Senin, 15 Agustus 2011

3 GP episode 13


Bab 13

”Love is Fire  in Water.”

            Len masuk ke mobilnya. Lama ia duduk dengan tatapan menerawang. Sesekali ia menggigit bibirnya. Kepalanya bersandar pada setir cukup lama. Perlahan kedua matanya mulai berair. Pikirannya begitu kalut. Saat itu, ia benar-benar tidak bisa membedakan antara rasa kasihan, simpati, empati, dan cinta. Berulang kali ia berkata ”maaf”. Permintaan maaf untuk dirinya sendiri dan juga untuk orang-orang yang tersakiti karenanya.
            Tetesan air hujan mengembuh di jendela mobilnya. Saat melihat itu, Len pun teringat Isela. Rasa khawatir memenuhi pikirannya kembali. Setelah berhasil terhubung dengan pak Ryan, Len pun lekas menanyakan keberadaan istrinya sekarang.
            Pria ini terkejut saat pak Ryan dengan nada penuh rasa bersalah mengatakan kalau ia kehilangan Isela.
            ...
            ”Nona meminta saya mengantarnya di rumah sakit. Tapi sampai sekarang nona tidak keluar. Saya juga khawatir tuan,”jawab pak Ryan.

            Len lekas menutup ponselnya. Dengan paras kebingungan dan khawatir, ia pun lekas keluar dari mobil, lalu berlari menyusuri rumah sakit.
Lama sudah ia berkeliling, tapi tak mendapapat apapun. Saat kedua kakinya tak mampu berdiri lagi, Len duduk lemas. Tubuhnya bersandar pada tembok sambil berusaha mengatur nafasnya yang tak beraturan. Tak lama setelah emosinya cukup stabil, saat itu juga ponselnya berdering.
...
            ”Len.”
            ”Isela, kau dimana? Apa kau masih di rumah sakit?’
            ”Len, aku takut sendirian.”ujar Isela dengan suara berat. Ia berusaha berkata seolah ia baik-baik saja, padahal dadanya terasa sesak menahan tangis.
            ”Isela, katakan kau dimana sekarang?” ujar Len seraya beranjak dari tempatnya dan berlari menuju mobilnya.
            ...
            Setelah mengetahui keberadaan gadis ini, Len pun langsung menuju ke tempat tersebut. Langit yang gelap pekat, perlahan mulai muncul warna biru kekuningan. Hujan yang tadinya deras, perlahan mereda. Embun pagi mulai menguasai atmosfir.

            Saat turun dari mobil, Len begitu merasakan sejuknya pagi itu. Matahari masih malu-malu untuk menampakkan sinarnya. Tetesan air yang turun dari dedaunan hijau, menjadi pelengkap suasana pagi yang damai dan tenang itu.
            Setelah berjalan cukup lama, Len menghetikan langkahnya. Nafasnya mulai teratur saat melihat Isela duduk di selasar sambil memejamkan matanya.
            Len tersenyum lega. Kedua matanya terpejam. Beberapa menit ia menengadah, bersyukur karena Tuhan masih melindungi istrinya. Perlahan-lahan Len mendekat ke tempat gadis yang masih terlelap itu. Setelah merasa kehangatan mulai merasuki tubuhnya, perlahan Isela membuka matanya.
            Begitu lega hatinya saat melihat Len ada di hadapannya sambil tersenyum manis. Perasaan takut, sedih, dan gundah yang semalam seperti neraka baginya, kini hilang begitu saja. Isela memeluk Len dengan erat dan Len pun membalasnya. Tangan kanannya terus mengelus rambut panjang gadis ini.
            ”Aku merindukanmu...sangat..,” Isela bergumam dengan suara yang amat kecil.
            Meskipun tak begitu jelas, Len masih bisa menangkap suara penuh harap itu. Ia pun mempererat pelukannya sambil terus berkata dalam hati, ”Syukurlah!”
            Tak lama kemudian Isela melepas pelukannya. Ia menatap Len begitu lekat. Nampak rasa takut, bingung, dan sedih terpancar di kedua bola matanya.
            ”Terjadi sesuatu yang buruk?”
            Isela mengangguk pelan.
            ”Ceritakanlah! Kau bisa percaya padaku.”
            Isela mengangguk berkali-kali. Bibirnya bergetar, kedua matanya kembali berair. Semakin lama tangisnya semakin terdengar pilu. Apalagi saat Len mengusap air matanya. Pria ini pun kembali memeluk istrinya. Tangannya mengelus punggung Isela dengan harapan agar agar gadis ini bisa kembali tenang.
           
            ***
            Pagi yang cerah ini disambut bahagia pula oleh Eriol dan Gaby. Bi Sany yang biasanya kualahan melerai percecokan keduanya yang hampir setiap pagi terjadi, kali ini begitu heran melihat keduanya begitu tenang.
            Eriol memerintah dan Gaby pun menurut. Keduanya saling membantu mempersiapkan diri. Setelah semua kelengkapan masuk ke mobil, Gaby dan Eriol berpamitan pada Bi Sany.
            ”Bi’, mungkin kami akan pulang malam, jadi bibi masak saja seadanya. Kami pergi dulu!”
            ”Oh begitu, baiklah Nak. Hati-hati di jalan!” ujar Bi’ Sany sambil tersenyum lebar.
            Usai berpamitan, mobil mulai melaju. Di tengah perjalanan, Eriol yang juga merasakan keanehan pada Gaby, mencoba bertanya pada gadis ini.
            “Kau, berbeda sekali pagi ini. Rupanya ayam sudah mulai menurut ya?” Eriol tertawa lebar.
            Biasanya setelah itu, Gaby langsung membantah. Tapi kali ini ia mengiyakan kata-kata suaminya.
            ”Bukankah istri harus menurut pada suaminya?” jawaban Gaby membuat Eriol salah tingkah. Saking terkejutnya, ia pun sempat merem mobilnya secara mendadak.
            *Ciiiiiiiiit
            ”Hoh, kelihatannya kau yang tak sehat pagi ini?”ujar Gaby seraya melebarkan matanya di depan Eriol.
            ”Kau..apa yang sebenarnya terjadi? Kau salah makan pagi ini? Atau tadi malam terjadi sesuatu?” Eriol mulai meninggikan suaranya.
            “Tidak terjadi apa-apa,” jawab Gaby dengan wajah innocent.
            “Kau..pagi ini..kau sangat aneh. Biasanya kalau aku mengataimu ayam, kau langsung marah-marah.”
            Eeerr...memangnya kau tidak bosan marah-marah setiap pagi? Aku saja bosan,” jawab Gaby begitu enteng.
            ”Kau” ketika hendak membalas, Eriol mengurunkan niatnya saat melihat Gaby mulai berpaling ke depan dengan wajah tenang. Mesin mobil pun kembali ia hidupkan. Saat mobil mulai bergerak, tiba-tiba seorang gadis nampak menghadang. Kedua tangannya terlentang sempurna ke samping.
            Karena terkejut, Gaby pun menjerit sedangkan Eriol buru-buru menginjak rem sekuat tenaga.
            *Ciiiiit
            Setelah aksinya sukses, gadis ini pun tersenyum tanpa dosa.
            ”Hei, kau mau bunuh diri?” tanya eriol setelah keluar dari mobil dan membanting pintunya cukup keras.
            ”Aku Milly. Kita bertemu waktu pesta kemarin. Ingat tidak saat itu kau mengantarku ke hot”
            Sadar akan sesuatu, Eriol lekas membuka mobilnya lalu menutup mulut gadis itu kuat-kuat. Gaby masih celingukan. Dengan ekspresi polos, ia menatap Eriol yang masih tertawa paksa.
            Gadis itu berusaha menepis tangan Eriol. Setelah berhasil bebas, Milly pun kembali menunjukkan wajah menggodanya.
            ”Aku tidak akan bilang apa-apa pada kak Gaby, asal kakak mau mengantarku ke suatu tempat!”ujar Milly. Setelah berlaku manis di depan Eriol, gadis ini langsung berlari menuju ke tempat Gaby. Tanpa ijin, Milly langsung membuka pintu mobil Gaby dan menyuruh gadis ini keluar.
            ”Hei, apa-apaan kau ini?” Gaby terus menggerutu sementara Milly masih mempertahankan tempat duduknya.
            ...
            ”Maaf kak, karena ada urusan mendadak, kak Eriol harus mengantarku ke suatu tempat. Aku tidak bisa duduk di belakang. Aku trauma kak Eriol!” nadanya terdengar merengek.
            Gaby yang akhirnya duduk di belakang, terus menggerutu dalam hati. Kedua tangannya saling melipat ke dada. Kedua pipinya mengembung. Tampak kegusaran tingkat tinggi tertuang sempurna di wajahnya yang ayu.
            Tak lama merengek, gadis berusia enam belas tahun ini mengajak Eriol bercanda. Hal yang membuat Gaby makin kesal, Eriol malah tertawa gelak mendengar gurauan Milly.
            ”Gadis itu..masih kecil sudah genit. Bagaimana kalau dia sudah dewasa nanti. Tidak menghargaiku sama sekali. Mereka berdua ternyata sama saja. Asyik bercanda tanpa mempedulikanku? Baik, aku juga tidak akan mempedulikan kalian.”
            ...
            Karena asyik bercanda, tak terasa tempat yang dituju Milly sudah dekat. Menyadari hal itu, dengan manjanya gadis ini berkata, ”Kakak, berhenti di sini saja!”
            ”Oh, di sini!” ujar Eriol seraya memarkir mobilnya tepat di sebuah rukuh elit.
            ”Ap...apa? Salon? Maksudnya, tempat yang sangat penting itu, salon? Dia nekat menghadang mobil hanya untuk ke tempat ini?Hoh...” gerutu Gaby seraya menaikkan kedua alisnya. Ekspresi heran bercampur kesal beraduk sempurna di wajahnya.
Thank’s ya! Kapan-kapan, aku boleh kan berangkat bersama kakak lagi?”
            Apa? Berangkat bersama? Memangnya kau tidak punya uang untuk naik kendaraan umum?” batin Gaby.
            Dengan berat Eriol mengangguk. Sesekali ia melirik Gaby yang masih terlihat kesal. Setelah Milly masuk ke tempat itu, Eriol mulai membuka pintu mobil.
            ”Ayo, kau tidak pindah ke depan?”
            ”Tidak mau,” jawab Gaby dengan nada kesal. Kedua tangannya masih melipat di dada.
            ”Kalau kau tidak patuh
            ”Oke..Oke..aku pindah sekarang,” ujar Gaby seraya beranjak dari kursinya.
            Tak berapa lama kemudian, Milly keluar kembali. Tak diduga Gaby sebelumnya, gadis ini ternyata tak berhenti berulah. Setelah mengusirnya di tempat yang seharusnya ia tempati, gadis ini kembali membuatnya tak dianggap sebagai istri Eriol.
            ”Kakak, malam ini kan acara pesta syukuran film kita. Lebih baik, kakak menunggu bersamaku. Lagipula sebentar lagi para wartawan akan kesini. Kakak lupa ya kita punya janji di kafe seberang?”
            ”Oh..itu..”
            ”Tidak apa-apa. Aku bisa ke tempat kak Lini sendiri,” jawab Gaby singkat.
            Karena merasa khawatir, Eriol lekas mencegah kepergian Gaby. Ia meletakkan kunci mobilnya di telapak tangan gadis ini, lalu menggegamkannya kuat.
            Gaby tak tersentuh. Ia malah mendengus pelan. Setelah melihat senyum Eriol yang manis, gadis ini pun berkata, ”Kau lupa aku tidak bisa pakai mobil? Atau kau sengaja mempermalukanku?”
            Pria ini pun langsung tersedak. Buru-buru ia menyahut kembali kuncinya. Setelah melihat Milly yang masih menunggu kedatangannya, kembali ia melihat Gaby dengan wajah bingung.
            “Benar tidak apa-apa?” tanya pria ini lagi.
            ”Aku tidak apa-apa? Tidak, aku kenapa-napa. Lalu kau mau apa?”
            ”Maaf, aku tidak bisa mengantarmu
            ”Kakaa~k, ayo masuk!”
            Mendengar rengekan Milly, emosi Gaby mulai tersulut kembali. Niatnya untuk balas dendam sudah tak tertahankan.
            ”Gadis itu, akan kubuat dia menyadari keberadaanku,” ujar Gaby dengan nafas tak beraturan. Pundaknya naik turun dengan cepat.
            ”Ap..apa maksudmu?”
            Gaby mulai menjinjit. Kedua tangannya menggantung di leher Eriol sambil mengecup bibir pria ini dengan mesra.
            Melihat adegan itu, Milly tak mampu menutup kembali mulutnya. Ia terus terperangah. Sesekali ia memalingkan wajahnya, lalu melihat kembali kedua insan yang masih ayik berciuman ini.
            ”Lama sekali sih?” gerutu Milly. Karena tak tahan melihatnya, gadis ini pun kembali masuk ke dalam.
            Setelah mendengar suara pintu tertutup, perlahan keduanya sama-sama melepas ciuman. Kedua mata mereka terlihat kosong. Cukup lama keduanya tertegun tanpa kata. Gaby masih mengatur nafasnya begitupun Eriol.
            ”Aku..duluan” ujar Gaby seraya berjalan melewati pria ini.
            Karena syok, Eriol pun masih mempertahankan posisinya. Ia tak bergeming, juga tak bergerak. Setelah cukup lama menormalkan kembali pikirannya, Eriol mulai berbalik. Dilihatnya sosok Gaby dari kejauhan yang berjalan semakin menjauh darinya. Bibirnya mengembang senyum secara alami. Tangan kanannya menyentuh bibirnya dengan lembut. Tak lama kemudian, ia tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali.
            ***
            ”Apa? Tita sakit?” teriak Mahi.
            Seluruh isi kelas langsung gaduh karena teriakan Mahi tadi. Nick yang baru saja menyuruh Mahi agar tidak berteriak, kini menyandarkan kepalanya sejenak di atas meja.Menyadari kecerobohannya, Mahi pun langsing menggigit bibirnya sambil berkata, ”Sorry!” berulang kali.
 Tak menunggu lama, seluruh fans Tita yang ada di kelas langsung mengerumuni Nick dan Mahira. Semuanya rata-rata mempertanyakan kebenaran berita itu. Karena tak tahan dengan keributan para pria, Nick pun beranjak dari kursinya. Sebelum keluar kelas, ia menyempatkan diri menatap Vic yang saat itu duduk tenang di samping jendela. Ia penasaran, apa yang sedang dipikirkan pria dingin itu.
            Vic tak bergeming, meski seluruh isi kelas mempertanyakan kesehatan Tita. Karena tak melihat ekspresi berarti terpancar dari raut wajah temannya itu, Nick menghela nafas panjang. Ia menunduk, lalu melanjutkan langkahnya.
            ...
            Setelah agenda sekolah usai, Vic siswa pertama yang meraih tasnya lalu keluar kelas tanpa memberi salam. Ia berjalan dengan tenang melewati semua para gadis yang menjerit saat melihatnya. Pesta semalam telah menobatkannya sebagai King Goog Gautama setelah mengalahkan polling Nick sebagai jawara tahun lalu. Sudah tamoan, cool, apalagi permainan pianonya kemarin malam, semua gadis telah dibuatnya menangis terharu.
            Setelah sampai di depan gerbang, seorang sopir membukakan pintu mobil. Vic mulai berjalan menghampiri mobil itu dan mulai masuk. Dalam perjalanan menuju rumah sakit, sekretaris direktur memberitahunya kalau kakak perempuannya akan mengunjungi ayahnya hari ini.
            Mendengar hal itu, tak ada ekspresi berarti keluar dari wajah Vic. Baik teman-temannya maupun sekretaris direktur yang menjadi teman terdekatnya, mereka tidak pernah tahu apa yang ada di pikiran pria ini.
            Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, Vic sempat mengurunkan niatnya. Bahkan setelah tepat berdiri di depan kamar ICU, Vic enggan membuka daun pintu. Ketika ia hendak membukanya, Vic pun terkejut saat pintu itu sudah terbuka dari dalam. Sosok asing tiba-tiba hadir di depan matanya di tengah pikiran kalut dan bimbangnya, antara ingin masuk dan pergi saja dari tempat itu. Len yang saat itu berada tepat di depan Vic pun turut terkejut. Cukup lama memutar otak, ia pun mempersilahkan Vic masuk.
            Pria muda ini nampak ragu, namun Len mendesaknya dengan halus.
            ”Kau tidak ingin bertemu kakakmu?” dibalik wajah tenangnya, terselip rasa terkejut mendengar kata-kata Len. Jantungnya berdegup kencang. Ada rasa ragu, bingung, dan rindu yang meluap-luap, hingga membuat Vic melangkah masuk dengan canggung.
            Saat suara pintu tertutup, Vic memberanikan diri mengangkat kepalanya yang lama tertunduk. Di depan matanya kini nampak seorang gadis muda sedang duduk di samping ranjang ayahnya yang masih berbaring tak sadarkan diri. Wajahnya nampak pucat. Bibirnya masih tetap membisu. Setelah sadar Vic berada di dekatnya, Isela mulai menengadah.
Sejak Isela kecil masuk dalam mimpinya, sedikit demi sedikit ingatannya yang dulu hilang perlahan pulih. Melihat Vic yang masih mematung dengan tangan gemetar, Isela berusaha menahan air matanya. Ia pun merasa takut untuk melihat adik laki-laki yang sudah lama ia lupakan begitupun sebaliknya dengan Vic.
...
”Syukurlah, kakak...sudah kembali,”
Saking heningnya ruangan itu, gumaman Vic yang lirih pun terdengar jelas oleh Isela. Gadis ini mengangguk berat. Setelah menghela nafas panjang, Isela kembali tersenyum. Ia beranjak dari kursinya, lalu berjalan mendekati Vic.
Pria muda ini pun langsung menunduk saat Isela menatapnya hangat. Tak ada kata yang bisa diucapkannya kembali. Menyadari kecanggungan itu, Isela berusaha ceria. Dengan kuat ia menepuk kedua pundak Vic.
”Lama tidak bertemu ya, jagoan kecil? Dulu kau lebih pendek dariku, kenapa sekarang kau sangat tinggi? Aku jadi harus mendongak seperti ini. Ayo, membungkuklah sebentar! Aku ingin melihat wajahmu!” ujar Isela dengan santainya.
Vic pun merendahkan tubuhnya. Dengan ragu ia membalas tatapan Isela yang saat itu masih tersenyum manis padanya.
”Wah, kau tampan sekali!” ujar Isela kembali. Beberapa gerak atraktif pun berusaha dilakukannya agar Vic sedikit melepas kecanggungannya. Begitu keras berusaha, akhirnya Vic pun tersenyum, meski terselip kesedihan di dalamnya.
...
”Maaf, aku meninggalkanmu terlalu lama. Kau pasti sangat kesepian. Kau pasti sangat berat menjaga ayah seorang diri. Saat tidak ada aku, siapa yang membantumu mengancingkan baju seragam?” Kedua mata Isela mulai berair saat Vic menunjukkan raut wajah ingin menangis. Meski senyumnya terlihat lebar, namun bibirnya nampak gemetar. Sesekali ia mengusap air matanya, lalu menarik nafas dalam-dalam.
Beberapa saat kemudian, Vic jatuh ke pelukan kakak perempuannya itu. Ia menangis sesenggukan. Seolah air mata anak berumur 7 tahun yang bertahun-tahun tak bisa keluar, saat ini bercucur dengan sangat deras. Tak mampu mendengar tangisan keras Vic, Isela pun turut menangis. Meski berusaha kuat, rasa rindu pada adiknya itu sudah tak bisa ia tahan lagi. Isela mempererat pelukannya. Sementara tubuh Vic begitu lemah. Kepalanya bersandar pasrah di pundak kakaknya. Sambil menepuk halus punggung Vic, Isela berkata berulang kali, ”Jangan menangis seperti anak kecil, ayolah!” Vic terus menangis. Air matanya membasahi sempurna pundak Isela.
***
Tak diduga sebelumnya, Isela yang ingin memenangkan diri kembali, saat membuka pintu ia malah berhadapan dengan Lorna, musuh bebuyutan kakaknya, Lini.
Wanita glamor ini tersenyum angkuh. Ia melihat Isela dari ujung kaki sampai pangkal rambut.
”Cucu pertama direktur perusahaan ternama, Syleomita Jasmin, kau kembali.”
”Apa yang anda inginkan dari saya?”
To the point saja. Segeralah menjadi wakil direktur dan tanda tangani surat saham ayahmu! Kalau kau tidak menandatanganinya, Lini akan merebut sebagian aset kekayaan ayahmu. Kakak yang kau banggakan selama ini adalah orang yang telah membuat ayahmu terbaring di ruangan itu. Sebagai seorang anak, tentu kau wajib menjalankan tugas ayahmu yang belum selesai itu. Apa kau mengerti?”
Setelah lama menunduk, Isela menaikkan dagunya. Tak kalah angkuh, gadis ini pun membalas tatapan Lorna. ”Saya tersanjung atas niat baik anda datang kemari untuk mengingatkan kewajiban saya. Anda tidak perlu khawatir nyonya Lorna! Saya akan menjalankan tugas sebagai anak dengan sebaik-baiknya. Maaf, sudah menyita waktu anda. Saya permisi.”
Isela melangkah angkuh meninggalkan Lorna di depan pintu. Setelah sosok gadis ini semakin jauh dari pandangannya, Lorna mulai berdecak kesal.
”Hoh, sombong sekali! Baru saja mendapat keberuntungan. Hoh! Seorang miskin seperti dia memang wajar bersikap kampungan seperti itu. Tenang Lorna, kau sudah melakukan kewajibanmu. Sekarang tinggal menunggu kehancuran Lini yang sebentar lagi akan datang. Selamat berpesta Guilinia!” 
***
”Hooh, akhirnya sampai juga! Ini semua gara-gara dua mahkluk sialan itu,” Gaby berteriak lega saat kedua kakinya berdiri tepat di depan gerbang rumah kakaknya. Setelah menghela nafas panjang. Gaby mematikan recordernya.
Langkahnya kembali mendekat ke gerbang. Ketika hendak memencet bel, tiba-tiba ponselnya berdering dengan keras. Buru-buru gadis ini mengeluarkan poselnya dari dalam tas, lalu menjawab panggilan itu.

”Hallo?”
Seseorang di seberang menjawab dengan angkuhnya. ”Datanglah di tengah taman kota. Ada sebuah cafe di sana. Aku menunggu kedatanganmu, nyonya Eriol.”
”Hah? Anda siapa?”
”Aku, gadis yang akan memberitahumu betapa buruknya Eriol. Datanglah kemari, dan kau akan berterima kasih padaku.” Semakin lama nada bicaranya semakin centil. Gadis di seberang menutup telfonnya lebih dulu. Hal itu lah yang membuat Gaby kembali uring-uringan. Karena rasa penasaran yang tinggi, ia pun pergi ke tempat yang dikatakan gadis itu.
Menempuh perjalanan yang cukup jauh dari rumah Lini menuju Kafe, Gaby pun kelelahan. Setelah sampai di sana, gadis ini segera memesan minuman. Tak menunggu lama, seorang gadis cantik tiba-tiba duduk di sampingnya. Wajah yang begitu familier di matanya itu kini sedang tersenyum tanpa dosa.
”Apa maumu? Bukankah kau bersama Eriol untuk wawancara?” tanya Gaby pada Milly.
”Aku cuma main-main dengan kak Eriol. Ternyata dia pria penakut juga ya?” jawab Milly sambil tertawa lebar.
”Heh, gadis kecil, aku berbeda dengan pria itu. Kau boleh mempermainkannya sesukamu selama dia mau. Tapi aku, selamanya tidak akan. Jadi kalau kau hanya ingin bermain, aku pergi sekarang,”
Ketika Gaby hendak beranjak dari kursinya, Milly langsung menyebarkan selebaran foto Eriol dengan dirinya tepat di atas meja.
Gadis ini pun mengurunkan niatnya untuk pergi. Gaby pun lekas mengambil satu demi satu lembar foto itu sambil mengamatinya dengan ekspresi terkejut.
”Hoh, apa ini?”
Merasa rencananya sukses besar, gadis ini pun tersenyum puas. Dengan angkuhnya ia mulai bercerita.
”Kejadian di foto itu terjadi kemarin malam, saat pesta syukuran film kami diadakan. Saat itu kami berdua mabuk. Beruntung kak Eriol tidak mabuk berat. Dengan suka rela dia mengantarku ke hotel. Malam itu kami lalui bersama dengan indahnya,” gadis itu menunjukkan ekspresi meyakinkan. Wajahnya berbinar-binar. Kedua tangannya aktif menepuk kedua pipinya dengan lembut. Melihat kegenitan gadis ini mulai keluar seutuhnya, Gaby pun tersenyum kecut.
”Kakak harus percaya padaku. Kak Eriol, tidak sebaik citra yang dia bangun di dunia hiburan. Saranku, kakak harus segera menceraikannya dan memulai hidup baru dengan pria yang lebih baik.”
”Menurutmu begitu?”
”Tentu saja. Kak Eriol, serahkan padaku! Kalau kakak tidak mau, aku terpaksa akan menyebarkan semua foto-foto ini. Syaratku mudah kan? Lagipula kakak tidak dirugikan sama sekali. Aku sudah berbaik hati menunjukkan siapa Eriol sebenarnya, benarkan?”
Beberapa saat keduanya saling beradu tatap. Gaby menatap sinis sedangkan Milly tetap tersenyum dengan wajah malaikatnya.
*Kriek..krieek..krieek..krek krek krek
Gaby merobek semua foto yang tergeletak di atas mejanya. Ia memotongnya kecil-kecil lalu menghamburkannya tepat di depan Milly. Gais yang semula tampak percaya diri ini langsung tak bisa berkata-kata. Mulut dan kedua matanya terus terbuka lebar.
”Be..berani sekali kakak..”
”Siapa yang menyuruhmu melakukan hal ini? Apa seorang wanita yang bernama Lorna? Sebenarnya aku tidak mengenal orang itu sama sekali, tapi saat dia mengutusmu, aku jadi tahu serendah apa dirinya.”
”Ak..aku..”
”Permainanmu sangat transparan. Dengar, aku ini seorang penulis. Karena sering membuat cerita, aku tahu trik mu yang sangat transparan itu. Kalau cita-citamu ingin menjadi wanita yang suka menghancurkan kehidupan orang lain seperti wanita yang bernama Lorna itu, saranku, kau harus lebih banyak belajar.”
Gaby segera beranjak dari kursinya, lalu pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan Milly untuk membela diri.
Setelah berhasil menghirup udara luar, Gaby menggerutu. Kedua kakinya berberapa kali menginjak tanah kuat-kuat. Kedua tangannya mengepal sambil terus mendengus kesal. Belum seratus persen emosinya kembali stabil, sosok Hyena yang glamor dengan kacamata hitamnya, sekarang berdiri tepat di depannya. Dengan wajah terkejut, gadis cantik partner Eriol ini langsung mengembang senyum. Ia membuka kacamatanya lalu menyapa Gaby secara resmi.
”Galabria, apa kau sudah melihat foto-foto itu?”
”Apa?” rasa terkejutnya lebih besar ketimbang saat bersama Milly beberapa menit yang lalu.
Hyena mendengus pelan. Ia menatap Gaby dengan angkuhnya. ”Aku tanya apa kau sudah melihat semua foto itu?”
Setelah lama memutar otak, Gaby pun kembali menatap Hyena. ”Jadi..kau yang”. Hyena lekas memotong. Ia berjalan melewati Gaby. Setelah jarak mereka agak jauh, ia membalikkan tubuhnya.
”Ya, aku yang membuat foto itu. Tujuanku adalah membuatmu melepas kekasihku yang kau rebut dengan mudah.”
Gaby tersentak. Pikirannya kembali kalut sehingga kata-kata balasan tak bisa diucapkannya.
”Karena aku kekasihnya, aku tahu sifat Eriol yang sebenarnya. Dia pria playboy, pergaulannya bebas, dan yang terpenting, dia sangat hebat menggoda wanita. Aku tidak heran jika kau sampai terpikat padanya.”
Whatever.”
”Hanya itu? Kau tidak ingin menanyakan Eriol lebih dalam padaku? Akan aku ceritakan dengan senang hati.”
  Pernyataan baik Hyena kembali memaku langkah Gaby yang hendak pergi. Gadis ini pun berbalik. Ia kembali menatap Hyena dengan wajah tenang. ”Pernikahan kami memang mendadak. Kuakui kau memang lebih mengenalnya ketimbang diriku. Tapi satu hal yang perlu aku tegaskan padamu, nona Hyena. Kalau aku ingin tahu apapun tentang Eriol, aku akan menanyakan langsung padanya. Aku tidak akan mempercayai kata-katamu kecuali dia, karena dia suamiku”
Melihat Gaby yang berjalan semakin jauh, Hyena meninggikan suaranya.
”Sebagai wanita kau terlalu angkuh Galabria. Jika kau tidak mendengar kata-kataku sebagai sesama wanita, kau akan menyesal.”
            Gaby kembali berbalik. “Nona Hyena, ada yang berkata, jangan mempercayai manusia. Tidak ada manusia di dunia ini yang patut dipercaya seratus persen kecuali Tuhan. Aku memang tidak tahu apa-apa tentang pernikahan, tapi mau tidak mau aku harus menjalaninya. Apa yang menjadi kewajibanku akan aku lakukan, salah satunya adalah mendengar kata-kata suamiku dan hanya dia yang bisa membuatku percaya. Apapun yang dia alami dulu, aku harus menerimanya, baik ataupun buruk.”
            Hyena terpaku setelah mendengar pernyataan Gaby. Karena kalah telak, ia pun membiarkan gadis ini berjalan meninggalkannya.
            ***
            Rapat tentang penyerahan saham dan beberapa aset berharga untuk pembangunan usaha rakyat miskin sedang berlangsung. Semua pemegang saham sudah menempati tempat duduknya masing-masing, kecuali direktur Hendrama yang masih terbaring di rumah sakit. Setelah melihat tamu undangan rapat sudah lengkap termasuk Lorna, Lini pun duduk di kursi utama. Dengan wibawa tinggi ia mulai membuka rapat.
            Di saat yang sama, Isela ditemani Len sedang berjalan cepat menuju ruang tersebut. Keduanya tampak disambut hangat oleh petugas informasi. Dengan senang hati ia mengantar Isela dan Len menuju ruang rapat.
            Saat berada di lift, Isela menggenggam kuat tangan Len. Pria ini pun membalasnya. Ia menyalurkan kehangatan tangannya pada tangan Isela yang mulai membeku.
            “Jangan takut. Lakukan apa yang sudah kita pelajari di rumah sakit tadi. Kau pasti bisa!” ujar Len yang tanpa henti memberi semangat pada gadis ini.
            ”Kau yakin aku bisa?”
            ”Tenanglah! Anggap saja dia kakakmu yang selama ini menyayangimu. Aku yakin kak Lini bisa melihat kejujuran di matamu.” Len mengecup tangan istrinya. Isela pun membalas senyum Len seraya kembali melanjutkan langkahnya.
            Beberapa saat kemudian, penjaga ruang rapat nampak bersiap mematikan lampu. Sebelum hal itu terlaksana, tiba-tiba pintu utama terbuka. Semua orang yang hadir menoleh ke arah suara itu. Dengan penuh heran dan tanda tanya, mereka semua melihat gadis cantik yang berpakaian rapi itu berdiri tegap sambil membawa beberapa dokumen di tangan kananya.
            Dari semua mahkluk yang berdiam di ruangan itu, Lini lah yang tampak sangat terkejut. Ia bingung kenapa adik keduanya  itu berada di tempat yang tidak seharusnya ia datangi. Berbeda dengan Lini, Lorna nampak kegirangan. Senyum kepuasan tinggi tertuang di wajahnya. Wanita glamor ini terlihat paling tenang dari semua tamu undangan yang hadir.
            Ketika Lini hendak bertanya, sekretaris direktur Hendrama datang. Ia berdiri di samping Isela sambil meperkenalkannya dengan tegas di hadapan semua orang. Ketika mendengar pemberitahuan mengejutkan itu, seluruh tamu undangan bergeming. Ruang rapat menjadi gaduh dalam beberapa saat. Karena situasi tak terkendali, beberapa di antara mereka mengusulkan agar rapat ini ditunda beberapa hari sampai semua orang percaya bahwa gadis yang ada di depan mereka itu adalah cucu pertama direktur Hendrama-pemegang saham terbesar di antara para investor yang lain.
            ...
            Setengah jam kemudian ruang rapat menjadi hening. Setelah semua tamu undangan pergi termasuk Lorna, hanya tinggal Lini dan Isela yang berdiam di sana.
            Di tengah suasana hening itu, Isela mulai bersua. Rasa takut tak bisa disembunyikannya dengan sempurna hingga suaranya pun terdengar bergetar begitu jelas.
            “Selama ayahku belum sadar, aku lah yang akan menggantikannya. Jadi, aku mohon bantuan dari kakak.” Isela mengangguk sekali. Setelah melihat Lini tak bereaksi, perlahan ia beranjak dari kursinya. Suara langkah sepatunya menggema cukup nyaring. Setelah berdiri tepat di depan Lini, Isela meletakkan kalung emas bertuliskan Grisela itu tepat di atas meja Lini.
            Isela masih mempertahankan senyumnya meski kedua matanya mulai berair. Cukup lama ia menunggu reaksi Lini, namun wanita anggun ini masih tak bergeming. Melihat itu, Isela pun melangkah pelan menuju pintu keluar.
            Ketika hendak meraih daun pintu, langkahnya terpaku saat mendengar Lini berucap samar-samar.
            ”Isela, katakan kalau itu tidak benar! Katakan kalau kau benar Grisela, adik perempuanku yang hilang,” ucap Lini dengan suara gemetar. Kedua matanya masih kering namun terlihat kosong.
            Isela berusaha menahan tangisnya. Berulang kali ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan alot.
            ”Sayangnya itu benar, kak. Seandainya aku benar Isela, dan aku benar adik perempuanmu, aku pasti sangat senang.”
            Lama Lini tak bergeming. Linangan air mata yang selalu berkelip sebagai tanda kegundahan hatinya, saat itu tak keluar walau setetes. Tatapannya begitu kosong hingga membuat Isela takut dan tak bisa berbuat apa-apa. Sesekali Lini menaikkan pundaknya, lalu menghembuskan nafasnya dengan berat. Saat itu tangan kanannya menyentuh gemetar kalung Grisela yang diletakkan Isela di atas mejanya. Perlahan ia mengambil kalung itu dan mengenggamnya erat.
            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar