,” sambut Lini.
            Keduanya saling mengangguk, kemudian Yesa mempersilahkan mereka untuk berjalan memasuki aula utama.

            Usai kepergian Lini dan para tamunya, Gaby datang dengan mendekap erat sebuah amplop berukuran A4 di dadanya. Tatapannya mengarah tajam ke semua penjuru. Dengan sedikit perasaan takut yang menyelimuti, ia berjalan selangkah demi selangkah melewati para tamu yang terlihat sangat elegan dan berkelas.
                     ”Kalau tahu pestanya akan semegah ini, aku pasti memakai gaun milik bunda. Apa aku pulang saja ya?” gumamnya. Beberapa saat ia berpikir. ”Tidak-tidak, aku tidak boleh menyerah sampai di sini. Kau cantik Gaby. Meskipun kau tidak memakai gaun sutra seperti mereka, kau juga tampak seperti wanita berkelas. Tunjukkan saja dengan senyummu. Tegakkan tubuhmu dan carilah nona Yesa. Dia akan membantumu menyerakah naskah ini pada penerbit yang terkena, fighting” . Setelah berbicara serius dengan diri sendiri, kepercayaan dirinya pulih meskipun tak seratus persen.
            ***
            Setelah mencari alamat yang dituju dengan susah payah, lima belas kemudian sampailah ia di sebuah apartemen. Isela masuk ke lobby dan mencari tahu informasi nomor kamar yang akan ia datangi. Dengan ramah pegawai lobby itu memberikan informasi. Setelah diijinkan masuk, Isela pun mulai mencari kamar nomor 202.

            Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di sana karena akses  menuju setiap ruangan begitu teratur.

            202
            ”Akhirnya ketemu juga,” ujarnya.
            Ia pun memencet bel yang berada di samping kanan pintu.
            ”Aneh sekali...apa tidak ada orang di dalam?” pikirnya.
            Saat tangan kanannya meraih daun pintu, kedua matanya langsung melebar. ”Hoh, tidak dikunci?” gumammnya.
            Perlahan-lahan ia mengintip. Tatapannya berputar ke sudut ruangan yang ada hadapannya. Dengan hati-hati Isela pun berjalan masuk. ”Permisi, saya mengantar pesanan pizza,” katanya.
            Setelah sampai di ruang tamu, perlahan Isela meletakkan pizza itu di atas meja. Kedua bola matanya kembali mengamati seisi ruangan itu. Berulang kali suaranya menggema, namun tak ada jawaban dari si pemilik kamar.
            Ketika ia hendak menuju pintu keluar, tiba-tiba ia mendengar sebuah suara aneh. Setelah dicermatinya kembali, suara itu seperti seorang pria yang sedang tersedak. Tak lama kemudian, pria itu merintih. Samar-samar Isela mendengar pria itu memanggil nama seorang wanita. Karena rasa penasarannya yang memuncak, Isela pun berjalan cepat menuju ke arah suara itu berasal. Saat sampai di depan pintu yang sudah dalam keadaan terbuka, kepalanya celingukan melihat isi kamar yang gelap itu.

            ”Hoh...tuan...kau..tidak apa-apa?” serunya setelah melihat seorang pria sedang berbaring gelisah di atas ranjangnya.
            Pria itu menutup matanya erat-erat. Kedua alisnya saling bertaut. Keringat dingin membanjiri dahinya. Dengan gugup Isela pun berusaha menyentuh pria itu sambil terus bertanya, ”Tuan...mana yang sakit? Haduh..apa yang harus kulakukan?” gerutunya sambil mondar-mandir memegangi kepalanya.
            Beberapa saat pria itu berteriak. Ia semakin merintih kesakitan.
            O my God..O my God…tenang Isela! Tenaaang! Ayo berpikir!” katanya.
            Dengan tangan gemetar ia menyentuh dahi pria itu.
            ”Hoh..panas sekali?” ujarnya.
            Perlahan dibukanya dasi yang mengikat kecang leher pria itu. Setelah dasi itu berhasil dilonggarkannya, ia membuka 2 buah kancing baju pria itu sambil menutup paksa kedua matanya.
            God ampuni aku!” katanya berulang kali.
            Beberapa menit kemudian, pria itu sedikit tenang. Sambil menyeka keringat di dahinya, Isela menghela nafas panjang. Diamatinya wajah pria , namun karena terlalu gelap, samar-samar tampak garis wajah pria itu masih terlihat gelisah.
            Dengan hati-hati ia menyeka keringat pria itu dengan handuk kecil yang sudah diperasnya dengan air dingin. Karena kamar terlalu gelap, perlahan ia menyibak tirai hingga sinar bulan perlahan masuk menyinari kamar itu. Setelah kembali duduk di posisi semula, jantungnya berdegup sangat keras. Kedua matanya melebar, bibirnya terbuka sambil berkata, ”Hoh!”
            Gadis bermata lentik ini sangat terkejut saat melihat pria yang berbaring itu adalah Lenpria yang mampu memancarkan sinar 100 juta dollar di matanya. Saat itu ia ingin sekali berteriak keras. Isela tak pernah membayangkan pria yang dikaguminya itu bisa berada tepat di depan matanya. Wajahnya begitu nampak jelas berkat pantulan sinar bulan yang masuk lewat jendela.
            ”Bagaimana ini? Bagaimana ini?” gerutunya berulang kali sambil mengipas-ngipas lehernya dengan kedua tangannya. Ekspresi bahagia, terkejut, dan resah teraduk menjadi satu di dalam wajahnya. Sesekali ia berusaha menyembunyikan diri saat pria itu mengubah posisi tidurnya. Jantungnya pun perlahan berdetak normal saat ia melihat Len kembali tertidur pulas.
            Matanya yang polos terus menatap lekat wajah Len. Dengan jari telunjuknya, ia berusaha menyentuh wajah pria itu. Isela menyentuh hidungnya yang mancung, pipinya yang lembut, serta bibirnya yang merah. Tanpa sadar ia terbuai dengan perasaan anehnya. Blomming rose seakan menyelimuti seluruh isi kamar. Tanpa sadar Isela mendekatkan bibirnya ke arah bibir Len. Kini jarak kedua bibir itu hanya berkisar 1 mili. Saat itu ia sempat bergumam dalam hatinya. ”Tuhan, aku ingin merasakan ini sekali saja! Setelah itu aku tidak akan melakukannya lagi. Ijinkan aku, hanya satu kecup saja..”.Ketika beberapa detik keduanya hampir bersentuhan, suara kucing mengeong membuat Isela tersentak. Selang satu detik, Len memalingkan wajahnya. Alhasil, Isela pun mendaratkan bibirnya selamat di pipi Len.
            Kedua mata lentiknya terbelalak. Setelah sadar akan kebodohan yang baru saja ia lakukan, dengan cepat Isela menjauh dari Len. Bibirnya terus berkata ”O” tanpa suara. Sesekali ia memukul kepalanya dengan keras karena sudah melakukan hal yang tak senonoh.
            ”Oh God, apa yang aku lakukan? Ternyata dia sangat berbahaya, lebih berbahaya dibanding ayah. Ngomong-ngomong...pipinya..panas sekali,” ujarnya perlahan sambil menyentuh bibirnya dengan lembut.
           
            ***
            Karena terlalu lelah mencari Yesa, Gaby berjalan lemas menuju meja panjang yang diatasnya sedang berpose berbagai macam makanan. Wajahnya yang kusut beberapa menit lalu langsung ludes melihat ayam kalkun yang mejadi point of interest dari semua hidangan yang tersedia. Buru-buru ia menyangga piring, garpu, dan sendok. Konsentrasinya saat itu hanya tertuju pada makanan. Satu poin tertangkap yang melekat di diri Gaby selain hobby-nya yang memberantakkan isi kamar dan jarang mandi. Saat melihat makanan, wajah dan tingkahnya akan mirip seperti predator yang sedang melahap mangsanya.

            ”Hei, kau lihat gadis itu? Memalukan sekali ya?” gumam seorang gadis bergaun ungu yang berdiri angkuh di seberang.
            ”Benar. Dandanannya kampungan sekali. Jangan-jangan dia tamu tak diundang yang sengaja menyelinap untuk numpang makan gratis disini? Ini tidak bisa dibiarkan,” ujar gadis di sebelahnya.
            ”Flay, kelihatannya dia lebih tua darimu, tapi kelakuannya seperti anak kecil. Lihat saja bagaimana caranya mengambil makanan-makanan itu! Seperti pemulung saja,” lanjut gadis bergaun merah itu sambil tertawa kecil.
            Gadis yang dipanggil Fllay itu hanya menatap sekilas Gaby, lalu dengan mata dinginnya ia berjalan anggun mendekati kakak perempuannya yang sedang bercengkrama dengan para tamu.
            Setelah berdiri di belakang kakaknya, Fllay berbisik. ”Kak, aku mau pulang. Kepalaku pusing,” katanya dengan nada datar.
            Hyena berbalik perlahan. Sambil menatap sinis adiknya, ia berbisik pelan. ”Bertahanlah beberapa jam saja. Di sini banyak sekali pria tampan. Kenapa kau tidak menyapa salah satu dari mereka? Cobalah bersenang-senang dulu, kakak masih banyak urusan di sini.”
            Fllay menutup matanya sejenak. Ia mengendus pelan. Lalu dengan anggun ia kembali menghampiri kedua temannya yang masih betah menggunjing Gaby.
           
            Setelah melihat Fllay hendak menghampiri mereka, dengan atraktif gadis bergaun merah itu mencengkram lengan Fllay dan menggeretnya di tempat mereka semula berdiri.
 ”Hei, bukankah Eriol itu teman dekat kakakmu? Hoh! Bagaimana gadis kampungan itu bisa berbincang dengan Eriol? Ini tidak bisa dipercaya,” gerutu gadis bergaun merah itu.
            ”Apa?” Fllay masih menampakkan wajah dinginnya. Setelah mengikuti arah tatapan gadis bergaun merah itu, Fllay sedikit melebarkan kedua matanya. Tatapannya terpaku sejenak. Beberapa saat tatapannya berpaling ke arah kakaknya yang masih asyik mengobrol.
            ...
            ”Tak kusangka ayam bisa masuk ke istana. Apa yang sedang kau dekap itu?” Eriol berdiri di samping Gaby dengan memasang wajah cool-nya.
            Mendengar suara yang begitu familier di telinganya, Gaby langsung tersedak. Sambil memukul dadanya berulang kali, ia cepat menoleh ke sampingnya sambil melotot.
            ”Kau! Sedang apa kau disini?” tanya Gaby dengan mulut yang masih penuh dengan makanan sambil menaikkan dagunya. Ia harus bersusah payah menengadah karena Eriol begitu tinggi.
            ”Apa?” Eriol sedikit terkejut. Tak lama kemudian ia tertawa pelan. ”Seharusnya aku yang bertanya, kenapa spesies unggas sepertimu bisa masuk ke kalangan manusia. Bahkan memakan makanan manusia,” balas Eriol sambil melihatnya sinis dari bawah sampai ke atas. ”Apa kau kenal salah satu manusia di sini? Hoho! Mengejutkan sekali!” lanjutnya .
            ”Kau! Kau keterlaluan sekali! Seharusnya aku tidak merasa menyesal setelah menampar wajahmu dengan sepatuku. Aku begitu bodoh masih menyimpan sedikit rasa bersalah padamu,” ujar Gaby seraya berjalan meninggalkan Eriol.
            ”Hei kau!” emosi Eriol kembali naik. Namun ia harus bersusah payah menjaga image-nya di depan umum. Sambil berjalan dengan cool-nya ia kembali mendekati Gaby, namun ada sedikit jarak di antara mereka.
            ”Rasa sakit itu masih terasa! Seharusnya kau merasa menyesal sampai sekarang!” bisik Eriol sambil mengelus pipinya.
             ”Siapa suruh kau memanggilku ayam?” balas Gaby dengan suara tinggi. Sekejap beberapa mata menatap mereka dengan penuh heran. Kejadian itu pun tak luput dari pandangan Lini. Raut wajahnya sekejap menegang kemudian dengan khusuk ia melihat Gaby yang masih berdiri di sisi Eriol.

Sadar menjadi bahan tontonan, dengan kompak keduanya tersenyum manis sambil mengangguk pelan.
            ”Jaga bicaramu bodoh!” pinta Eriol. Raut wajahnya sekilas gusar lalu kembali terlihat biasa. Kadang-kadang mengerutkan dahi ketika beberapa orang mulai menyorot keduanya.
            ”Karena kau berkokok sangat keras mereka semua menatap kita. Kau puas sekarang?” ujar pria bertubuh tinggi ini.
            Seolah tak tahan mendengar perkataan Eriol yang terus menyudutkannya, Gaby berjalan meninggalkan pria itu dengan wajah kesal.
            Baru beberapa langkah, ia  tak sengaja menabrak dua orang gadis yang tiba-tiba berjalan di depannya.
            ”Hei, kau sengaja ya? Lihat! Gaunku jadi kotor karenamu!” gerutu gadis bergaun merah yang tadi menggunjing Gaby.
            ”Maaf! Maaf! Aku benar-benar tidak sengaja!” Berulang kali Gaby membungkuk sambil berusaha membersihkan gaun gadis itu dengan pakaiannya.
            ”Hei, singkirkan tangan kotormu itu! Gaunku jadi bertambah kotor bodoh!” teriak si gadis.
            Eriol yang saat itu ingin menghampiri Gaby langsung tersentak ketika mendengar sebuah teriakan datang dari Guilinia.
            Wanita berwajah anggun itu menampakkan ekspresi yang begitu gusar. Kedua matanya seakan membunuh langkah gadis yang baru saja mencaci adiknya itu.
            ”Cepat angkat kakimu dari tempat ini sekarang juga! Aku tidak sudi melihat orang sepertimu yang dengan mudah merendahkan martabat orang hanya karena ia tidak sengaja membuat gaunmu kotor!” kedua mata Lini berkaca-kaca. Bibirnya terlihat gemetaran. Karena ketakutan, gadis itu membungkuk di hadapan Lini lalu berulang kali meminta maaf pada Gaby.
            Merasa benar-benar menjadi bahan sorotan para tamu dan media, Gaby merengkuh pelan lengan Lini sambil berkata, ”Kakak, sudah. Aku tidak apa-apa. Memang aku yang salah.
            ”Tidak, kau tidak salah! Gadis ini yang tak tahu sopan santun,” ujar Lini seraya terus menatap gadis bergaun merah yang menitikkan air matanya perlahan.
            Tak lama kemudian, cahaya kamera mulai beraksi mengambil gambar peristiwa heboh itu. Untung saja Ray segera datang dan meminta para wartawan menghentikan aksinya. Dengan lembut ia merengkuh kedua lengan Lini dan menatapnya dengan wajah sendu. Dalam sekejap wajahnya yang menegang seolah pudar. Seakan sadar sehabis terhipnotis, Lini mengusap air matanya lalu menunduk.
            ”Maaf, istri saya sedang tidak enak badan. Mohon jangan diambil hati apa yang baru saja diucapkannya. Saya mewakili istri saya minta maaf pada nona. Saya mohon nikmatilah kembali pesta ini,” ujar Ray seraya memberikan senyum hangat pada gadis yang terlihat ketakutan itu. Perlahan ia meredakan tangisnya sambil membungkuk sekali lagi pada Lini. ”Saya benar-benar minta maaf nyonya,” katanya. Fllay yang berdiri tak jauh dari gadis itu langsung merengkuh lengan temannya dan menuntunnya meninggalkan tempat tersebut.

            Gaby merasa bersalah. Wajahnya sudah tak dapat lagi memancarkan ekspresi tenang. Kedua tangannya berusaha menyentuh pundak Lini namun Ray terlanjur membawa Lini pergi. Melihat kejadian itu, dengan cepat Yesa menghampiri Gaby yang hendak keluar ruangan.
            ”Gaby kau mau kemana?” tanya Yesa dengan wajah panik.
            ”Hoh! Kak Yesa!” seru Gaby. Tampak terselip butiran permata di kedua ujung bola matanya. Dipaksakannya bibirnya itu untuk tersenyum saat melihat Yesa. Wanita anggun ini pun mengelus lengan Gaby agar gadis ini kembali tenang.
            ”Kau baik-baik saja?” tanya Yesa beberapa saat kemudian.
            Isela melongo. Otaknya kosong mlompong saat itu. Yesa tersenyum manis. ”Aku tahu. Ayo ikut aku!” ujarnya seraya menuntun Gaby masuk ke aula utama.
            Melihat kedua wanita itu melewatinya, Eriol semakin bingung. Ia masih tak percaya bahwa seorang Guilinia yang ramah bisa begitu marah hanya untuk membela seorang Gaby.

            ***
            Keduanya melewati lorong demi lorong yang diterangi banyak lampu kristal. Di dindingnya terpasang beberapa lukisan abstrak dari para pelukis terkenal di dunia. Begitu banyak pintu yang mereka lalui sampai Gaby benar-benar bingung pintu mana yang akan mereka masuki.
            Beberapa saat kemudian, Yesa menghentikan langkahnya.
            ”Ayo, masuklah!” pintanya seraya mempersilahkan Gaby memasuki sebuah kamar.
            Bibirnya sampai kering karena terus terbuka melihat begitu mewah dan elegannya interior kamar itu.
            ”Karena kau masih harus bertemu para orang penting di bawah, kau harus ganti baju,” jawab Yesa seraya berjalan menuju ke sebuah ruangan.
            ”Ah tidak. Aku berniat pulang tadi. Rasanya aku sudah membuat kehebohan besar, jadi mana mungkin aku turun ke bawah dan menemui mereka. Apa yang akan mereka pikirkan nanti?” jawab Gaby seraya mengambil tas nya dan berjalan menuju pintu keluar.
            ”Hei tunggu! Aku sudah mengambil gaun ini untukmu. Kau harus memakainya,” pinta Yesa.
            ”Apa?” Gaby menatap Yesa dengan wajah polos. Ia masih tak mengerti kenapa Yesa melakukan hal itu.
            ”Kau lihat wanita yang tadi membelamu? Apa kau tidak ingin bicara dengannya? Setidaknya kau bisa mengucapkan terima kasih padanya. Dia tuan rumah pesta ini. Alangkah baiknya kau memberi penghormatan padanya dengan memakai gaun yang pantas,” ujar Yesa seraya menggeret Gaby menuju kamar ganti.
***
             
            Isela terbangun dari tidurnya. Ia menguap cukup lebar sambil merenggangkan tubuhnya yang kaku. Sudah hampir dua jam ia tidur sambil duduk menghadap ranjang yang ada di sebelahnya.
            ”Hah, sudah jam 10? Haiiisssh..Isela apa yang kau lakukan?” ia terus menggerutu sambil sesekali melihat Len yang masih menutup kedua matanya dengan tenang.
            Ketika ia hendak pergi, tangan kanannya tak bisa bergerak. Jantungnya berdegup sekali begitu keras. Dengan perasaan takut yang menggunung, Isela berbalik. Ia melihat kedua tangannya dipegang erat oleh Len. Namun pria itu masih memejamkan kedua matanya. Sesekali Len masih merintih kesakitan. Di dahinya berjibun banyak kerutan. Kedua alisnya berusaha menyatu.
            Dengan penuh rasa takut, Isela mendekati wajah Len. Dengan nada gemetar ia berbisik,”Aku tidak bisa disini tuan. Aku harus pulang.”
            Saat ia berdiri, suara lirih tiba-tiba terdengar. Sekujur tubuhnya menjadi kaku seperti patung.
            ”Jangan pergi.”
            Samar-samar Isela mendengar Len mengucapkan sesuatu. Namun karena tak jelas mendengar apa yang dikatakannya, perlahan gadis bermata lentik ini semakin mendekatkan wajahnya.”Apa? Ak..aku tidak bisa..uwoooo”
            Belum sempat ia melanjutkan perkataanya, Len tiba-tiba menarik tangannya. Isela tak sempat meronta saat tubuhnya itu terbaring di samping Len. Dengan kedua tangannya, Len merangkul Isela sampai gadis ini tak mampu bergerak.
            Wajahnya tenggelam di pelukan pria itu. Dalam sekejap tubuhnya terasa panas. Begitu kuat dan lekatnya pelukan itu sampai ia dapat mendengar debaran jantung Len, tarikan nafas yang begitu berat, serta kehangatan tubuh pria itu. Saat ia berusaha melepaskan diri, Len semakin mempererat pelukannya.
            ”Oh Tuhan....perasaan macam apa ini? Aku takut, bingung, terkejut, tapi kenapa...aku...tidak ingin meronta lagi? Bisakah...aku tinggal disini...beberapa menit saja?” Isela bergumam dalam hati sambil memenjamkan matanya. Kedua tangannya yang semula memegang kuat tangan Len, pelan-pelan terlepas.
            ***
            Maskara, bulu mata palsu, eye shadow, bedak, dan lipstik bersatu menegaskan garis wajah Gaby. Make up yang soft itu membuat wajahnya terlihat lebih segar dan cantik.
            Beberapa saat kemudian Yesa datang. Ia menghampiri para perias yang terlihat membereskan kotak-kotak kosmetiknya.
            ”Sudah selesai?” tanyanya. Penata rias itu mengacungkan jempol. Dengan hati-hati ia menuntun Gaby berjalan di hadapan Yesa. Wanita anggun ini pun langsung terperangah. Ia syok melihat kecantikan Gaby. Bibirnya terus terbuka. Sesekali ia tertawa dan mengacungkan jempol pada si penata rias.
            ”Sebenarnya aku tak butuh banyak tenaga untuk memolesnya. Gadis ini sudah sangat cantik, persis seperti Guilinia,” ujar si penata rias.
            “Sekali lagi terima kasih Kak Juan!” seru Yesa kemudian dengan penuh semangat ia menggandeng tangan Gaby keluar ruangan.
           
            Sesampainya mereka di balkon lantai satu, keduanya sudah disambut oleh Lini. Dengan wajah gembira, wanita anggun ini mendekati Gaby perlahan-lahan. Kedua matanya berkaca-kaca saat melihat wajah adik pertamanya itu. Air matanya lantas tak terbendung saat kalung bertuliskan Galabria menggantung indah di leher Gaby.
            ”Terima kasih..kakak sudah membelaku. Aku merasa bersalah karena sudah membuat kehebohan besar tadi. Aku minta maaf!” ujar Gaby seraya mengangguk beberapa kali.
            Lini menggelengkan kepalanya. Sambil menghela nafas, ia berkata dengan suara berat. ”Bisakah aku meminta bantuanmu?”
            ”Apa saja yang kakak mau,” jawab Gaby dengan senyum merekah.
            ”Temani aku turun untuk membuka acara malam ini!”
            ”Apa?” Gaby cukup terkejut. Wajahnya yang polos nampak kebingungan menjawab permintaan kakaknya. Gaby nampak ragu, namun dengan lembut Lini menggandeng tangannya. Saat merasakan sentuhan itu, perasaannya yang takut dan bingung perlahan sirna. Gaby pun akhirnya bisa tersenyum secara alami. Mereka berdua turun dari tangga diiringi dengan tepukan para tamu. Semuanya terlihat terkagum-kagum melihat Gaby dan Lini yang terlihat bersinar seperti putri. Eriol pun sempat tertegun. Kedua matanya tak lepas dari Gaby. Saat gadis ini menatapnya, Eriol pun spontan menampakkan ekspresi mengejek. Melihat hal itu, konsentrasi gadis ini pun memudar.
            Saat akan mencapai 10 anak tangga ke bawah, tiba-tiba Gaby tersandung. Sepatu kacanya terlepas dari kaki kanannya. Saat itu seluruh mata tertuju pada sepatu kaca yang menggelinding begitu nyaring menuruni anak tangga. Karena tepat berada tak jauh di hadapan Eriol, sambil menghela nafas, pria ini pun berjalan maju. Perlahan tapi pasti ia mengambil sepatu kaca itu lalu menaiki tangga. Dengan sorot mata yang tak berpaling sedikit pun dari Gaby, Eriol membungkuk. Ia membantu Gaby memasangkan sepatu kaca itu kembali di kaki kanannya.
            Setelah berhasil terpakai dengan sempurna, suara tepukan meriah mengalir deras. Semua penonton terlihat begitu terkesima begitu juga dengan Lini. Wanita anggun ini begitu senang melihat Eriol berlaku manis pada adiknya.

            Setelah mereka sampai di lantai dasar, acara pesta pun dimulai. Satu jam berlalu. Di sela-sela waktu itu, Eriol sesekali mengamati Gaby yang masih terlihat bercengkrama dengan salah satu bos yang berkecimpung di bidang perfilman. Di sisi lain ia merasa kagum, tapi juga merasa heran. Gadis itu begitu dijaga oleh Yesa dan Lini, bahkan mereka sampai mendandaninya seperti putri. “Siapa gadis itu?” gumammnya.

            Diam-diam beberapa wartawan yang jeli, segera melakukan aksinya. Disorotnya kalung Galabria di leher Gaby lalu mengambil foto gadis cantik itu. Ia pun tak lupa mengambil gambar Lini yang juga memakai kalung dengan tipe yang sama, namun dengan tulisan Guilinia.
            ”Ini akan jadi berita yang menghebohkan!” gumamnya seraya melangkah pergi dari tempat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar