Minggu, 14 Agustus 2011

3 GP episode 4


Bab 4

"Love consists in this, that two solitudes protect and touch and greet each other." - Rainer Maria Rilke

            Gesekan biola yang berpadu dengan dentingan piano, menciptakan instrumen yang begitu indah dan romantis. Secara alami, beberapa dari para tamu sudah berdansa dengan pasangan masing-masing.
            Saat itu Gaby berjalan masuk ke sudut ruangan. Ia duduk di sebuah sofa panjang yang terletak tepat di bawah tangga. Gaby menghela nafas sejenak, kemudian menguap pelan. Di saat yang bersamaan, ia terkejut melihat sebuah telapak tangan besar terulur di depan matanya. Kepalanya spontan menengadah. Kedua alisnya terangkat ke atas saat Eriol tersenyum manis tanpa kata.
            ”Apa yang mau kau lakukan?” tanyanya dengan nada pelan.
            ”Kau tidak mengerti isyarat tanganku? Dasar unggas!” bisiknya sambil mempertahankan senyuman manis di bibirnya.
            ”Hah, tak kusangka pria setampan dirimu mau berdansa dengan unggas sepertiku,” balas Gaby seraya memalingkan wajahnya.
            ”Ya, kelihatannya aku sudah gila karena meminta seekor ayam berdansa denganku,” jawabnya. Karena tak sabar menghadapi tingkah Gaby yang dingin, dengan kuat ia merengkuh tangan gadis itu dan dengan lihai mengunci geraknya. Tangan kirinya begitu cekatan memegang pinggul Gaby, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat tangan gadis itu. Mereka pun mulai melangkah menuju ke tengah aula.
           
            ”Wah, tak kusangka ayam bisa berdansa!” ujar Eriol yang terus menampakkan senyum manisnya. Sesekali matanya yang sedikit sipit itu melebar lalu bibirnya bergerak begitu menggemaskan saat melontarkan kalimat ejekan untuk Gaby.
            ”Kau tahu, rasanya aku ingin sekali menampar bibirmu sekali lagi dengan sepatuku,” jawabnya dengan ekspresi kesal.
            ”Benarkah? Kau tidak terpikat sama sekali dengan bibirku?” tanya Eriol seraya memajukan sedikit bibirnya.
            Sambil membalas tatapan Eriol, Gaby mengatakan dengan tegas, ”Tidak! Sama sekali.”
            ”Baik, aku mengerti. Karismaku memang tidak akan berpengaruh sekarang. Tapi saat aku pergi, kau akan merindukanku. Tak seorang pun yang bisa bebas dari jeratanku dengan mudah.”
            ”Kau mau balas dendam dengan cara membuatku jatuh cinta padamu?”
            ”Wah, ternyata ayam pintar sekali,” Eriol tersenyum lebar.
            ”Apa?” Gaby mendengus geram. Kedua matanya masih bertahan menatap kedua mata Eriol yang menyipit manis.
            ”Mau taruhan?”
            ”Baik. Kalau sampai aku jatuh cinta padamu, aku akan..”
            ”Akan apa?”
            ”Aku akan..akan telanjang di depan semua orang.”
            Eriol melebarkan tawanya. Setelah melihat Gaby yang sesekali tertunduk dengan nafas tak beraturan, Eriol merubah ekspresinya menjadi serius.
            ”Coba saja!” perlahan ia melepas tangannya dari tubuh Gaby. Senyumnya tak begitu lebar namun cukup membuat Gaby terpaku. Kedua matanya yang menyipit paksa perlahan menatapnya dengan alami. Seolah ekspresi pria itu membuat Gaby tak bisa berfikir apapun. Tatapannya yang semula begitu terlihat geram, perlahan meredup. Gaby kalah telak.
            Tak lama kemudian, Eriol menunduk. Bibirnya menyentuh pundak Gaby dan mengecupnya dengan lembut. Sedikit terkejut, Gaby pun sempat menaikkan pundaknya lalu turun perlahan saat tangan Eriol menggenggam lengannya. Kedua matanya lamban terpejam. Saat kecupan itu lepas, Gaby membuka kedua matanya dengan berat. Sambil melambaikan sekali tangan kanannya, pria itu memberi senyum terakhirnya untuk Gaby.
            ”Apa yang baru saja aku alami? Sejenak seluruh tubuhku menggigil. Kenapa aku tidak meronta saat dia mencium pundakku? God, perasaan apa ini?”gumamnya dalam hati.

***
            Sinar matahari masuk perlahan melewati jendela. Kehangatannya semakin lama semakin masuk ke pori-pori kulit. Dengan berat Isela membuka kedua matanya. Ia pun kembali menutup mata saat tak sanggup menahan kesilauan.
            Ia menguap sekali, lalu mencoba menggerakkan tubuhnya yang terasa membatu berjam-jam. Tak berapa lama kemudian, geraman pelan seorang pria membuat kedua matanya terbuka dengan cepat.
            Ketika berhasil mengingat peristiwa bersejarah dalam hidupnya itu, Isela kembali menenggelamkan wajahnya di dada seorang pria yang masih bertahan merangkul tubuhnya.
            ”Apa yang harus aku lakukan? Tuhan, tidak apakan jika aku bertahan semenit saja? Aku tidak bisa bergerak,” Isela merengek dalam hati. Ia terus menggigit bibirnya sambil sesekali menatap wajah Len dengan penuh nafsu.
            ”Tidak! Tidak! Aku sudah berdosa. Cukup! Aku harus segera pergi dari sini sebelum pria ini bangun,” gumamnya dalam hati.
            Dengan sekuat tenaga ia mengangkat lengan Len yang menindih tubuhnya. Setelah berhasil membuka kunci, dengan lihainya ia menggeliat seperti ulat yang berusaha keluar melewati lubang yang sempit.
            Tak lama berusaha sekuat tenaga, ia pun berhasil bebas. ”Yess!” serunya. Di saat yang sama Len kembali menggeram pelan. Pria berambut hitam legam itu merubah posisi tidurnya. Isela yang sempat cemas langsung menghela nafas panjang sambil mengelus dadanya setelah berhasil turun dari ranjang walaupun lututnya sempat membentur lantai.
            Karena merasa ranjangnya terkoyak, Len pun perlahan-lahan terbangun. Dengan mata yang masih terpejam, ia berusaha mengangkat tubuhnya.

            Theeng,,,~
            Suara lonceng berdentum sekali. Kicauan burung yang tadinya begitu ramai, dalam sekejap lenyap.
            Isela menatap pria itu dengan wajah bodohnya, begitupun Len yang saat itu membuka kedua matanya dan menatap Isela. Keduanya saling beradu tatap dengan keheningan yang luar biasa.
            ”Siapa..kau?” tanya Len setengah sadar.
            ”Aku...aku..aku..cleaning service, hehehehe,” jawab Isela dengan terbata-bata.
            “Oh..” Len merespon dengan mengangguk beberapa kali seperti orang mabuk. Sesekali ia memegang kepalanya kuat-kuat lalu kembali berbaring.
            Melihat pria pujaannya itu menatap kedua matanya, rasanya seluruh tubuhnya membatu seketika. Saraf motoriknya terputus. Ia tak mampu menggerakkan tubuhnya kecuali mengedipkan matanya dengan normal.
            ”Hoh..” sesaat Isela bernafas lega. Tak membutuhkan waktu lama untuk sadar, ia pun bergegas keluar dari kamar itu.
            Satu menit kemudian...
            Len membuka matanya dengan cepat. Ia menyibak selimutnya dengan tenaga kuda kemudian tertegun. Tak lama kemudian, mulutnya menganga dan matanya semakin terbuka lebar. Sambil menunjuk gemetar ke arah pintu, ia terpaku cukup lama. Tatapannya tak lepas dari pintu yang menjadi saksi bisu dimana seorang gadis asing baru saja keluar dari kamarnya.
            ”Si..siapa gadis itu?” bibirnya bergerak gagap. Beberapa saat setelah itu ia meremas kuat rambutnya. ”Gadis itu bukan Yesa,”katanya berulang kali.

            *Brak
            Setelah menutup pintu dengan keras, disandarkannya tubuhnya itu sejenak sambil berusaha menormalkan kembali perasaannya. Isela tak menyangka Len akan bangun secepat itu. Sesekali ia mendesah lalu menggerutu dengan mengacak-ngacak rambutnya.
            ”Bagaimana kalau dia sudah sadar lalu menyadari keberadaanku kemarin malam? Bagaimana kalau dia melaporkanku ke polisi atas tuduhan pelecehan seksual? Oh God, lindungi aku!” rintihnya seraya melangkahkan kakinya keluar dari apartemen.
            ***
            Pukul 8 pagi, bi Iyam sudah berdiri sambil membawa sapunya. Ia mondar-mandir di depan pintu sambil sesekali mendengus kesal. Ekspresi wajahnya terlihat begitu bingung.Berulang kali ia menengok keluar pagar, namun kedua gadis yang ditunggunya itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya.
            Tak lama kemudian, tetes hujan perlahan jatuh, semakin lama semakin deras. Bi Iyam pun segera bergegas masuk ke rumah setelah ia teringat meninggalkan jemuran di taman belakang.
            Saat Bi Iyam masuk lalu menutup pintu, Gaby dan Isela mulai keluar dari semak-semak. Keduanya berteriak histeris saat kedua mata mereka saling bertemu.
            ”Ba..bagimana bisa kau..” Gaby menunjuk Isela dengan gemetar lalu sesekali menoleh ke rumahnya.
            ”Ka..Kakak sendiri..kenapa baru saja pulang?” balas Isela yang tak mau kalah karena tertangkap basah tak pulang ke rumah semalam.
            ”Hoh..” sambil berkacak pinggang Gaby menatap Isela.
            Gadis ini pun tak bisa mengatakan hal lain. Isi kepalanya penuh dengan kejadian semalam yang ingin sekali ia lupakan. Bibirnya sedikit komat-kamit. Wajahnya yang konyol terus menghindar dari tatapan Gaby. Kedua matanya yang lentik terus berkedip bak gadis tak berdosa.
            Setelah masuk ke rumah bersama, keduanya duduk di sofa panjang dengan kepala tertunduk. Di depan mereka sudah duduk bi Iyam yang melihat keduanya dengan sorot mata tajam. Sejenak tak ada kata yang terlontar dari mereka bertiga. Tak lama kemudian, dengan sedikit ragu Isela menaikkan dagunya. Ia menatap bi Iyam sambil tersenyum.
            ”Sebenarnya, semalam aku menginap di rumah temanku. Maaf, aku lupa menelfon bi Iyam,” jawab Isela dengan ekspresi bersalah.
            ”Lalu bagaimana dengan nona Gaby?” bi Iyam mengalihkan pandangannya pada gadis yang masih diam membisu ini.
            ”Aku..aku..”
            ”Iya, sebenarnya kakak menghadiri pesta apa? Kenapa tidak pulang semalam?” Isela memelototi Gaby.
            Gadis ini pun menjadi salah tingkah. Berulang kali ia mengganti posisi duduknya. Setelah menghela nafas panjang, Gaby berkata,” Aku diundang ke pesta oleh seorang editor naskah yang secara tak sengaja kukenal saat kami di toko buku. Acaranya sangat panjang dan meriah, sampai-sampai aku...aku..lupa waktu. Lalu, karena sudah larut malam, aku menginap di rumahnya.”
            Mendengar hal itu, Isela mengangguk beberapa kali. Bi Iyam yang baru saja ingin bersua merasa harus mengurunkan niatnya karena tak mendapat dukungan dari Isela.
            ”Aku..aku..naik duluan!” Gaby beranjak dari sofa lalu berjalan menaiki tangga.

            Ia mengunci pintu kamarnya. Perlahan kaki mungilnya itu berjalan menuju ranjang. Sejenak ia terdiam. Pandangannya menerawang, tak jelas memikirkan apa. Setelah teringat Eriol yang mengecup pundaknya semalam, ia pun berteriak histeris.
            ’Tidaaaaaaaaak!”
            Bi Iyam dan Isela yang masih berada di lantai satu terkejut. Mereka berdua keluar dari kamar lalu saling pandang. Karena tak mengerti apa yang terjadi, keduanya menggelengkan kepala bersamaan, lalu kembali masuk ke kamar masing-masing.

            ***
           
            SMK Seni Goong Gautama. Salah satu sekolah swasta terelit di kota itu. Hampir seluruh siswa yang bersekolah di sini adalah anak orang penting. Namun tak sedikit pula siswa yang berasal dari keluarga sederhana maupun kurang mampu, bersekolah di  sini. Tentu saja setelah melewati seleksi uji kendali mutu siswa.
            Sudah lima belas menit lamanya, sejak bel masuk kelas berbunyi. Lini berdiri tak jauh dari gerbang sekolah, mengamati setiap siswa yang masuk ke lapangan. Wajahnya yang segar berbinar-binar perlahan meredup saat ia tak berhasil bertemu dengan adik bungsunya, Tita.
            Ketika hendak berjalan masuk ke mobil, suara langkah kaki yang begitu cepat terngiang di telinganya. Perasaannya mengatakan, suara langkah kaki yang sedang berlari itu adalah Tita. Firasat Lini benar adanya. Ketika menoleh, wajahnya kembali bersinar. Senyumnya merekah ketika melihat Tita melesat menuju gerbang.
            Sialnya, saat itu guru piket olahraga sedang menghukum para siswa yang terlambat. Diam-diam Lini terus mengamati apa yang akan dilakukan adik bungsunya itu. Tak kurang akal, Tita yang memakai rok mini tak tanggung-tanggung memanjat tembok bak pemanjat tebing yang handal. Bibirnya merah merekah setelah berhasil naik dan masuk ke wilayah lapangan sepak bola. Lini yang terus mengamati tingkah adiknya, hanya bisa tersenyum kecil seraya menggelengkan kepala tanda keheranan. Setelah melihat adiknya itu baik-baik saja, Lini masuk ke dalam mobil lalu melanjutkan perjalanannya.
            Sesampainya di lapangan sepak bola, Tita terus mengendap-endap. Sebenarnya tidak sulit baginya untuk menghindar dari hukuman. Pasalnya, hampir setiap hari Tita selalu terlambat.
            Seperti hari-hari biasanya, ia berjalan santai melewati jalan pintas yang diam-diam ditemukannya saat pertama kali menjadi murid baru di sekolah itu. Hampir jarang ada orang yang lalu lalang di jalan yang dipenuhi dedaunan kering ini, sehingga Tita tak mencemaskan apapun. Namun hari ini rupanya berbeda dari hari biasanya. Saat melewati dinding belakang kelas musik, ia mendengar suara piano.
            ”Aneh sekali. Biasanya jam segini belum ada yang masuk kelas musik,” gumam Tita.
            Nadanya terdengar sendu dan mendayu-ndayu. Biasanya Tita menghindari lagu-lagu yang berbau melankolis itu. Namun, entah kenapa lagu yang didengarnya ini berbeda.
            Perlahan ia berjalan mendekati dinding kelas musik. Dari balik jendela, Tita mengintip siapa yang sedang memainkan piano itu. Kedua matanya melebar setelah melihat seorang pria tampan duduk di kursi panjang itu. Kesepuluh jemarinya terlihat begitu gemulai memainkan nada.
            Hidungnya mancung, matanya sipit dan tajam, rambutnya hitam legam, poninya sedikit menutupi wajahnya saat itu.
            ”Wah keren sekali,” gumam Tita dalam hati.
            Cukup lama ia mempertahankan posisinya. Sesekali matanya terpejam untuk meresapi lebih dalam setiap nada yang didengarnya. Tak berapa kama kemudian...
            ♫Theng theng theng theng...
            Tita tersentak saat nada yang mengalun indah itu pecah. Karena penasaran apa yang terjadi, gadis ini pun berpaling menatap dari balik jendela.

            ”Hei kau!”

            Jantungnya yang berdetak normal beberapa menit yang lalu langsung berdetak sekali begitu kuat. Kepalanya serasa dihantam keras oleh panci penanak nasi dengan ukuran jumbo. Tita tak pernah membayangkan pria yang duduk jauh dari pandangannya itu sekarang berada tepat di depan matanya. Bahkan pria itu memelototinya dengan jarak amat dekat.
            Matanya berkedip normal. Tita tak mengucapkan sepatah kata pun selain menelan ludahnya dengan susah payah.

            ”Aku tidak suka, ada orang yang sembunyi-sembunyi mengamati permainanku, apalagi sampai mendengarnya,” ujar pria itu dengan ekpresi dingin.
            Mendengar hal itu, Tita terus komat-kamit. Rasanya ia tak mampu mengucapkan sepatah kata pun.
            ”Heh..” pria yang bernama Vic itu mendengus pelan. Wajahnya yang semula begitu dingin dalam sekejap menunjukkan senyumnya yang lebar.
            Sejenak Tita terpaku. Ia tak mampu berfikir apapun selain pikiran tentang pria yang ada di hadapannya sekarang. Setelah beberapa saat menghela nafas, Tita pun dengan berani menaikkan dagunya.
            ”Aku...aku tidak sengaja mendengarnya. Dasar orang aneh. Bagaimana mungkin kau bermain piano tapi tak seorang pun boleh mendengarnya? Musik kan untuk didengar semua orang, bukan untuk didengar telingamu saja, bodoh!” nadanya meninggi kemudian perlahan merendah saat mengatakan kata terakhir.
             Ketika Tita hendak melanjutkan perkataannya, dengan cepat Vic meletakkan jari telunjuknya dengan santai tepat ke tengah bibir merah gadis itu.
            ”Kau cukup ingat saja, pria aneh yang permainannya tidak ingin didengar siapapun, yaitu aku,” ujarnya. Setelah  mengatakan hal itu, Vic berlalu dari Tita.
Setelah mendapati sosok pria menyebalkan itu lenyap, Tita berteriak kesal. Kakinya tak berhenti menghantam tanah. Dengan penuh emosi ia melanjutkan langkahnya menuju ke kelas.
 Setibanya ia di depan tembok kelasnya, Tita lekas beraksi.
”Psst..Pstt!”

Seseorang yang duduk tepat di sebelah jendela lekas menoleh. Pria itu menengok keluar.
”Nick, ambil tasku!” ujar Tita seraya menyerahkan tasnya dan Nick pun meraihnya.
Saat itu pelajaran hampir dimulai, namun lagi-lagi guru ilustrasipak Sungkar terlambat hadir. Nick memberitahu kalau keadaan kelas aman. Mendengar hal itu, dengan wajah gembira Tita mulai masuk begitu lincah dari luar jendela. Aksinya pun tak luput dari perhatian teman-temannya. Setelah ia sukses besar masuk ke kelas tanpa ketahuan guru piket, semua teman sekelas memberi tepukan meriah padanya.
*Plok..plok..plok..
Bravo! Bravo!” teriak mereka semua terutama para pria yang bergabung di fans fanatik Tita lovers.

Dengan wajah cerianya ia menghampiri tempat duduknya yang berada tepat di sebelah Nick. Pria manis ini selalu tersenyum sambil geleng-geleng kepala kalau Tita sudah mulai masuk kelas dan membuat suasana menjadi sangat heboh.
Greeek...
Suara pintu geser dibuka. Menyadari kedatangan guru killer mereka, dalam sekejap seluruh siswa menutup mulut mereka rapat-rapat sambil kembali duduk anteng di bangku masing-masing.
Seperti hari-hari biasa, Pak sungkar–guru setengah botak yang suka membawa penggaris besi 60 centi dan beberapa album gambar itu berdiri di depan kelas. Sambil membenahi kacamatanya, ia melihat para sisawa satu-persatu. Setelah melihat Tita yang duduk anteng di bangku belakang paling pojok, Pak Sungkar menghela nafas.
”Kau boleh masuk sekarang!” ujar Pak Sungkar sambil melihat ke arah pintu. semua mata dengan cepat menyorot tajam seorang pria berseragam rapi yang muncul dari luar kelas tersebut.
”Perkenalkan, dia siswa pindahan dari Kanada!” Pak Sungkar menepuk punggung pria berwajah datar itu.
Setelah mengamatinya dengan jeli, Tita langsung mengangkat alisnya tinggi-tinggi. Matanya yang bulat terbuka lebar. Bibirnya yang menggemaskan terus menganga melihat siswa baru itu ternyata adalah pria yang ditemuinya di kelas musik.
”Perkenalkan, nama saya Vic! Senang bisa bertemu kalian semua!” Vic bernarasi pendek kemudian semua siswa bertepuk tangan.
Vic tak menunjukkan senyumnya, bahkan ia enggan menarik kedua ujung bibirnya dengan simetris hanya untuk beberapa detik saja. Nick yang merasa aneh dengan ekspresi Tita, buru-buru menegur sahabatnya itu.
”Kau pernah melihat anak itu sebelumnya?”
Pertanyaan Nick yang tiba-tiba membuat Tita tersentak. Dengan gugup ia menoleh ke arah Nick. Perasaannya ingin berbohong, namun kalau di depan Nick teman semasa kecilnya, ia tak mampu menyembunyikan pikirannya saat itu.
Dengan wajah pasrah Tita mengangguk.
            ”Memangnya, ada yang salah dengan anak itu sampai kau begitu terkejut?” tanya Nick kembali.
            Tita menggeleng pelan.”Tidak. Hanya saja, dia membuatku sedikit kesal. Itu saja, hahhahahah,” jawab Tita diiringi tawa lebar. Saat melihat Nicky kembali ke posisi duduknya, Tita menghela nafas. Dalam benaknya ia bertanya, ”Bukankah dia sangat pintar bermain piano? Kenapa dia tidak masuk kelas musik?”. karena tak mendapat jawaban, Tita menidurkan kepalanya di meja dan kedua tangannya menjadi alas.
            ***
Siang yang terik tak membuat Gaby patah semangat untuk berjalan menuju kantor Yesa setelah beberapa saat yang lalu ia turun dari taksi. Kedua tangannya tak lelah terus mengipas-ngipas lehernya yang berkelip butir-butir keringat. Sambil menyipitkan matanya, Gaby sedikit mendongak kemudian menghela nafas.
”Akhirnyaaaaa, sampai juga!” ujarnya dengan tawa merekah.
Ketika kaki mungilnya itu hendak memasuki gedung, tanpa sengaja Gaby menyorot sebuah majalah di sebuah kios kecil yang berdiri di samping kanannya. Majalah itu memakai cover dirinya dengan pose close up. Itu pun ketika matanya tak terbuka secara sempurna.
Sambil melangkah menuju kios tersebut, Gaby spontan menganga. Dengan tangan gemetar ia mengambil majalah itu. Si penjual majalah pun tak kalah melongo. Keduanya saling menatap beberapa saat.
”Wajah nona persis sekali dengan gadis ini. Jangan-jangan memang nona ya?” prasangaka si penjual benar secara mutlak.
Beberapa saat setelah melihat tak ada tanggapan, dengan berani penjual itu tertawa lebar. Karena merasa tersinggung, buru-buru Gaby meletakkan majalah itu dengan sedikit membantingnya.
”Wah, iya, tidak salah lagi. Nona pasti Galabria, 3 G Princess pertama itu. Wah, beruntung sekali aku bertemu artis di siang bolong seperti ini,” celoteh si penjual itu lagi saat melihat kalung Galabria begitu berkilau menempel di dada Gaby.
Masih bingung dengan celoteh penjual tadi, dengan wajah gusar Gaby kembali mengambil majalah itu. Setelah membaca dengan teliti title berukuran cukup besar tersebut, Gaby kembali terperangah. Mulutnya terbuka seperti berkata ”O” tanpa suara, diikuti kedua matanya yang terus berkedip dengan cepat.
”Apa-apaan ini?” teriaknya.

Galabria3 ”G” Princess pertama telah muncul.

“Apa?” teriaknya kembali.
Giliran si penjual yang terperangah. Setelah beberapa saat menormakan kembali nafasnya, Gaby mengambil beberapa lembar uang kertas dari tasnya lalu menyerahkannya pada si penjual. Dengan langkah linglung ia kembali melanjutkan niatnya untuk masuk ke gedung dan menemui Yesa.
Sesampainya di lift, Gaby mengatur kembali nafasnya. Kepalanya terasa berat setelah beberapa saat ia membaca isi berita itu. Di saat yang sama, gambaran kejadian kemaren malam terpapar jelas di ingatannya. Terutama senyum bersahabat yang ditunjukkan Guilinia padanya.
”Apa dia kakak yang ada di mimpiku  selama ini? Apa benar dia keluarga asliku yang lama menghilang?”

Tak lama ia berguman, pintu lift akhirnya terbuka. Gaby menundukkan kepalanya. Ia terus melangkah hingga sampai di dalam lift. Karena penat dengan pikirannya, Gaby tak menyadari bahwa di dalam lift itu hanya ada mereka berdua, dirinya dan Eriol. Saat melihat ke samping, Eriol pun terkejut. Namun dengan cepat ia menampakkan ekspresi heran setelah melihat Gaby tak bereaksi. Seolah-olah gadis ini tak menganggap sama sekali keberadaannya.

”Hei unggas, kenapa lagi-lagi kita bertemu? Rupanya kita berjodoh ya?” Tubuhnya sedikit membungkuk, lalu dengan lembut Eriol meniup poni Gaby hingga berayun.
”Hoh! Kau? Kenapa...kenapa?”
Sapaan Eriol berhasil menyadarkan Gaby dari lamunan. Ketika hendak beradu mulut kembali, pintu lift terbuka. Dan di saat yang bersamaan, Lini dan Ray tampak berdiri di hadapan keduanya.
Lini terkejut begitu pula dengan Gaby. Keduanya sempat beradu tatap. Yang satu berlinang air mata dan yang satu lagi kosong, kering. Hanya ada beribu tanda tanya terpancar di kedua mata Gaby.
Lini tak mampu membendung air matanya. Nafasnya begitu alot saat ia melihat tangan kanan Gaby meremas kuat majalah kontroversial itu. Di sampingnya ada Ray yang tak mampu berkata-kata. Ia bingung harus menjelaskan seperti apa semua kejadian ini pada adik iparnya itu.
Satu-satunya mahkluk yang tak taung-menaung soal permasalah yang membelit mereka bertiga adalah Eriol. Dengan gugup ia maju selangkah hingga berdiri sejajar di samping Gaby. Bibirnya hendak mengucapkan sesuatu. Namun niatnya tak sempat terlaksana karena keributan tiba-tiba datang. Dari kejauhan tampak para wartawan sedang berlari menuju ke arah mereka. Menyadari hal itu, Ray segera meminta Eriol untuk membawa pergi Gaby.
Untuk sementara, aktor dan penyanyi ini tak mengerti apa maksud Ray tersebut.
”Cepat bawa Gaby pergi dari sini!” ucap Ray kembali kini dengan nada meninggi. Eriol mengangguk sekali. Dengan cepat ia merengkuh lengan Gaby dan membawanya pergi dari tempat itu.
Saat berlari, Gaby sempat menengok ke belakang beberapa kali. Wajahnya begitu terlihat bingung dan cemas. Sementara Lini terus menatap adiknya itu dengan mata sendu. Bibirnya tak mampu bergerak. Ia berdiri lemas di samping Ray yang terlihat bersusah payah menjauhkan para wartawan darinya.
***
Setelah pulang sekolah, Tita dan Fllay pergi ke butik Hyena-kakak Fllay. Sejak kecil, Tita dan Fllay adalah sahabat karib. Kemana-mana mereka selalu berdua. Tita-gadis yang sangat populer karena kecantikannya, keramahannya, dan kepintarannya dalam hal melukis. Sementara Fllay-gadis cantik yang terkenal dingin dan cuek. Karena karakternya itulah banyak kaum adam yang tertarik dan selalu penasaran dengan Fllay. Meski selalu bersama, tapi jika di sekolah, keduanya jelas berlainan kelas. Tita di kelas seni dan Fllay di kelas musik. Fllay adalah salau satu siswa berbakat dan banyak meraih penghargaan atas kelihaiannya dalam memainkan piano.

”Ini model terbaru ya? Aku sangat suka desain kakakmu yang satu ini. Terlihat sangat unik dan ceria. Aku mau mencobanya. Tunggu di sini ya Fllay!” ujar Tita seraya melangkah menuju ruang ganti.
Fllay mengangguk pelan. Senyumnya begitu tipis, lalu dengan cuek ia menyibak gaun-gaun yang menggantung dengan rapi di depannya. Tak lama kemudian, tangannya berhenti bergerak saat tak sengaja mendengar sebuah percakapan.

”Oh, benarkah? Jadi 3 ”G” princess itu masing-masing mengenakan kalung yang bertuliskan nama mereka?”
”Ya, katanya adik pertama Guilinia sudah ketemu. Ya si Galabria itu. Beritanya sudah ada di koran, majalah, dan televisi. Hmmmm, mereka memang sangat terkenal. Aku jadi penasaran dua gadis yang belum ditemukan itu? Apa secantik Guilinia juga?”
“Iya. Galabria lumayan cantik juga. Beruntung sekali gadis itu. Punya kakak yang sangat tenar.”

Tak lama kemudian Tita menyibak tirai.
”Fllay, bagaimana menurutmu? Bagus tidak?” tanya Tita seraya berlenggak-lenggok di hadapan Fllay.
Sejenak gadis berparas dingin ini tertegun. Kedua matanya tak sengaja menyorot kalung bertuliskan Getalita begitu bersinar di dada Tita.
”Hei, kau kenapa?”
Tak menunggu cukup lama, Tita menjadi sorotan tajam para pengunjung butik. Mereka melihat Tita dengan paras tertegun sambil melihat kalung yang bergantung di lehernya.
Tita melongo. Ia tak tahu kenapa semua orang menatapnya. Ketika hendak bertanya, tiba-tiba sinar kamera menyilaukan padangannya. Seseorang telah mengambil gambarnya tanpa ijin. Setelah orang itu pergi dengan tergesa-gesa, Fllay menyadari sesuatu. Dengan cepat ia meminta Tita lekas mengganti pakaiannya. Tita yang merasa bingung berusaha mempertahankan posisinya yang tak mau masuk ke ruang ganti sebelum Fllay menjawab pertanyaannya.
”Tak ada waktu lagi untuk menjelaskan. Cepat ganti pakaianmu lalu kita segera pergi dari sini!” perinta Fllay seraya sekuat tenaga mendorong Tita masuk ke ruang ganti.

***
Usai keluar dari kamar mandi, dengan langkah tak bertenaga, Len berjalan menuju ranjangnya. Ia duduk lemas dengan raut wajah gelisah. Kedua tangannya berpangku di paha. Sesekali ia menghela nafas panjang sambil mengusap wajahnya dengan cepat.
”Ini pasti milik gadis itu. Kalau kalung ini berharga, mungkin dia akan kesini lagi untuk mengambilnya,” ujar Len seraya menatap penuh arti sebuah kalung bertuliskan Grisela yang diayunkannya tepat di depan matanya.

            ***
            Pizza open 24 jam.
            ”Ya. Aku memang bersalah karena memberikan alamat yang salah padamu. Harusnya pizza itu pesanan customer kamar 203 bukan 202. Tapi kelalaianmu dengan tidak mengaktifkan ponsel itu tak bisa ditoleransi lagi. Karena ponselmu mati, aku jadi tidak bisa menghubungimu. Akibat kelalaianmu itu, kami tidak bisa menerimamu lagi disini. Maaf!” ujar bos pemilik restaurant pizza tempat Isela bekerja.
            Gadis yang sangat mencintai uang ini terus menunduk. Sesekali ia menggerutu kesal ketika mengingat kebodohan yang dilakukannya semalam. Meski sangat berat, Isela berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Sambil menghela nafas, ia mengambil barangnya dari locker dan berjalan menuju pintu keluar.
            Kepalanya menengadah. Sambil menyipitkan matanya, ia membuang nafas kekesalan. Sesekali ia menyeka keringat yang membanjir di dahinya.
            ”Hoh, terima saja takdirmu Isela. Mungkin tempat ini tidak cocok untukmu,” ujarnya. Setelah perasaannya sedikit tenang, tangan kanannya tak sengaja meraba dadanya. Ia pun tersentak saat menyadari kalung yang bertahun-tahun melingkar di lehernya tiba-tiba menghilang.
            ”Jangan-jangan terjatuh di ranjang pria itu? O my God, apa yang harus aku lakukan? Tidak mungkin aku pergi ke sana, apalagi harus bertatap muka dengannya. Bagaimana kalau dia ingat aku mencium pipinya tanpa ijin?” Isela terus menggerutu sambil melanjutkan langkahnya.
            Ketika hampir sampai di halte bus, sebuah teriakan geram memanggil namanya. Gadis ini pun tersentak. Jantungnya hampir saja copot. Matanya terus terbelalak namun ia tak punya nyali untuk berbalik badan. Isela merasa sangat mengenal suara itu. Ketajaman telinganya berhasil mendeteksi beberapa langkah sepatu bot yang berjalan pelan menuju ke arahnya. Setelah yakin akan sesuatu, Isela buru-buru melesat. Ia berlari sekuat tenaga dan para gangster pun mengejarnya.
            ”Haissssh, kenapa mereka harus datang di saat yang tak tepat. Aku baru saja dipecat. Bagaimana bisa aku melunasi hutang ayah sekarang,” gerutunya seraya terus berlari tak tentu arah.
            ***
            Di lain tempat, kejadian yang sama terjadi pada Tita dan Fllay. Baru saja seseorang tak dikenal berhasil mengambil gambarnya, tiba-tiba keduanya sudah diuntit oleh sekumpulan wanita mencurigakan.

            ”Fllay, sebenarnya apa yang terjadi?” tanya Tita dengan nafas ngos-ngosan. ”Hei, kau sedang menelfon siapa?”
            Fllay tak menjawab. Ekspresinya tetap datar dan dingin. Setelah mendapat sahutan di seberang, Fllay langsung berkata dengan serius, ”Nyonya Guilinia, sekarang saya sedang bersama Getalita, adik nyonya. Sekarang kami sedang diuntit oleh beberapa orang asing. Saya takut mereka berniat buruk pada Tita karena berita kalung itu sudah tersebar, dan mungkin salah satu dari mereka mengetahui keberadaan Tita. Kami minta perlindungan nyonya sekarang.”
            ”Lalu..dimana kalian sekarang? Oh, baik. Tetaplah bersembunyi di sana. Sebentar lagi orang-orang kepercayaanku akan menjemput kalian,” ujar Yesa yang saat itu membantu Lini menyahut telfon.
            Setelah menutup telfonnya, Yesa menatap cemas Lini.

            “Aku yakin yang dimaksud gadis itu adalah anak buah Lorna. Tidak sulit baginya untuk mencari dimana adik-adikmu berada kalau satu petunjuk sudah ia ketahui, yaitu kalung kalian,” ujar Yesa.
            Mendengar hal itu, Lini hanya bisa menitikkan air mata. Wajahnya begitu galau dan ingin sekali melakukan banyak hal, tapi kecemasan mengalahkan pikiran sehatnya.  Di sisinya selalu ada Ray yang sesekali memeluknya sampai istrinya itu kembali membaik.
            ”Lorna sangat licik. Setelah mengetahui soal informasi kalung itu, dia pasti mengumpulkan beberapa orang dan memberikan mereka imbalan yang besar kalau berhasil menemukan Tita, Gaby, dan Isela. Kalau salah satu atau ketiganya sampai jatuh ke tangan Lorna, apa yang harus kita lakukan?” tutur Yesa seraya duduk lemas di samping Lini.
            ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar