Minggu, 14 Agustus 2011

3 "G" Princess episode 1(Korea casting-Drama Fiksi)


3 “G” Princess,
Love is...

Prolog

”Hari ini adalah ulang tahunku yang ke dua belas. Ayah duduk di hadapanku. Beliau membungkuk sambil menengadah menatap wajahku. Saat itu kulihat kedua matanya yang berbinar-binar. Senyumnya tak begitu lebar, namun terlihat begitu manis. Bersama dengan sedikit cat kuning kemerahan menggores pipi kanannya, ayah mengenakan mahkota bunga mawar di atas kepalaku. Bunganya masih segar dan harum. Dengan nafasnya yang berat ayah berkata,”Guilinia, putri ayah!  Di usiamu yang ke dua belas belas ini, ayah berharap Lini bisa menjaga ketiga adik Lini dan menyayangi mereka dengan penuh kasih sayang. Maaf, selama ini ayah belum bisa menjadi seorang ibu dan seorang ayah yang baik untuk kalian. Suatu saat nanti ketika waktu ayah sudah tiba, Lini harus berjuang sendiri. Apapun kesulitannya, maupun penderitaan dan kebahagiaan yang datang, Lini harus senantiasa bersama Gaby, Isela, dan Tita. Wujudkan harapan ayah ,Nak!”
”Saat ayah berkata seperti itu, aku merasa umurku bukan 12 tahun. Tidak, umurku 18 tahun. Sejak ibu meninggal saat melahirkan adik bungsuku, aku berjuang sekuat tenaga. Dengan segala kemampuan seorang anak kecil, aku menjadi sosok ibu bagi ketiga adikku. Aku yang saat itu ingin bermain bersama teman-teman seusiaku, tertawa, dan bercengkrama dengan mereka, hanya bisa berdiam di rumah, mencuci pakaian, dan menjaga adik-adikku. Mereka bertiga sangat nakal. Gaby, dia selalu meronta kalau aku menyuruhnya mandi. Saat itu umurnya masih 7 tahun. Adik kecilku itu, dia bisa tidak mandi dalam seminggu. Awalnya aku tidak mengerti, tapi setelah ayah menceritakan soal kecelakaan yang menimpa Gaby, akhirnya aku bisa memakluminya. Dia sangat takut dengan air, karena saat umurnya 5 tahun, dia hampir tenggelam saat menemani ayah memancing.”

Raymundo tersenyum simpul mendengar istrinya itu masih asyik bercerita. Dengan tatapan lembut, ia terus menyimak kata demi kata yang dilontarkan istrinya itu. Kedua mata Lini berkaca-kaca. Tatapannya sedikit menerawang, tapi Ray yakin, saat itu Lini benar-benar menikmati pergi ke masa lalunya.

”Isela. Aku tidak tahu kenapa dia begitu suka pada uang koin. Dia selalu menaruh koin itu di dalam mulutnya agar aku tidak menemukan koin itu dan membuangnya,” teringat akan hal konyol itu, Lini tersenyum lebar. ”Aku berharap kebiasaannya itu tidak melekat dalam dirinya sampai ia dewasa,”lanjutnya.
Ray tertawa lebar. Setelah tawa istrinya mereda, Ray kembali menyimak.
”Sedangkan Getalita, dia masih sangat kecil. Aku dan ayah kualahan mengurusnya. Sepanjang hari Tita hanya menangis, ngompol, makan, dan tidur,” sesaat Lini menghela nafas. ”Apa mereka semua baik-baik saja? Apa yang sedang mereka lakukan sekarang? Aku...aku merasa sangat bersalah. Aku gagal menjadi seorang kakak. Meskipun aku memiliki segalanya sekarang, tapi mereka. Apa mereka hidup bahagia, tentram, dan nyaman seperti yang aku rasakan sekarang?” Lini kembali menitikkan air mata.
”Ayah, pasti sangat bangga padamu! Sekarang kamu menjadi seorang wanita yang hebat! Ketiga adikmu, mereka pasti baik-baik saja. Kamu harus percaya akan hal itu,” kata Ray.
Lini tersenyum lebar. Perasaannya yang sedikit galau dan sedih perlahan memudar saat suaminya itu melontarkan kalimat pujian yang membesarkan hatinya kembali.
”Aku sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah memberikan seorang suami yang bisa membuatku kuat sampai sekarang,” Lini membalas pujian Ray.
Ray kembali tersenyum. Selangkah demi selangkah ia mendekati Lini yang sedang duduk di sofa panjang di samping jendela. Dengan lembut ia memeluk istrinya itu lalu mengecup keningnya.
”Besok, kita pasti akan mendapat kabar baik tentang ketiga adikmu,” Ray menyandarkan dagunya di kepala Lini.
”Aku tahu, Tuhan pasti akan mengabulkan doa kita!” jawab Lini seraya membalas pelukan suaminya.

***
Keesokan harinya.
Ray dan seorang pria berpakaian formil sudah menunggu Lini sejak tadi. Wanita berusia 28 tahun ini menghampiri mereka di ruang makan.
Dengan nada pelan, Lini bertanya pada suaminya, ”Apa ketiga adikku sudah ditemukan?”
Ray tersenyum simpul. ”Duduklah!” pintanya.
Lini duduk berhadapan dengan pria berjas itu, lalu menatap secara bergantian pria tersebut dan suaminya.

”Kami telah memperoleh informasi yang akurat,” kata pria itu seraya mengeluarkan 3 lembar foto dari sakunya kemudian menyodorkannya tepat di depan Lini. ”Ketiga adik nyonya sudah kami temukan. Mereka masih hidup. Selamat atas ditemukannya adik nyonya, dan...selamat ulang tahun. Ini adalah hadiah yang paling istimewa yang diberikan suaminya nyonya,” pria berjas itu tersenyum lebar lalu mengulurkan tangannya ke arah Lini.
Sesaat Lini kehilangan kesadaran. Ia sungguh masih tak percaya dengan apa yang didengarnya tadi. Tangan kanannya menyambut uluran tangan pria berjas itu, kemudian Lini kembali terdiam. Ia mematung beberapa saat, bahkan suara Ray suaminya, tak membuatnya lekas sadar.
Bibirnya membeku. Hanya linangan air mata yang bergerak mulus membasahi pipinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, Lini bertanya, ”Dimana mereka bertiga sekarang?”

***






Bab 1
"Where love is, no room is too small." – Talmud

Sepuluh jemarinya begitu lihai menekan tombol-tombol pada keyboard. Pandangannya masih lekat di depan layar komputer.

The End!” desisnya.

            Suara printer berjaya mengisi kekosongan kamar yang mirip kapal pecah itu. Kaos yang dipakai seminggu yang lalu dibiarkannya tersungkur pasrah di atas lantai. Bahkan saat melewatinya pun, tangannya yang putih dan mulus itu enggan memungutnya. Malahan tanpa rasa berdosa, kedua kakinya dengan lihai menyaduk beberapa helai pakaian kotornya itu hingga terlempar jauh di depan pintu kamar sambil berkata, ”Ciat!Ciat! Ciat!” lalu gadis berambut coklat ini melebarkan senyumnya.

Kakinya yang mungil melangkah menuju jendela. Sambil melihat taman belakang dari balik tirai putih itu, ia meneguk habis segelas susu yang tadinya berpose lama di atas meja kecil di samping lemari CPU. Di tegukan terakhir, Gaby menyeka bibirnya. Ia terdiam. Tak lama kemudian....

”Eeeeeergh!”

Dengan sengaja Gaby bersendawa cukup keras hingga bi Iyam yang sedang menyapu di lantai satu mendengar sendawanya.

”Non Gabyyyyy! Lagi-lagi sendawanya kayak sapi!” teriak bi Iyam. Setelah tidak mendengar balasan dari Gaby, wanita paruh baya ini pun melemparkan sapunya lalu berjalan menaiki tangga menuju ke kamar Gaby.

Saat membuka pintu, tatapan bi Iyam sudah disegarkan oleh beberapa tumpukan pakaian kotor Gaby yang menggumpal indah seperti gombal. Sambil mengepalkan kedua tangannya, bi Iyam menyuruh Gaby memunguti pakaiannnya itu.

“Bi’ Iyam, Gaby lagi buru-buru nih! Tolong gih pungutin pakaian Gaby yah!” pinta gadis berkuncir kuda itu sambil tergesa-gesa mengambil pakaian ganti di dalam lemari.
”Non mau ke tempat penerbit itu lagi?” tanya bi Iyam sambil memungut sehelai demi sehelai  pakaian Gaby dengan wajah pasrah.
”Iya bi’, hari ini harus berhasil! Aza aza Fighting!” teriak Gaby tepat di depan bi Iyam sambil mengepalkan kedua tangannya.
Fighting Non! Iya, Fighting!” sahut wanita paruh baya yang sedikit latah itu.

Setelah berhasil menggoda ibu asuhnya, Gaby tertawa lebar. Dipungutnya tumpukan kertas HVS dari printer, lalu menaruhnya ke dalam amplop ukuran A4 dengan hati-hati.
”Pak Jon tidak boleh menolak lagi naskahku. Kalau sampai dia berani menolak lagi, akan kusentil kepala botaknya, haiiisssshh!” gerutunya.

*Dug dug dug

”Hati-hati Non Gaby! Tangga kayunya sudah lapuk, kalau tiba-tiba roboh bagaimana?” teriak bi Iyam saat Gaby turun dari tangga dengan tergesa-gesa.
Setelah sampai di pintu, dengan cepat Gaby menoleh ke belakang. Rambutnya dibiarkannya bergerak mulus menampar wajah bi Iyam .
*Suuing...
Sebuah aroma unik tiba-tiba menusuk hidung beliau.

“Bi’, mungkin aku akan pulang malam jadi bibi langsung makan saja! Jangan menunggu aku pulang, okeh!”
Setelah mengucapkan pesan singkat itu, Gaby lekas berlari keluar dari rumah. Beberapa menit kemudian setelah sadar akan sesuatu, bi Iyam langsung berteriak sambil berusaha berlari menyusul Gaby.
”Nooon Gaby lupa mandiii? Non mandi dulu Non! Kasian orang-orang yang akan ketemu Non nanti!”

Mendengar teriakan bibi asuhnya itu, Gaby lekas menghentikan langkahnya. Dengan cepat ia berbalik, lalu menjulurkan lidahnya. ”Daaaah Biiiii’!” teriak Gaby sambil melambaikan tangannya, lalu bak perlari maraton, Gaby mengejar bus yang lewat begitu cepat di depan matanya.

***

*Cekrik cekrik cekrik..

Puluhan kamera secara bergantian mengeluarkan sinarnya. Tak mau kalah, para reporter dan wartawan dari berbagai statsiun televisi berlomba-lomba menodongkan mic ke arah seorang pria bersinar yang sedang dikawal lima bodyguardnya keluar dari hotel.

”Apa benar anda memiliki hubungan khusus dengan penyanyi terkenal asal Korea Kwon Boa?” tanya salah satu wartawan yang berhasil ditangkap jelas oleh telinganya.
”Itu tidak benar!” jawab Eriol dengan nada datar sambil memperlihatkan telapak tangannya dengan maksud agar para wartawan itu berhenti mengajukan pertanyaan dan sedikit membuka jalan baginya.
Setelah berhasil lolos, mobil alpart berwarna hitam itu langsung melesat secepat angin meninggalkan tempat kejadian.
...
Dengan wajah emosi Eriol meneguk habis botol air minumnya lalu mendesah beberapa kali.

”Kwon Boa? Apa karena seminggu lalu aku ke Korea lalu dengan seenaknya mereka membuat gosip? Apa mereka benar-benar seorang wartawan? Mereka lebih mirip para pecundang yang suka mengarang cerita,” Eriol masih menampakkan emosinya.
”Sudahlah, redam emosimu itu! Sebentar lagi kita akan bertemu nyonya Guilinia! Dia seorang wanita hebat yang akan membantumu menuju ke puncak,” kata ibu manajer.
”Siapa? Nyonya Gui..”
”Guilinia!” jawab ibu manajer dengan mantap.
”Hm, nama yang unik!” Eriol melebarkan senyumnya.
”Yah, begitulah. Dia adalah seorang eksekutif muda yang sukses di berbagai bidang. Suaminya juga seorang pengusaha hotel asing,” lanjut ibu manajer.
”Hm, aku juga pernah mendengar selama belasan tahun ia mencari ketiga adiknya. Para wartawan itu menjulukinya 3GP. Tiga ”G” Princess yang menghilang.”
”Hm, rupanya kau tahu cukup banyak juga,” ibu manajer terlihat cukup terkejut.
”Tentu saja, dia wanita terkenal. Lebih terkenal dibanding aku. Benarkan?” Eriol balik bertanya.
Ibu manajer mengangguk beberapa kali. Setelah teringat sesuatu, wanita berkonde itu kembali menatap Eriol.
”Dia mencari tiga pangeran untuk tiga adiknya. Setelah para putri itu ditemukan, apa kau berniat menjadi salah satu pangeran itu?”

Beberapa saat Eriol terdiam, sementara ibu manajer terus menatapnya dengan penuh rasa penasaran.
Karena tak kuat menatap ekspresi wajah manajernya itu, Eriol melebarkan tawanya. Ditepuknya tangan wanita berkonde itu dengan lembut. ”Yah, yah, mungkin aku bisa menjadi salah satu pangeran itu, kemudian pamorku akan semakin naik, dan kita sukses besar. Aku akan berusaha! Ibu tenang saja!” jawab Eriol sambil terus tersenyum di sepanjang perjalanan. Melihat ekspresi dan jawaban artis binaannya itu, ibu manajer mendengus pelan. Ia tahu Eriol tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya tadi.

***

            Sepatu high-heells itu berhenti tepat di depan rukuh bertingkat empat, di depannya bertuliskan Penerbit ”Cita Raya Pustaka Indah Jaya Abadi”.  Sambil menghela nafas panjang, Gaby mulai melangkah masuk.
           
            Di ruang editor.

            Pak Jon-pria paruh baya berkepala botak itu mendengus. Ia menatap Gaby dan naskah yang digenggamnya secara bergantian. Ketika hendak mengatakan sesuatu, Gaby lekas mencegahnya. Dengan penuh harap ia menggenggam kedua tangan Pak Jon sambil menggigit bibirnya. Namun perlahan Pak Jon melepas genggaman gadis berkulit putih itu.
            ”Gaalabriaa, maaf. Ceritamu masih seperti yang dulu. Cerita ini pun berkembang ke hal lain dan jauh dari ide cerita awal. Bagaimana bisa setelah melewati konflik percintaan yang berat, kemudian tokoh utama itu dicampakkan, lalu ia rekerasi ke pantai dan terdampar di sebuah pulau. Kemudian di sana dia bertemu seekor hiu yang bisa bicara. Apa maksudnya? Daya khayalmu cukup bagus tapi
            Gaby lekas menyahut, “Oh,,yang itu. Sebenarnya Hiu yang bisa bicara itu adalah kekasih cinta pertamanya yang meninggal. Dia berubah menjadi hiu dan menemui pria itu. Belum ada kan novel yang menceritakan seorang pria yang jatuh cinta dengan hiu? Apa Pak Jon merasa ceritaku ini tidak menarik?”
            Sambil mengelus kepalanya yang botak, Pak Jon kembali menghela nafas panjang. Beliau terlihat kebingungan. Ia sudah tak tahu lagi bagaimana caranya menjelaskan keunikan cerita Gaby yang tak mungkin dibukukan. Bahkan beliau sempat menepis kuat-kuat ketika di dalam kepalanya terlukis seorang pria mencium seekor hiu dan mereka duduk berdua melihat matahari terbit. Itulah ending yang tertulis di naskah Gaby.
            ”Dengar Nak, alangkah baiknya jika kamu mencoba menceritakan sesuatu yang ada di sekitarmu. Misalnya saja kau tinggal bersama dengan bibi mu, lalu kalian hidup dengan berbagai macam kejadian, baik ataupun buruk. Semua itu bisa kau tulis. Rasanya akan terlihat lebih real dan alami,” kata Pak Jon seraya menepuk pundak Gaby.
            ”Ceritamu memang sangat unik, tapi apa mungkin seorang manusia bisa bersama dengan seekor hiu? Ada yang suka, dan bisa memahami daya khayalmu, tapi ada banyak yang tidak suka, dan pasti akan mencemoh ceritamu. Apa sampai sekarang kamu belum jatuh cinta?”
            Gaby yang tadinya terus menunduk, perlahan menaikkan dagunya, lalu menatap pak Jon dengan ekspresi memelas.
            ”Aku, aku belum pernah merasakan hal itu, Pak Jon,” bisik Gaby.
            ”Bapak tahu..bapak tahu!” jawab Pak Jon sambil mengangguk beberapa kali.
            ”Dengar Nak, bapak berjanji akan menerbitkan naskahmu, jika kamu menulis kisah cintamu sendiri bersama dengan seorang pria yang menjadi tambatan hatimu. Bapak berjanji, Nak!” jawab pak Jon seraya menggenggam lembut tangan Gaby.

            Dengan langkah lamban, Gaby keluar dari rukuh itu. Wajahnya kembali pucat saat mendengar nasihat pak Jon, seorang pria tua yang sudah dianggapnya sebagai ayah kandungnya. Sambil menghembuskan nafas kekesalan, Gaby menengadah melihat langit.

            ”Jatuh cinta? Apa aku bisa jatuh cinta? Apa hari ini aku bisa menemuinya? Pria yang dikatakan pak Jon. Pria yang akan membantuku membuat cerita cinta yang nyata dan alami. Seperti apa itu Kak, aku tak mengerti. Bantu aku Kak!” ujar Gaby dalam hati.
            ”Hm, rasanya aku ingin ke mall sekarang!” gumamnya lagi. Sambil mengepalkan kedua tangannya, Gaby berteriak, ”Fighting!”

***
            Guilinia terus mempercepat langkahnya. Dengan nafas ngos-ngosan ia terus berusaha berkomunikasi dengan pria yang sedang berbicara dengannya lewat telpon seluler.

            ”Galabria, dimana dia sekarang?”
            ”Lini, jangan terlihat gusar! Kau akan menyita perhatian semua orang disini!” pinta Ray sambil terus menggandeng lengan istrinya.
            Tak lama kemudian Lini menghentikan langkahnya. Tatapannya menerawang, lalu beberapa saat menatap kembali wajah suaminya yang pucat.
            ”Galabria...dia ada di sini! ” jawab Lini dengan linangan permata di kedua matanya.
            Ray menatap lekat istrinya itu, lalu dengan suara pelan ia berkata, “Tenangkan dirimu dulu! Kita berada di mall. Tak baik kau menangis dan terlihat gusar di sini. Bagaimana kalau ada wartwan yang tiba-tiba mengetahui masalah kita .”
            Lini mengangguk beberapa kali. Diusapnya air matanya itu lalu lekas menata kembali rambutnya.

            ”Ayo Ray, kita cari sama-sama!”
            Raymundo mengangguk sambil terus menggandeng lengan Lini. Namun tak lama kemudian, sebuah sapaan lembut datang tiba-tiba.
            ”Nyonya Guilinia. Kebetulan sekali. Kami baru saja akan pergi ke restaurant. Mujur sekali kita malah bertemu di sini,” kata ibu manajer.
            Lini melihat ibu paruh baya berkonde tumpuk empat itu, kemudian ia menatap lekat sosok Eriol yang berdiri di belakang manajernya.
            ”Selamat sore nyonya Lini. Saya Eriol!” sapa Eriol sambil mengangguk.

            Keringat berjaya di keningnya. Dengan wajah bingung Lini berusaha mengatakan sesuatu pada nyonya yang ada di hadapannya sekarang. ”Ohya, saya hampir lupa. Maaf. Sebenarnya saya...”
            Ray buru-buru memotong perkataan istrinya. ”Kalau begitu kita pergi sama-sama saja!” katanya.
            ”Ohya, mari!” ibu manajer dan Eriol melangkah lebih dulu disusul kemudian Ray dan Lini yang masih terlihat bingung dan linglung.

            ***
            Gaby melangkah masuk ke toko pernak-pernik. Satu-persatu ia mencoba berbagai macam bentuk mata cincin yang terpajang di sana. Tak lama kemudian, seorang pelayan datang dan berkomentar.
            “Wah, cocok sekali di jari kakak! Benar-benar cantik!”
            Gaby sedikit terkejut. Ditatapnya gadis remaja yang tiba-tiba berdiri di sampingnya sambil terus memelototi jarinya.
            ”Hehe..benarkah sebagus itu?” tanya Gaby dengan senyum kecut.
            ”Oh...tentu saja! Aneh sekali. Sudah beberapa kali aku melihat cincin itu dicoba oleh berbagai macam jari, tapi di jemari kakak, terlihat sangat cocok! Kalau aku lihat, jemari kakak ini sangat indah, seperti jari seorang putri, begitu ramping, lentik, berkelas. Karena jemari kakak terawat dengan baik, pasti kakak...punya....buuuaaaanyak  sekali uang!” gadis berambut keriting itu tiba-tiba tersenyum lebar. Kedua matanya yang bulat berkedip-kedip. Bulu matanya yang lentik menjadi sentuhan kesempurnaan kedua mata indah yang sedang menatapnya. Gaby pun terperangah.
            ”Kakak, pasti punya banyak uang, iya kan? Beli lah cincin ini! Aku jamin kakak tidak akan rugi!”

*Cengkriiing
            Simbol U$ dollar terlukis jelas di mata gadis itu.

            Mendengar pujian menggunung untuknya, Gaby pun tak sanggup untuk tidak tertawa.
            ”Siapa namamu?” tanya Gaby seraya mengulurkan tangannya.
            ”Oh..ya, namaku Isela,” gadis pelayan toko itu menyambut dengan hangat tangan Gaby. Sesaat gadis berkulit putih itu berpikir. Nama itu serasa tak asing di telinganya. Ketika hendak bertanya, tiba-tiba teriakan keras menyita perhatian mereka
            ”Pencuriiiiiiiiiiiii! Tolong tangkap pencuri itu!” seorang ibu bertubuh subur terlihat ngos-ngosan mengejar seorang pria berbaju ungu yang beberapa detik melesat melewati Gaby dan Isela.
            ”Hei pencuri, akan kutangkap kau!” teriak Isela.
            Gaby yang semula terperangah, tiba-tiba sadar dan secara spontan kedua kakinya berlari menyusul Isela.
            ”Tunggu!” teriaknya. Gaby terlihat begitu susah payah mengejar Isela yang berlari sangat kencang.
            Mereka bertiga melesat seperti angin, membelah kerumunan pengunjung mall, dan membuat kegaduhan dengan teriakan mereka.

            ”Pencuriiiii, tangkap pencuri itu~!” sahut keduanya secara bergantian.

            Setelah hampir kehilangan jejak, Isela mengomandoi Gaby. Ia berkata, ”Kakak, kita berpencar sekarang! Kakak lewat sana, aku akan lari terus! Pintu keluar area ini cuma satu, jadi kita bisa menangkapnya di sana!”
            ”Oh..yah..yah!” jawab Gaby seraya mengatur kembali nafasnya. Setelah itu buru-buru ia berlari meninggalkan Isela.
            Sesaat ia merasa menjadi orang bodoh sedunia. Mengejar pencuri? Hal ini baru pertama kali ia lakukan. Bahkan ia merasa seolah tak bisa menghentikan langkahnya sampai pencuri itu berhasil ditangkapnya.

            ”Apa yang aku lakukan? Kenapa aku begitu peduli? Haiisssh!” desisnya sambil susah payah berlari dengan high hells-nya.
           
            Tak lama kemudian, setelah berhasil sampai menuju pintu keluar, Gaby mempercepat langkahnya.
            ”Itu..itu mereka!hahaha...” ia begitu gembira melihat sosok pencuri itu dan Isela yang berada di belakangnya.
            ”Hei kau! Jangan lariiii!” teriaknya kembali. Di saat bersamaan, seorang gadis berseragam sekolah yang saat itu berada di dekat tempat kejadian, dengan lihai menjegal kaki pencuri itu
            *bruak
           
            *Suuuiiing
            Dompet itu melayang bebas di saat si pencuri kehilangan keseimbangan dan akhirnya tersungkur pasrah.
            ”Kakak..ambiiiil!” teriak gadis berseragam itu.

            ”Aku dapat..aku dapaat!” seru Isela seraya memanjangkan kedua tangannya untuk merengkuh dompet yang melayang itu.
            Gadis berambut keriting ini begitu cekatan, hingga tangan kanannya berhasil menangkap dompet itu dengan sempurna. Namun gadis berseragam itu berteriak kembali.
            ”Kakak, awaaaasss!”
            Mendengar teriakan gadis itu, Isela sangat terkejut. Kedua mata bulatnya terbuka lebar  saat melihat ke arah bawah.
            *Theng..Theng...suara lonceng berdentum.

            ”Oh Tuhan, apa aku akan mati disini? Aku belum sempat membuka dompet ini dan melihat berapa lembar uang yang ada di dalamnya. Ya Tuhan, tolong jangan ambil nyawaku sekarang. Aku...”
            Nafasnya serasa terhenti dalam beberapa detik. Saat melihat setengah tubuhnya hampir terjun bebas, Isela menutup kedua matanya rapat-rapat. Tak lama kemudian, ia merasakan sebuah rengkuhan kuat menangkap tubuhnya secara tiba-tiba. Setelah merasa tubuhnya berhasil tertahan oleh rengkuhan itu, dengan berat Isela membuka kedua matanya.
            *Tring..tring..tring...
            Sebuah cahaya 100 watt  menyorot wajahnya saat itu.

            ”Dalam mimpi, aku terbaring di atas tumpukan uang. Samar-samar aku melihat setitik cahaya perlahan meluas. Begitu silaunya hingga membuatku harus menutup kedua mata ini. Tiba-tiba ribuan uang kertas itu berjatuhan seperti dedaunan kering. Begitu ringan ia turun, lalu menyentuh seluruh tubuhku dengan lembut. Seorang pria tampan lah yang menghamburkan semua uang hingga aku tenggelam di dalamnya. Jantungku berdegup sangat kencang. Rasanya, tak ada kebahagiaan yang setara dengan mimpiku saat itu.,” ucap Isela dalam hati.

            Seorang pria tampan menatapnya lekat. Begitu dekatnya jarak wajah mereka sampai ia bisa merasakan hembusan nafas pria itu membuat panas di wajahnya.
           
            ”Nona, jangan lakukan hal membahayakan itu lagi! Kau hampir saja terjun bebas dari sini, dan bisa kehilangan nyawamu hanya karena menolong sebuah dompet,” ujar pria tampan itu.
            Isela masih membatu. Semua organ tubuhnya tak kuasa bergerak kecuali kedua matanya yang masih bisa berkedip dengan normal. Secara spontan ia kembali berdiri tegap. Pria berpakaian formal itu pun spontan melepaskan dekapannya.
            ”Eh..hehe..terima kasih! Terima kasih banyak!” ucap Isela sambil mengangguk beberapa kali.
            Pria tampan itu mengangguk gugup.
            ”Tuan Len, rapat satu jam lagi! Kita harus segera kembali ke kantor!” ujar seorang pria berjas yang membawa sebuah buku kecil di tangannya.
            ”O..baik! ayo jalan!” ujar pria tampan bernama Len itu.
           
            Setelah sosok Len dan beberapa orang berpakaian rapi berjalan di belakangnya lenyap, Isela menghela nafas.
            ”Kakak tidak apa-apa?” tanya gadis berseragam itu.
            Isela tersentak. ”Oh, ya, sedikit shock. Terima kasih..emmm...Ge..ta lita..!” jawab Isela setelah melihat pin nama yang terpasang di kemeja gadis berseragam itu.
            ”Tita, hehe..iya..sama-sama Kak! Lain kali kakak jangan nekat ya! Semua perhatian tertuju pada kakak saat itu, sampai-sampai pencurinya berhasil lolos!” jawab Tita.
***     
Sementara itu Gaby berlari sekuat tenaga mengejar si pencuri yang berjalan pincang akibat terjatuh tadi. Sambil mengatur nafasnya, Gaby berpikir bagaimana cara mematikan langkah pencuri itu. ”Kalau di film...aaaa...aku tahu!” gumamnya.

            ”Hei, kau masih belum menyerah ya?” teriaknya.
            Pencuri itu masih terus berlari tanpa menghiraukan perkataannya.
            Isela menghentikan langkahnya. Sambil menghela nafas panjang, ia bersiap melakukan sesuatu. Dilepasnya high hells itu dari kaki kanannya, lalu mengambil ancang-ancang bak pelempar bola kasti yang siap melepar.
            ”Kalau begitu terima ini! Hyaaaaaaaaa!” teriaknya.

            *Slow motion

            Sepatu high hells itu terlempar jauh, bergulat dengan angin, berputar-putar, dan siap mendarat di kepala si pencuri. Namun karena feeling pencuri itu begitu kuat, dengan lihai ia berbalik dan menghindar. Alhasil, sepatu itu mendarat tepat di tempat yang salah.
            *Paakkh

            High hells Gaby menampar telak wajah Eriol, sang bintang idola berjuta kaum hawa yang tanpa sengaja sedang berada di tempat kejadian.

            Theeeengg~~Hening..
            30 detik kemudian...

            BHa..bhaha..bhahahahaah!” pencuri itu adalah orang pertama yang berani tertawa melihat kecelakaan tadi.
            Dengan wajah flat, Eriol menyeka wajahnya penuh emosi. Tangan kanannya meremas sepatu Gaby. Tak lama kemudian, tanpa ragu ia melempar barang di genggamannya itu hingga mendarat selamat di truk pengangkut sampah yang diam membisu tak jauh di tempat mereka sekarang berdiri.
            ”Ma..maaf!” ujar Gaby berulang kali seraya terus membungkuk dengan sudut sempurna sembilan puluh derajat.
            Setelah melihat celah untuk kabur terbuka lebar, pencuri itu cepat melesat dengan membawa kakinya yang pincang. Ia berlari hingga melewati Eriol yang masih menatap dingin sosok Gaby. Tak lama kemudian, sang bintang ini pun tersadar saat suara tawa pencuri itu menusuk-nusuk gendang telinganya.
            ”Tunggu” katanya seraya menepuk pundak si pencuri.
            Wajah pencuri itu langsung membiru saat menatap wajah Eriol yang seperti ingin menerkamnya.
            ”Apa yang kau tertawakan? Hah?” teriak pria bertubuh tinggi kekar itu setelah berhasil mematahkan tulang punggung si pencuri. *Kreek..kerethek
            ”Ampuuun..ampun!” pencuri itu terus merintih kesakitan.
            Tak lama kemudian, seorang wartawan datang. Melihat kejadian itu, ia lekas berteriak memanggil teman-temannya untuk mengambil gambar Eriol yang masih mendekap pencuri itu.
            Sadar akan kehebohan yang akan terjadi, Eriol lekas melempar tubuh pencuri itu sampai tersungkur pasrah, lalu dengan kasar ia menggenggam tangan Gaby dan membawanya lari.
            ”Hei..tunggu,,tunggu! Apa yang kau lakukan? Lepaskan tanganku! Sakit bodoh!” ujar Gaby seraya memukul berulang kali tangan Eriol.
            Setelah keduanya sampai di tempat yang sepi, dengan kasar Eriol melepaskan genggamannya.
            ”Dengar, kau adalah wanita pertama yang berani mengataiku bodoh! Ibuku saja tidak pernah mengatakan itu padaku. Memangnya siapa kau?” tanya Eriol dengan nada suara tinggi.
            ”Hey, kenapa kau berteriak–teriak? Kau pikir aku tuli? Kau pikir aku sengaja melempar sepatuku ke wajahmu? Kau tahu sendiri kan keberadaan pencuri itu? Aku bermaksud menahannya. Siapa suruh kau berada di belakangnya?” balas Gaby dengan nada yang tak kalah tinggi.
            ”Kau”
            ”Hoh? Kau mau menampar seorang wanita? Pria macam apa kau? ” ujar Gaby setelah melihat Eriol hendak menampar wajahnya.
            Tak lama kemudian, seorang wartawan datang.
            ”Hei, itu mereka!” teriak wartawan itu.

            *Gruduk...gruduk..gruduk..
            Puluhan wartawan itu berlari kencang seperti sekumpulan sapi gila yang lepas dari kandangnya.
            ”Ayo!” Eriol menggenggam kembali tangan Gaby.
            Setelah menemukan sebuah gang kecil, secara spontan Eriol menarik tubuh Gaby.
            ”Hei bodoh, kenapa kita...kita harus bersembunyi di sini? Aku...aku sulit bergerak..”
            ‘Tunggu sampai para wartawan itu pergi,” jawab Eriol seraya mengintip para wartawan yang sedang bingung mencari mereka. Beberapa saat kemudian, suasana kembali sunyi.
            “Su..dah..a..man..kan?” tanya Gaby sambil terus menunduk.
            “Seper..tinya..ya..” jawab Eriol.
            Di saat yang sama, pria tampan itu tersadar akan sesuatu. Ia menatap gadis yang berada di hadapannya sekarang dengan wajah bingung.
            ”Hei bodoh, cepat kau keluar dulu!” pinta Eriol dengan muka memerah.
            ”Tubuhku, tidak bisa bergerak!” jawab Gaby sambil menyembunyikan wajahnya di dalam jas Eriol.
            Kedua tangannya masih memegang dada pria bertubuh tinggi itu dengan gemetar. Dalam hatinya, ia terus menggerutu, ”Bagaimana ini Kak? Tubuh kami benar-benar menempel seperti amplop dan perangko. Aku..benar-benar tidak bisa bergerak.”

***
            Beberapa menit keributan karena ulah si pencuri masih merajai suasana mall. Para security berbondong-bondong muncul di tempat kejadian dimana Tita berhasil membuat si pencuri tersungkur lalu kabur, dan Isela yang berhasil menangkap barang curian.
            Wanita bertubuh subursang korban pencurian, dengan tergesa-gesa menghampiri Isela. Gadis berambut keriting ini nampaknya belum sadar dengan kedatangan wanita itu. Malahan dengan santainya ia mengeluarkan tumpukan uang kertas dari dompet yang didapatnya itu, lalu dipukulkannya beberapa kali secara merata di sekujur tubuhnya.
            ”Permisi nona! Apa yang sedang nona lakukan dengan uang saya?” tanya wanita itu setelah beberapa saat, tertegun melihat tingkah Isela.
            Isela tersentak. Tubuhnya hampir loncat saat wanita itu menatapnya dengan eskpresi bingung.
            ”Hohoho...maaf ibu! Saya memang tidak tahan kalau sudah melihat uang. Pencuri itu berhasil kabur, gerakannya cepat sekali,” jawabnya sambil memasukkan kembali belasan lembar uang dollar itu dari dalam dompet. Tapi untung saja, saya mendapatkan dompet ibu kembali! Silahkan diambil!” lanjutnya.
            ”Oh begitu rupanya.”
            ”Yah, begitulah!haha..haha..hahahha,” sahut Isela sambil terus menampakkan senyum konyolnya. Sesekali matanya yang bulat dan lentik itu menyorot pasti dompet berbahan kulit itu.
            Tak lama kemudian Tita menghampiri keduanya.
            ”Wah, beruntung sekali ibu bisa mendapatkan kembali dompet itu. Kalau saja ibu melihat begitu hebatnya kakak ini saat menangkap dompet ibu yang melayang dan hampir jatuh dari lantai 10. Kakak ini hampir saja terjun bebas. Beruntung ada seorang pria yang menangkap tubuh kakak dengan cekatan,” ujar Tita panjang lebar sambil melakukan gerakan atraktif untuk menguatkan ceritanya.
            Sesaat ibu itu terperangah begitu juga dengan Isela. Kedua matanya langsung berbinar-binar menatap Tita. Dalam hati, Isela ingin sekali berteriak, ”Teeeengkyuuuuuu!”
            ”Begitukah? Oh, ternyata anda sangat berjasa besar. Kalau begitu ini untuk anda, terimalah!” pinta wanita itu seraya memberikan uang 50 dollar pada Isela.
            Isela tak sanggup mengedipkan matanya saat melihat cahaya berwarna hijau itu begitu berkilau di depannya.
            ”Hoh? Maaf, tapi rasanya ini terlalu banyak. Saya ikhlas menolong ibu, jadi...”
            ”Sudah, terima saja!” ujar wanita itu seraya menggenggamkan uang itu ke tangan Isela.
            Di tempat yang sama, Lini masih berdiri tegap menyaksikan kejadian itu. Seluruh tubuhnya seperti mati rasa. Mengetahui ketiga adiknya dengan kompak menangkap seorang pencuri, Lini hanya bisa menatap lekat mereka bertiga bersama dengan linangan air mata yang dengan sempurna membasahi pipinya. Tak lama tubuhnya membatu, Ray datang dan sontak mengejutkan Lini.
            ”Kau melihatnya Ray?”
            ”Melihat apa?”
            ”Adik-adikku. Mereka bertiga...aku menemukan mereka bertiga secara bersamaan,” jawab Lini dengan suara gemetar.
            ***

1 komentar: