Minggu, 14 Agustus 2011

3 GP episode 9


Bab 9

“Sex is not love and love is not sex, but sex is the flowers of love and exists only in marriage and only married.”

Lorna terlihat geram. Ia semakin gusar setelah mendapat kabar dari anak buahnya yang bertugas sebagai mata-mata. Orang itu melaporkan sebuah peristiwa yang berhasil ditangkap kamera salah satu wartawan. Mereka membuat berita tersebut dengan judul behind the scene pra wedding Eriol dan Gaby yang berhasil ditangkap kamera. Pose mesra keduanya langsung ia terima lewat ponsel.
            Sambil kembali menormalkan nafasnya yang tak beraturan, Lorna kembali duduk tenang.
            ”Masih ada rencana kedua dan harus berhasil bagaimanapun caranya!” ujarnya dengan mata berapi-api.
            ***
            Setelah helikopter mendarat selamat di area pendaratan, Len terburu-buru keluar. Ia langsung menaiki mobilnya dan pergi menuju gedung resepsi.
            Selama perjalanan, Len tak menyadari kalau sopir yang mengendarai mobilnya itu adalah suruhan Lorna. Karena panik dan takut akan terlambat, Len tak konsentrasi melihat jalan yang mereka lalui. Baru beberapa saat setelah itu, ia mulai merasa ada keganjalan besar.  
            ”Berhenti!” perintahnya.
            Sopir itu menghentikan mobilnya tepat di sebuah dermaga. Sambil mengerutkan dahi, Len terus menggerutu dan memarahi pria itu. Namun karena yang dilakukannya adalah kesengajaan, sopir itu tak merasa bersalah atau panik saat Len menyuruhnya keluar dari mobil dan memecatnya saat itu juga. Baru setelah pria itu keluar tanpa pembelaan diri, Len yakin pria itu adalah suruhan Lorna.
            Dengan kecepatan 100km/jam. Len mengendarai mobilnya keluar dari daerah dermaga. Karena panik, ia terlihat sangat sulit mengenali jalan yang ia lalui. Tempatnya begitu asing. Ia belum pernah kesini sebelumnya.
            Len menghentikan mobilnya. Pandangannya berputar ke sekitar, dengan harapan ada seseorang yang mau membantunya keluar dari daerah asing tersebut. Tak lama kemudian, sebuah sepeda motor balap terlihat berkilau dari kejauhan. Len sadar. Ia pun lekas menghadang sepeda motor itu hingga berhenti di tepat di depannya.
            ”Maaf! Aku butuh batuan,” ujar Len dengan nafas berantakan.
            Pria pengendara sepeda motor itu melepas helmnya. Butir-butir keringat yang membasahi dahi dan rambutnya terlihat berkelip. Pria itu menyanggupi. Dengan tenang ia meminta Len menaiki sepeda motornya. Tanpa pikir panjang, Len pun mulai naik.
            Sepeda motor balap itu melesat dan dengan selamat membawa Len sampai ke tempat tujuan.
            ”Terima kasih. Suatu saat kalau kau perlu bentuanku, aku akan dengan senang hati membantu. Ini kartu namaku,” Len memberikan kartu namanya.
            Pria muda itu mengambilnya.
            ”Alen,” katanya.
            Len mengangguk sambil tersenyum. Pria itu pun tersenyum. Sambil mengenakan kembali helmnya, pria muda itu memberi tahu namanya. ”Aku Vic.”
            ”Akan kuingat,” jawab Len.
            Pria itu melesat. Setelah sosok Vic menghilang, Len berlari menuju gedung.
            ***
            Lorong kanan yang dimasuki Isela sukses besar membawanya menuju ke luar gedung. Tempat itu adalah kebun belakang yang sepi, tak terjamah oleh para reporter maupun security.
            ”Huh, beruntung sekali kau Isela. Sekarang saatnya untuk kabur. Tak ada gunanya aku disini. Toh kak Lini juga terlihat sangat terbebani dengan pernikahanku. Semua akan baik-baik saja. Cukup menjadi Isela yang dulu. Seorang gadis yang hidup di jalan dan tak butuh siapapun untuk melindunginya.”
            Setelah memantabkan keputusannya, ia merengkuh sebuah tali tambang yang sudah ia gantungkan di atas pohon yang berdiri kokoh di seberang. Saat ini ia bermaksud kabur dengan cara berayun dari lantai atas menuju ke bawah. Setelah membenahi gaun pengantinnya, Isela mulai berayun.
            Di saat yang sama, seorang pria berjalan tak jauh dari zona pendaratannya. Karena firasat akan saling bertabrakan memiliki prosentase yang sangat tinggi, Isela pun lekas berteriak.
            ”Watch ooooooouuut!”
            Lima detik kemudian...
            *Bruak..
            Isela mendarat selamat. Tubuhnya terlentang dengan sempurna dengan Len sebagai alasnya. Kedua mata saling bertemu, namun tak ada ekspresi terkejut yang berarti.
            ”Sampai kapan kau tidur di atasku? Tubuhmu sangat berat!” ujar Len seraya berusaha untuk bangun.
            ”Inikah pria yang ingin aku temui? Aku sangat merindukan wajah ini, suara ini, dan sentuhan ini. Haruskah aku melanjutkan aksi kaburku? Tidak, aku bukan kabur untuk pernikahan. Aku kabur untuk mencarinya. Isela, kau ketahuan!”gerutunya dalam hati. Perlahan matanya berair. Len yang semula berusaha kuat untuk bangun, dalam sekejap melemaskan tubuhnya. Satu tetes air mata berhasil turun membasahi pipi Len.
            ”Kenapa kembali? Harusnya kakak tetap disana menemani kak Yesa. Kenapa kesini?”
            Len terdiam dan Isela menangis tanpa isakan. Bibirnya tetap tersenyum namun ia tak mampu membendung air matanya karena rasa rindunya begitu meluap-luap.
            ”Maaf aku tidak menelponmu,” ujar Len.
            Isela menggeleng sekali. ”Tidak, semua ini salahku, benar kan? Harusnya kalian tidak perlu berkorban hanya karena aku. Aku tidak ingin membebani siapapun.”
            ”Kau tidak membebaniku. Jangan menangis lagi!”
            Isela tersenyum dalam tangis. Sejenak kepalanya bersandar dan Len memeluknya.
            Tak ingin berlarut dalam kesedihan, tak lama kemudian Len mulai menggoda Isela. ”Hei, jantungmu berdetak kencang sekali,”bisiknya.
            Godaan Len berhasil. Isela langsung melebarkan matanya. Buru-buru ia bangun lalu kembali menata rambut dan bajunya dengan wajah merah padam. Melihat itu Len hanya tersenyum simpul, lalu sesekali mengalihkan pandangannya.
            Tak lama kemudian...
            Cekrik..cekrik..
            Kini giliran para reporter dan wartawan beraksi.       
            ***
            Dua rencana besar Lorna gagal. Emosinya semakin naik ketika ia tak dapat mematikan langkah Len. Hyena yang duduk di sampingnya turut emosi. Namun ketika hendak berkata, ia terlanjur ketakutan melihat Lorna.
            ”Hyena, rencanaku memang tak berhasil, tapi hanya untuk kali ini.”
            ”Benar, masih ada rencana lain menanti,” ujar Hyena.
            ”Bulan madu akan kubuat seperti di neraka.”

            ***

            ”Titaaaaa, kau melupakan bekalmu! Bi Iyam rela bangun pagi untuk membuatkanmu ini, jangan sampai ketinggalan!” ujar Lini seraya berlari dari dapur menuju keluar rumah.
            Bus pariwisata sudah berpose membisu di depan rumah Tita. Semua teman sekelasnya ramai memanggil namanya dari dalam bus. Pasalnya, mereka takut terlambat sampai ke dermaga karena menunggu Tita yang masih kelabakan di dalam rumahnya.
            Setelah berhasil masuk dalam bus, semua temannya berteriak gaduh. Gadis ini pun berulang kali membungkuk minta maaf.
            ”Sorry, maaf!” katanya.
            ”Tita, kau memang ratu terlambat ya!” goda salah satu temannya.
            Tita mengerutkan dahi. Sesekali ia tersenyum kecut lalu duduk lemas di sebelah Nicky sahabatnya. Kedua pundaknya terangkat ke atas. Saat itu Tita terlihat bersusah payah mengatur nafasnya yang berantakan. Tanpa berkata embel-embel, Nick menyodorkan botol minum pada gadis ini. Melihat itu, Tita pun langsung menyahut. Wajahnya begitu gembira sambil berkata terima kasih.
            ”Kau tidak ingin tanya kenapa aku terlambat?” tanya Tita pada Nick.
            Pria yang dijuluki baby face ini hanya tersenyum lalu beralih pandang ke jendela. Dengan penuh perhatian Nick meminta Tita melihat pemandangan yang terhampar di luar.
            ”Uwaaaa, aku jadi tak sabar ingin cepat melukis disana,” ujar Tita.
            Nick kembali tersenyum. Sesekali wajahnya terlihat begitu menikmati udara yang dihirupnya. Bagi Tita, hanya melihat wajah Nick saja ia langsung tenang. Tak perlu dirinya berusaha mengatur nafas, atau berekspresi sama seperti Nick. Sayangnya saat itu, Nick yang berwajah ramah dan terlihat begitu banyak kedamaian muncul hanya dengan melihat wajahnya, tetap tak mampu menghapus kerisauan Tita. Karena tak mampu membendung rasa penasarannya, Tita menegok ke belakang. Di samping kirinya terjarak dua buah bangku dari belakang, matanya begitu lekat melihat Vic yang sedang tertidur pulas. Di saat yang sama ia teringat kata-kata kakaknya pagi itu.
            ”Mulai sekarang kakak meminta salah satu teman sekelasmu untuk menjagamu dimanapun Tita pergi. Kakak sudah menceritakan semuanya tentang Lorna, jadi kakak mohon Tita harus menuruti kata-kata kakak!”
            ”Maksud kakak aku punya penjaga pribadi? Siapa?”
            ”Vic, kau kenal kan?Dia bisa tae kwondo, silat, kungfu, bahkan tinju.”
            ”Apa? Vic?Tidak mungkin dia mau menjadi bodyguardku? Aku dan dia jarang bicara kak. Lagipula setiap kali aku mendekatinya, dia selalu menghindar. Dia mahkluk tercuek yang pernah ada.”
            ”Ohya? Aneh sekali. Padahal dia sendiri yang mengajukan diri.”
            Tita kembali merengut. Setelah tak menemukan jawaban, ia kembali duduk ke posisi awal. Dilihatnya Nick yang tertidur pulas saat itu. Ia pun kembali menghela nafas. Saat itu Tita ingin sekali menceritakan kerisauannya. Tak lama kemudian, ponselnya berdering.
            ”Halo kak!” ujar Tita.
            ”Hei adik manis, kapan kau datang? Kakak sudah sampai di Bali,” ujar Isela di seberang.
            “Jangan tanya, tentu saja belum sampai. Kakak kan naik pesawat. Curang!” Tita berusaha protes.
            ”Hahahahahhaha,” Isela menjawabnya dengan tawa panjang.
***
            Kamar 202 dan 204 berseberangan. Sebelum masuk, Isela dan Gaby saling pandang. Wajah mereka memelas bak sepasang saudara yang hendak dipisahkan.
            ”Isela, jaga dirimu ya!”
            ”Kau juga kak!” sahut Isela tak kalah melas.
            Eriol menahan nafas sejenak. Bibirnya komat-kamit sambil menatap Gaby penuh kekesalan. Sedangkan Len tetap dengan wajah kalemnya. Tak menunggu lama, Eriol menggandeng Gaby masuk ke kamar. Hal yang sama pun dilakukan Len.
            Sesampainya di kamar, Eriol tak henti-hentinya mengoceh. Dengan nada bicaranya yang selalu tinggi, ia berkata, ”Tindakanmu itu kekanak-kanakan sekali. Memangnya aku ini suami yang hendak memakan istrinya sendiri?”
            Gaby yang sedang mengeluarkan pakaian-pakaiannya dari dalam tas, langsung terpaku. Tak lama kemudian ia berbalik menatap Eriol dengan sinis.
            ”Kau ini sensitif sekali. Berhentilah mengkritik apapun yang aku lakukan. Dan satu hal lagi, jangan katakan aku istrimu dan kau suamiku. Aku hanya belum siap mendengar sebutan itu,” ujar Gaby. Nadanya semakin merendah. Wajah suramnya kembali terpancar. Dalam sekejap Eriol pun dibuatnya salah tingkah.
            ”Yah benar. Sebenarnya aku juga belum siap menerima kenyataan kalau kita sudah menikah. Jadi kau jangan menuntun macam-macam padaku!” balas Eriol dengan nada meninggi.
            ”Hei, seharusnya itu dialogku!” Gaby protes tak terima.
            ”Galabria, sekeras apapun kau melawanku, kau akan tetap kalah. Bagaimanapun juga kau seorang gadis. Hanya satu kecupan di pundak saja kau sudah setuju menikah denganku. Bagaimana kalau aku melakukan hal lain yang lebih berani? Apa reaksimu?” perlahan Eriol maju selangkah demi selangkah dengan maksud membuat Gaby kelabakan.  Gadis ini pun dengan gugup terus melangkah ke belakang. Saat tubuhnya hendak jatuh terlentang di atas ranjang, Eriol langsung meraih lengannya hingga tubuh Gaby sedikit terpanting dan akhirnya jatuh di atas tubuhnya.
            ”Kau..mau apa?” tanya Gaby dengan nada gemetar. Sesekali pandangannya beralih karena tak kuat beradu tatap dengan Eriol yang kini menjadi alasnya. Tangannya yang besar terus mendekap punggung Gaby hingga gadis ini pun sulit melepaskan diri.
            ”Taruhan kita masih berlaku kan?”
            ”Apa?”
            ”Karena kita sudah menikah, semuanya akan terasa lebih mudah, seperti sekarang.”
            Perlawanannya mencapai puncak. Gaby pun sekuat tenaga melepas dekapan Eriol dan kembali berdiri. Ia berjalan jauh dari ranjang menuju kamar mandi. Eriol tersenyum puas. Beberapa saat kemudian, Gaby menutup pintu kamar mandi dengan keras hingga membuat pria ini tersentak. Saat bibirnya hendak meneriakkan kalimat makian, suara ponselnya berdering nyaring.
            ...
            ”Haruskah sekarang?”
            ”Ya. Hyena sudah tiba di lokasi pemotretan. Segeralah kau ke sini. Jangan membuat para kru menunggumu lama,” jawab orang di seberang.
            ***
            Sesampainya di kamar, Isela berlari kencang menuju kamar tidur. Setelah menemukan ranjang putih berukuran besar terbentang di depan matanya, tanpa ragu ia menjatuhkan tubuhnya di atas sana. Melihat tingkah istrinya itu, Len hanya tersenyum simpul. Dibukanya syal berwarna biru lembayung yang mengikat lehernya, kemudian duduk santai di sofa dekat jendela.
            ”Hm, nyamannya! Isela terus bergulat dengan bantal, guling dan selimut tebak yang kini membelit sempurna seluruh tubuhnya. Len sampai speechells. Iya tak tahu lagi harus berkomentar apa.
            Tak berapa lama Isela menghentikan aksinya. Dengan wajah merayu khas anak kecil, Isela mengajak Len pergi ke pantai. Kedua mata lentiknya berkedip-kedip penuh harap agar keinginannya terkabul. Namun ekspresi bahagia yang ditunjukkan Len malah memudar.
            ”Maaf, aku lupa memberitahumu lebih awal. Hari ini aku tidak bisa menemanimu jalan-jalan.”
            Dengan cepat senyum Isela memudar dari wajahnya.
            ”Investor asing memajukan perjanjian dan hari ini aku harus menemuinya. Tidak apa kan?” sekarang giliran Len merayu.
            Senyum Len membuat Isela tak bisa membantah. Gadis ceria dan cukup masa bodoh ini mengangguk pasti, namun setelah Len berjalan menuju kamar mandi, ekspresi kecewanya tumpah, seperti ada pukulan keras yang menghantam dadanya.
            ***
            ”Kau sudah mandi?”
            Sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, Gaby mengangguk. ”Sudah aku siapkan air hangat. Kau bisa mandi sekarang,” ujarnya seraya berjalan santai melewati Eriol.
            ”Galabria, hari ini aku tidak bisa menemanimu jalan-jalan. Ada pemotretan mendadak di pantai. Kalau kau mau ikut...” melihat Gaby mematung, Eriol tak tega melanjutkan kalimatnya. Dengan terpaksa ia berjalan masuk ke kamar mandi setelah Gaby tak mengucapkan sepatah kata pun.
            Setelah setengah jam berbenah diri, Eriol pun bersiap pergi. Namun tak berapa lama, ia ragu. Tubuhnya berbalik lalu menatap Gaby yang masih mematung sambil melihat pemadangan dari balik kaca. Setelah menghela nafas, pelan-pelan ia menghampiri Gaby lalu menjongkok di depan gadis ini.
            ”Aku dengar Tita akan kesini dengan teman-temannya. Bagaimana kalau kau bersenang-senang bersama mereka? Bukan ide yang buruk kan?”
            Gaby masih tak menyahut. Tatapannya tak beralih sedikitpun dari arah jendela. Eriol kembali menghela nafas. Ekspresinya terlihat begitu serius meredam emosinya.
            ”Gaby, menoleh lah sebentar!Aku ingin memberimu sesuatu,” pinta Eriol kini dengan nada lembut.
            Tak menunggu lama, Gaby pun menghadap Eriol dengan ekspresi flat. Sebelum Gaby mengeluarkan ekspresi lain, dengan lembut kedua tangannya menyentuh wajah Gaby, lalu mencium bibirnya.
            Beberapa saat kemudian...
”Aku berangkat! Jangan menungguku. Bersenang-senanglah dengan Tita!” setelah mengucapkan hal itu, Eriol berlalu.
            Gaby kembali mematung. Organ tubuhnya mati rasa dalam sesaat. Kedua mata indahnya berkedip begitu pelan. Tak lama kemudian, kelima jemari dari tangan kanannya menyentuh bibirnya dengan lembut. Kebahagiaan yang berjalan singkat itu membuat jantungnya tak henti berdebar kencang.
            ***
            ”Berangkat sekarang?” tanya Isela setelah melihat Len sudah berpakaian rapi.
            Len mengangguk. Ia tersenyum dengan menyembunyikan rasa bersalahnya. Isela yang menyadari itu lekas menghampiri Len. Ia membantu pria itu mengenakan dasi.
            ”Maaf,” ujar Len kembali.
            Isela menggeleng. Dengan wajah ceria yang meledak-ledak, ia menceritakan apa saja yang akan dilakukannya untuk menghabiskan hari ini.
            Len menghela nafas. Setelah perasaannya tenang, ia bergegas mengambil tasnya lalu berjalan menuju pintu keluar. Ketika hendak meraih daun pintu, tiba-tiba Isela memanggilnya. Len berbalik dan Isela gelagapan. Pria ini tersenyum sambil sesekali menggaruk alisnya. Sementara itu Isela masih berfikir.
            ”Aku..lupa..” ujar gadis berambut keriting ini dengan tawa terpaksa.
            Pelan-pelan Len berjalan mendekati Isela. Gadis ini pun hanya bisa tertunduk. Ia berusaha menyembunyikan ekspresi gugupnya. Len sedikit merendahkan tubuhnya. Kedua matanya menatap Isela dengan hangat.
            ”Aku memberimu waktu 1 menit. Kau bisa memandangi wajahku sepuasmu,” ujar Len seraya menutup matanya.
            Isela membuka kedua matanya lebar-lebar. Dengan polosnya ia menatap wajah Len. Sesekali kedua tangannya berusaha menyentuh pipi Len, namun ia mengurunkan niatnya. Satu menit berjalan begitu saja. Saat membuka mata, keduanya sama-sama terkejut. Secara kompak mereka saling menjauh. Untuk menormalkan kembali debaran jantungnya, berulang kali Len mengatur nafasnya, lalu mengenakan kembali jasnya.
            ”Aku berangkat!” ujar Len seraya keluar dari kamar. Setelah sosok suaminya itu menghilang, Isela langsung menepuk-nepuk kedua pipinya sampai memerah.
            ***
            ”Teman-teman, kita semua hampir sampai ke penginapan!Ayo semuanya bersiap!” teriak Mahira selaku ketua kelas.
            Semua siswa sudah bersiap-siap untuk turun, namun Tita masih bertahan memejamkan matanya. Kepalanya masih nyaman bersandar di pundak Nick. Berulang kali Nick memanggil namanya, tapi Tita tetap tak bereaksi. Tak menunggu lama, Vic datang. Tanpa mengatakan embel-embelnya pada Nick, ia langsung menggendong Tita di pundaknya.
            ...
            ”Vic, sebelah sini!” ujar Mahira teman sekamar Tita. Ia menunjukkan ranjang Tita yang berada di pojok dekat jendela. Perlahan Vic membaringkan gadis ini di ranjangnya. Melihat gadis ini yang tak terbangun sedetikpun membuat Vic sedikit mengembang senyum keheranan. Bahkan ia sempat terus menempel di pundak Vic meski Vic dan Mahi sudah berusaha mengoyak tubuhnya. Tak berapa lama setelah Tita kembali nyaman dengan bantalnya, Mahi berkata pada pria berekspresi datar ini. ”Kelihatannya dia begitu nyaman tidur di punggungmu. Aku juga sedikit heran, kenapa tiba-tiba kau begitu dermawan apalagi dengan Tita, gadis yang selalu heboh di kelas dan selalu membuatmu kesal. Apa sempat terjadi sesuatu dengan kalian?” Mahi semakin penasaran saat melihat Vic begitu nyaman membelai rambut Tita.
            Dengan wajah bak malaikat, Tita tetap dengan nyamannya melanjutkan tidurnya. Jemari Vic menyentuh lembut bibir Tita dan gadis ini pun menggenggam tangannya. Melihat Vic yang jarang tersenyum kini tersenyum lebar, Mahira sempat terheran-heran.
            ”Setelah dia bangun, jangan katakan apapun tentang aku. Bilang saja Nick yang menggendongnya kesini,” ujar Vic sambil tersenyum.
            Sejenak Mahi yang melongo langsung terpesona. Pasalnya, Vic yang terkenal karena wajah dingin dan tanpa ekspresi itu baru saja melempar senyum manis padanya. Mahi pun spontan mengangguk pelan seperti terhipnotis. Vic pun mengangguk. Perlahan ia melepas tangannya dari genggaman Tita, lalu beranjak keluar dari kamar.
            ***
            It’s time to painting. Sesampainya di Tanah Lot, semua siswa berhamburan menvcari obyek melukisnya masing-masing. Saat itu Tita bersama Mahi membawa peralatan melukis di kedua tanagn mereka. Fllay-sahabat Tita turut ikut sebagai model obyek sahabatnya itu dan Mahira. Setelah menemukan posisinya nyaman, keduanya mulai melukis. Sementara Fllay sang model, berpose dengan duduk di atas karang sambil memandang laut.
            Tak terasa dua jam berlalu dengan keheningan. Sang model pun turut kelelahan meski ia tak menggerutu seperti anak kecil.
            ”Tita, makan siang yuk!” ajak Mahi seraya membereskan peralatan lukisnya.
            ”Jangan terlalu lama melukis!” ujar Fllay seraya berjalan ke arah Tita, lalu menengok hasil lukisan gadis ini.
            ”Kalian duluan saja! Aku masih ingin melukis suatu tempat,” ujar Tita seraya beranjak dari posisinya.
            Fllay langsung pergi diikuti Mahi yang melambaikan tangannya. Tita membalas lambaian tangan itu, lalu berjalan ke suatu tempat.
            Alas kakinya ia lepas saat menuruni batu karang dan menyusurui pantai dengan ribuan butir pasir yang memanjakan kakinya. Setelah menemukan sudut pandang yang tepat, Tita bersiap menata perlengkapan melukisnya. Ia duduk tak jauh dari bibir pantai Tak lama membuat sketsa, bola matanya mulai berputar menatap sekeliling. Saat itulah Tita terkejut saat melihat Vic sedang asyik tidur tak jauh dari tempatnya. Sejenak rasa penasarannya kembali sedikit demi sedikit. Karena itulah Tita berani mendekati Vic untuk memperolah jawaban atas kerisauannya itu.
            ”Vic!” sapa Tita.
            Pria ini tak menjawab. Tubuhnya tak bergerak sedikit pun saat suara Tita berdengung cukup nyaring di dekat telinganya. Melihat hal itu, Tita menghela nafas. Ia ingin bicara saat itu dan berharap Vic tak mendengarknya.
            ”Vic, mahkluk seperti apa? Sampai sekarang aku tidak tahu apa yang ada di pikiranmu. Kenapa kau tidak seperti teman-teman yang lain? Kau misterius. Kadang aku merasa takut, tapi aku juga tidak ingin lari.”
            Tita mulai menghadap Vic. Tangan kanannya mulai lihai bergerak menggambar goresan wajah seseorang.
            ”Seharusnya aku pura-pura tidak melihatmu. Seharusnya aku berpura-pura tidak mendengar apapun tentangmu. Tapi aku sulit menutup itu semua. Semakin aura gelap itu menyelimutimu, aku semakin ingin masuk ke dalamnya. Aku bodoh ya?” gumamnya sambil terus memainkan pensilnya.
            Tak lama kemudian, Vic terbangun. Ia membuka kedua matanya perlahan dan melihat Tita dengan ekspresi datar, tanpa ada keterkejutan yang berarti. Sementara Tita yang khusuk dengan lukisannya, langsung tersentak saat melihat Vic mendekatinya. Parasnya begitu gugup sekaligus malu. Ia takut Vic mendngar ocehannya tadi.
            ”Kau..kau..” saat hendak bertanya, Vic melepas walkman yang sejak tadi menyumbat telinganya. Tanpa berpamitan atau setidaknya menyapa, Vic berlalu begitu saja.
            ”Hei, kau kira aku ini penampakan?” teriak Tita setelah emosinya sudah mencapai puncak. Teriakan itu sempat memaku Vic, tapi belum bisa membuat pria dingin ini mau membalikkan badannya. Dengan santainya ia melanjutkan langkahnya tanpa sekalipun melihat wajah Tita yang terlihat sangat gusar.
            ***
            Sudah hampir setengah hari, Isela dan Gaby berkeliling kota Bali. Mereka melakukan banyak hal terlebih kuliner. Kedua saudara kandung ini ternyata memiliki satu kesamaan yang menonjol, yaitu hobby makan.
            ”Isela, coba kau hubungi Tita lahi, siapa yahu dia sudah selesai,” pinta Gaby dengan makanan yang masih penuh di mulutnya.
            ”Oke,” sahut Isela seraya memainkan jemarinya pada layar touch screen di ponselnya.
            “Hm, masih nada sibuk. Heh, dasar anak kecil. Gaya sekali dia,” ujar Isela yang sedikit gusar karena sejak tadi ponsel adiknya itu selalu bernada sibuk.
            ”Setelah ini, ayo kita ke pasar Sukowati. Aku ingin beli beberapa baju tipis dan selendang,” ajak Gaby.
            ”Oke,” sahut Isela sambil menyahut kembali sendok dan garpunya.
            ***
            Setelah acara makan siang selesai, para siswa langsung menikmati waktu bebas mereka yang sudah dijatah tiga jam lamanya.
            Matahari masih terik-teriknya. Tita bersama Mahi dan Fllay mengunjungi Tanah Lot kembali. Mereka dengan hati-hati menaiki batu karang yang tinggi dan licin itu.
            ”Uwaaaaa, indahnya!” teriak Tita seraya merentangkan tangannya.
            Mahi yang berdiri di sampingnya turut melakukan hal yang sama. Sementara Fllay, ia terlihat begitu menikmati udara pantai tanpa mengeluarkan suaranya sedetik pun. Kedua tangannya tetap menyentuh kedua pahanya. Ekspresi yang begitu tenang dari Fllay selalu mebuat Tita teringat pada Vic.
            ”Fllay, apa pendapatmu tentang Vic?” tanya Tita tiba-tiba.
            Mahi menoleh dengan cepat. Ia melihat ekspresi Tita begitu penasaran. Sementara Fllay, ia sedikit terkejut namun ia masih terdiam.
            ”Kenapa tiba-tiba kau tanya seperti itu?”
            ”Tidak, aku hanya berfikir kalian punya banyak sekali kesamaan. Wajahmu saat tenang begitu persis dengan Vic. Menurutku pribadi, kalian sangat serasi,” ujar Tita tak lupa menunjukkan kedua jempolnya pada Fllay.
            Gadis ini tersenyum kecut. Ia tak menunjukkan sedikit pun perlawanan ataupun rasa setujunya mendengar pendapat Tita. Sampai akhirnya mereka bertiga melihat Vic berjalan bersama Nick, dan Oncu. Oncu adalah teman sekelas Tita yang over energik dan funny.
            ”Aku rasa pendapatmu ada benarnya juga. Kalau aku berdampingan dengannya, mungkin aku bisa mengalahkan pasangan terfavorit kita di sekolah.”
            ”Pasangan terfavorit masih dipegang olehku dan Nick. Kalau tiba-tiba kau menjalin hubungan khusus dengan Vic, ada kemungkinan posisiku akan bergeser, hahaha,” seru Tita sambil memanjangkan tawanya.
            Fllay tersenyum penuh arti. Wajahnya yang sedikit angkuh itu menatap Vic dari kejauhan. Seolah-olah ia sudah menentukan sasaran untuk membuat pria itu tunduk padanya. Melihat ekspresi dingin itu, Mahi segera menyela.
            ”Aku rasa Vic menyukai Tita. Buktinya tadi siang dia yang menggendong Tita sampai membaringkannya di ranjang. Lalu tangannya itu membelai halus rambut Tita bahkan ia sempat menyentuh bibir Tita dan Tita menciumi jarinya. Lalu...”
            Mendengar hal itu terucap begitu lancar dari bibir Mahira, Tita dan Fllay syok. Fllay tetap dengan wajah dinginnya, namun kedua matanya sempat terbuka lebar sambil mendengus. Sementara Tita, langsung berwajah pucat. Gadis ini tak henti-hentinya mengoyak tubuh Mahi sambil terus bertanya hal yang sama, ”Benarkah? Kau pasti salah. Aku tidak mungkin melakukan hal memalukan itu.”
            Mahi menutup mulutnya rapat-rapat. Saat itu ia teringat jelas permohonan Vic padanya sambil tersenyum simpul.
            ”Bagaimana ini? Apa Vic akan marah padaku? Dia bilang tidak boleh mengatakan hal ini padamu,” ujar Mahi dengan nada gemetar.
            ”Tapi katamu tadi Nick yang menggendongku?”
            ”Vic yang menyuruhku mengatakan itu. Aku juga tidak tahu apa maksudnya. Aku pikir kalian sedang backstreet.”
            Tita merengek. Perlahan ia duduk lemas di atas batu karang, sementara Fllay terus meliriknya sinis. Tak lama kemudian Oncu menyadari keberadaan mereka disusul Nick dan Vic. Dengan komando Oncu, Nick dan Vic pun turut mengikutinya menghampiri tiga gadis cantik itu.
            Saat mereka sampai, ketiga gadis ini pun kompak berwajah pucat. Terlebih Tita yang saat itu terus menunduk malu. Jantungnya berdegup kecang. Darahnya terasa panas dan kedua kakinya terus gemetar saat Vic berdiri tak jauh dari tempatnya.
            ”Hei Tita, kau mau kemana?” tanya Fllay seraya berjalan menyusul Tita.
            Karena tak hati-hati dibekali otak yang eror, Tita pun terpeleset dan tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Melihat sahabatnya itu terjun bebas, Fllay pun spontan mengikuti jejaknya.
            *Byurr..byurr..
            ”Tita..Fllay!” teriak Mahi.
            Oncu, Nick dan Vic langsung kompak melihat ke bawah.
            ”Mereka..mereka berdua..tidak bisa berenang,” ujar gadis ini kembali.
            Ketika Oncu hendak lompat, Nick dan Vic mendahuluinya. Kedua pria pemberani ini berenang menyelamatkan Tita dan Fllay yang hampir tenggelam.
            ***
            *Bug

            ”Aduh..sakiiit!” rintih Gaby.
            Isela menoleh. Kedua matanya terbelalak saat melihat Gaby tiba-tiba terjatuh. Dengan susah payah ia pun membantu kakaknya itu kembali berdiri.
            ”Pantatku sakit!” rintihnya kembali.
            ”Bagaimana mungkin kakak bisa tiba-tiba jatuh? Makanya, jaga pikiran supaya tidak kosong,” Isela memberi nasihat sambil memapah Gaby.
            ***
            Dengan susah payah akhirnya Nick dan Vic berhasil menyelamatkan kedua gadis itu. Setelah mengeluarkan air di mulutnya, Tita lekas terbangun. Saat membuka mata pertama kali ia melihat sosok Nick tersenyum lega. Perlahan ia membantu Tita bagun. Saat keseluruhan nyawanya kembali, Tita melihat ke belakang setelah mendengar suara Vic memanggil nama Fllay.
            Dengan penuh perhatian Vic menepuk-nepuk punggung Fllay sampai gadis ini mengeluarkan air yang diminumnya. Saat itu Tita melihat jelas begitu paniknya Vic saat melihat sahabatnya itu. Menyadari perasaan Tita yang galau, dengan sabar Nick meminta Tita berjalan perlahan. Hari semakin sore dan Tita harus istirahat.
            Selama menyusuri pantai, perasaannya tak henti-hentinya bergulat tentang Vic. Saat ingat ucapan kakaknya, Tita merasa sangat marah. Saat itu ia ingin sekali meninju muka Vic di depan semua orang. Ia akan terus meninjunya sampai Vic menjawab pertanyaannya.
            ”Penjaga pribadi apa? Aku hampir tenggelam tapi dia tidak menyelamatkanku. Dasar pria aneh, menyebalkan,” gerutu Tita dengan suara pelan.
            Setelah melihat Fllay bisa kembali berjalan dan kedua temannya menghampiri, Vic lekas melepas genggamannya. Ia berjalan santai di belakang Tita. Diam-diam terus mengamati gelagak Tita yang masih berjalan sendiri sambil merengkuh kuat handuk yang menyelimuti sekujur tubuhnya yang basah.
            Tak lama kemudian langkahnya terhenti. Sebuah tangan yang besar merengkuh kuat lengannya. Tita menoleh dan hendak menggerutu di depan orang itu. Namun ia tak sempat melakukannya karena Vic memandangnya dengan ekspresi tenang. Perlahan tapi pasti Vic jongkok di depannya. Ia menunjukkan punggungnya seolah menyuruh Tita naik.
            ”Apa maumu? Kau takut dipecat kakakku? Tenang saja, aku tidak akan bilang apapun pada kak Lini. Lagipula aku tidak suka ada orang yang mau menolongku karena terpaksa,” ujar Tita seraya berjalan melewati Vic. Baru beberapa langkah, dengan cepat Vic merengkuh kembali lengan Tita lalu dipaksanya gadis ini sampai berhasil naik ke punggungnya.
            Sejenak Tita masih tak mampu meredam emosinya. Semakin lama suara ombak yang berderu membuat hatinya kembali tenang. Tanpa ragu ia menyandarkan kepalanya di rambut Vic yang harum. Tangannya mulai merengkuh erat hingga leher Vic tertutup sempurna. Kedua matanya terpejam perlahan.
            ”Vic, jawab aku!”
            ”Ya!” sahut pria ini singkat.
            ”Siapa kau sebenarnya? Pertama kali bertemu denganmu, aku sudah merasakan hal berbeda akan masuk dalam hidupku. Tapi hal baru itu membuatku terus bertanya setiap saat. Saat tidak menemukan jawaban, rasanya dadaku sesak. Aku ingin menangis saja.”
            ”Kalau begitu tanya saja. Apa yang bisa kujawab akan kujawab.”
            ”Kenapa kau melakukan hal ini? Aku tidak pernah menyuruhmu kan?” tanya Tita kini dengan suara berat. Vic sadar, gadis yang sedang digendongnya ini mulai setengah sadar. Menyadari hal itu, Vic hanya tersenyum lebar. Dibiarkannya Tita terlelap di punggungnya tanpa memberi jawaban atas pertanyaan gadis ini.
            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar